Tafsir An-Najah (QS. 2: 229-230)Bab ke-108 Gugatan Cerai (Al-Khulu’)
Gugatan Cerai (Al-Khulu’)
اَلطَّلَا قُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِ مْسَا كٌ بِۢمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌ بِۢاِحْسَا نٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَـکُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّاۤ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْــئًا اِلَّاۤ اَنْ يَّخَا فَاۤ اَ لَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ فَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَا ۚ وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim..” (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 229-230 )
1. Cerai Itu dua kali saja
اَلطَّلَا قُ مَرَّتٰنِ
"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali.”
1) Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata : “Dulu laki-laki menalak istrinya sebanyak yang ia mau, dan kalau ia merajuk sewakktu iddah belum habis, maka perempuan iti kembali menjadi istrinya meskipun ia menolak seratus kali atau lebih. Hingga suatu ketika ada seorang laki-laki berkata pada istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan menalakmu sehingga ikatan pernikahan kita putus, tetapi aku juga tidak akan memberi tumpangan/tempat tinggal.” Sang istri bertanya, “Bagaimana bisa begitu?” Laki-laki itu berkata, “Aku menalakmu, dan setiap kali masa iddahmu hampir habis, aku merujukmu.” Perempuan itu lantas pergi melapor kepada Nabi SAW. Beliau terdiam hingga turunlah ayat ( QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 229 ).” (HR.At-Tirmizi dan Hakim)
2) Para ulama sepakat bahwa talak (Cerai) yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya pada masa suci dan belum digauli, adalah talak yang sah dan sesuai sunnah. Dalam keadaan seperti ini suami berhak rujuk pada istrinya sebelum masa iddah habis.
3) Ayat di atas menunjukkan dua hal :
- Menentukan jumlah talak yang boleh dirujuk
- Menjelaskan bahwa talak harus dijatuhkan secara terpisah
Maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Ms’ud: “Laki-laki menceraikan isrtinya dalam keadaan suci dan belum digauli. Lalu dia membiarkannya sampai suci kembali, kemudian menceraikannya kalau mau. Lalu ia boleh merujuknya kalau mau. Kemudian ia menceraikannya kalau mau. Kalau tidak, hendaknya ia membiarkannya sampai tiga haid, dan dengan begitu istrinya boleh putus hubungan dengannya.” ini dikuatkan dengan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “(Talak) yang sesuai dengan sunnah adalah engkau tunngu hingga datang masa suci istrimu, lalu engkau jatuhkan satu talak pada setiap qurin (masa bersih).”
- Jika seseorang menjatuhkan talak tiga kali dalam satu lafal, para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya :
Pendapat pertama, itu dihitung tiga talak. Walaupun sebagian dari mereka mengatakan bahwa hal ini makruh (tidak dianjurkan) ini pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan : “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar dan dua tahun pertama dari kekhalifahan Umar, talak tiga dihitung satu. Pada masa selanjutnya Umar pernah berkata, ‘Orang-orang sekarang mau cepat-cepat melakukan sesuatu yang sebenarnya longgar bagi mereka. Mungkin lebih baik kita sahkan talak tiga itu.’ Ia pun memutuskan talak tiga itu sah.”
Pendapat kedua, itu dihitung talak satu kali, Lafal talak tiga tidak ada pengaruh di dalamnya. Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang didalam poin 3, yaitu hadits Ibnu Umar dan perkataa Ibnu Mas’ud bahwa talak itu harus dijatuhkan secara terpisah. Mereka juga mengatakan bahwa pengesahan talak tiga lafal telah menggugurkan rukun sah (keringanan) yang diberikan syariat, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا
“Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru." (QS. At-Talaq [ 65 ] : 1 )
Maksudnya diharapkan mereka berdua (suami-istri) setelah cerai mau rujuk lagi dan masing-masing akan memperbaiki diri lagi.
2. Menahan atau Melepas
فَاِ مْسَا كٌ بِۢمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌ بِۢاِحْسَا نٍ
“(Setelah itu) suami dapat menahan dengan baik atau melepas dengan baik.”
1) Yang dimaksud (dapat menahan dengan baik) adalah ketika seseorang sudah mencerai istrinya dua kali maka dia bisa merujuk istrinya lagi untuk terakhir kalinya. Karena setelah ini tidak ada hak untuk rujuk lagi.
2) Adapun yang dimaksud (atau melepas dengan baik) adalah talak tiga kali. Dalilnya adalah hadist Abu Razin al-Asadi yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud dan lain-lain bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Saya dengar Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman “Talak itu dua kali” lalu mana talak ketiga?” beliau bersabda “(Yang Ketiga) adalah (Tasriihun bi-Ihsan). “atau kamu lepaskan dengan baik.” Sedangkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala pada ayat selanjutnya yaitu ayat 230 sebagai penjelasan dalam hal itu yaitu firman-Nya :
فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ
"Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.” ( QS.Al-Baqarah [ 2 ] : 230 )
3) Apa bedanya kata (Bil Ma’ruf) dengan kata (Bi Ihsan) pada ayat diatas?
Jawabannya bahwa menahan dengan cara yang (Ma’ruf) maksudnya menahan dengan cara patut dan layak, sesuai dengan kebiasaan di masyarakat serta menggaulinya dengan cara yang baik. Al-Qurthubi berkata, “menahan (merajuk) istri dengan cara yang dikenal bahwa itu benar.”
Adapun maksud dilepas dengan cara yang Ihsan yaitu dengan cara tidak mengambil hak-haknya, tidak mencacimakinya, serta tidak menyebarkan keburukannya.
4) Firman-Nya
وَلَا يَحِلُّ لَـکُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّاۤ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْــئًا
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 229 )
Maksudnya jika suami memilih untuk menceraikan istrinya dengan cara yang baik, maka dia tidak boleh mengambil apapun yang telah dia berikan kepada istrinya, baik berupa mahar maupun pemberian atau barang-barang lain yang menjadi hak istrinya.
Bahkan sebaiknya dia memberikan hadiah untuknya sebagai bentuk terimakasih atas kebersamaannya selama ini. Sebagian ulama menyebutnya Mut’ah Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut‘ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya." ( QS. Al-Ahzab [ 33 ] : 49 )
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, dulu laki-laki bisa mengambil lagi maskawin dan lain-lain yang telah diberikannya kepada istrinya. Perbuatan itu tidak dipandang dosa, Allah pun menurunkan firman-Nya :
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا۟ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْـًٔا
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka.”
1. Gugatan Cerai
اِلَّاۤ اَنْ يَّخَا فَاۤ اَ لَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ فَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ
“kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya.”
1) Ayat di atas sebagai dalil boleh seoarng istri melakukan gugatan cerai kepada suaminya. Hal ini dikuatkan dengan sebab turunnya ayat sebagai berikut :
- Ayat ini turun berkenaan dengan Tsabit bin Qais dan istrinya, Habibah. Perempuan ini mengadukan suaminya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau lantas menanyainya, “Maukah kau mengembalikan kebun Tsabit?” Ia menjawab “ Ya, saya mau.” Beliau lantas memanggil Tsabit dan menceritakan permintaan istrinya. Ia berkata “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari mereka sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum Allah.” (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 229 )
- أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَة
Dari Ibnu Abbas bahwa Jamilah, yang merupakan saudari Abdullah bin Ubay bin Salul serta istri Tsabit bin Qais, menemui Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya saya tidak mencela perangai maupun ketaan Tsabit bin Qais kepada agama, tetapi saya tidak suka dengan perawakannya yang jelek. Sementara saya tidak mau melakukan perbuatan-perbuatan kafir setelah masuk islam.” Beliau bertanya, “apakah kau bersedia mengembalikan kebunnya?” ia menjawab ”Ya” Beliau kemudian bersabda kepada Tsabit, “Terimalah kembali kebun itu dan jatuhkan satu talak kepadanya.” (HR. al-Bukhari)
2) Ayat dan hadist di atas menunjukkan seorang istri yang mengajukan gugatan cerai kepada suaminya harus mengembalikan harta atau harta yang telah diberikan oleh suaminya sebagai tebusan atas dirinya dan suami menerimanya (menyetujuinya).
3) Menurut mayoritas ulama, Khulu’ (gugatan cerai) boleh diajukan oleh pihak istri, baik dalam kondisi adanya kekhawatiran. Tidak bisa menjaga hukum-hukum Allah maupun tidak dalam kondisi seperti itu. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
وَاٰ تُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِ نْ طِبْنَ لَـكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـئًـا مَّرِیْۤـئًـا
"Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati." ( QS. An-Nisa [ 4 ] : 4 )
Tetapi jika istri mengugat cerai suaminya tanpa ada alasan yang jelas, maka diharamkan baginya bau surga.
Dari Tsauban pernah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya dengan alasan yang tidak dibenarkan, maka diharamkan baginya wanginya surga.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
4) Mayoritas ulama juga membolehkan seorang wanita yang menggugat cerai suaminya menebus dengan harta yang lebih dari pada yang telah diberikan suami kepadanya. Hal itu karena khulu’ (gugatan cerai) adalah akad tebusan yang tidak terikat dengan jumlah tertentu dari kebiasaan itu sendiri.
Menurut Madzhab Hanafi, walaupun itu dibolehkan tetapi hukumnya makhruh. Dalam kisah Tsabit bin Qais di atas terdapat riwayat bahwa istri Tsabit ingin menambahkan jumlah tebusan, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.
5) Para ulama berbeda pendapat, apakah gugatan cerai ini masih dalam katagori perceraian (talak) atau pembatalan akad ( Fasakh) :
- Mayoritas ulama mengatakan bahwa gugatan cerai (Khulu’) masuk dalam kategori talak bain (perceraian yang tidak bisa dirujuk) bukan pembatalan akad (Fasakh). Alasannya kalau disebut pembatalan tentunya tebusannya tidak boleh dari yang telah diberikan suami kepada istrinya. Seperti haknya Iqalah (pembatalan dalam jual beli) yang tidak boleh mengemballikan lebih dari uang yang sudah terlanjur dibayarkan.
- Menurut sebagian ulama bahwa Khulu’ (gugatan cerai) ini adalah pembatalan akad pernikahan bukan talak. Karena di dalam ( Qs.al-Baqarah [ 2 ] : 229-230 ) disebutkan talak hanya tiga kali. Kalau gugatan cerai ini dianggap talak, maka jumlah talak menjadi empat.
2. Nikah Muhalil
فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ ۗ فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَاۤ اَنْ يَّتَرَا جَعَاۤ اِنْ ظَنَّاۤ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
"Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan." ( QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 230 )
1) Ayat di atas menjelaskan tentang hukum waita yang cerai tiga kali oleh suaminya, bahwa suaminya tidak boleh rujuk kepadanya lagi dan tidak boleh juga menikahinya kembali kecuali dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh wanita tadi.
2) Adapun sebab turunnya ayat di atas adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muqatil bahwa Aisyah binti Abdurrahman bin Atik yang menjadi istri dari putra pamannya sendiri : Rifa’ah nin Wahb bin Atik ia diceraikandengan talak baa’in oleh suaminya. Kemudian ia menikah dengan Abdurrahman Ibnu Zubair al-Qurazhi. Setelah diceraikan oleh Abdurrahman, ia menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “ia menceraikan saya sebelum menyentuh saya. Bolehkah saya nanti rujuk kepada suami pertama saya?” Beliau bersabda : “Tidak boleh sebelum ia menggaulimu.”
Dalam redaksi lain yang terkenal dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa ia berkata “Istri Rifa’ah al-Qurazhi tapi ia sudah menalak saya dengan talak akhir (tiga). Kemudian saya menikah dengan Abdurrahman bin Zubair dan miliknya (zakarnya) bagaikan ujung kain jilbab seraya memegang ujung kain jilbab!” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tersenyum mendengar itu lalu bersabda :
تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ
“Apakah kamu ingin Kembali kepada Rifa’ah? Tidak boleh, sebelum kamu merasakn manisnya (berhubungan badan) dengannya dan ia merasakanmaisnya (berhubungan denganmu).” ( HR. Al-Bukhari )
3) Firman-Nya
حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ
“Sampai wanita (itu) ‘’Menikah’’ dengan laki-laki lainnya.”
Maksud kata تَنْكِحَ pada ayat di atas adalah berhubungan badan, bukan akad nikah. Hal itu karena kata (An-Nikah) dalam Al-Qur’an mempunyai dua arti :
- An-Nikah artinya adalah akad nikah. Ini terdapat pada banyak ayat didalam Al-Qur’an, seperti didalam firmannya :
وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَآ ؤُكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً وَّمَقْتًا ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
"Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." (QS. An-Nisa' [ 4 ] : 22 )
- An-Nikah yang berarti hubungan suami-istri (bersetubuh). Ini terdapat pada ayat ini :
فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ ۗ فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَاۤ اَنْ يَّتَرَا جَعَاۤ اِنْ ظَنَّاۤ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
"Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan." (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 230 )
4) Para ulama menjelaskan seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya maupun dinikahinya kembali sampai memenuhi lima syarat :
- Selesai masa iddahnya dari suami pertama yang menceraikan tiga kali.
- Dia harus menikah dengan laki-laki lain.
- Laki-laki lain yang menikahinya harus menggaulinya (bersetubuh dengannya).
- Laki-laki tesebut menceraikannya.
- Wanita itu sudah selesai masa iddahnya dari laki-laki tersebut (suami kedua).
Setelah terpenuhi lima syarat tersebut, maka suami yang pertama boleh melamar dan menikahinya lagi.
5) Adapun seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita hanya semata-mata ingin menghalalkan wanita tersebut bagi suami pertamanya dan terdapat kesepakatan di awal akad pernikahan, maka sebagian ulama mengartikan pernikahan tersebut tidak sah, tapi makruh selama tidak disyaratkan di awal akad. Pernikahan yang disebutkan di atas dikenal dikalangan fuqoha ‘’Nikah Muhalil.’’
6) Terdapat beberapa riwayat berkenaan dengan nikah muhalil ini, diantaranya adalah :
- Hadist Ibnu Mas’ud dan Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ ؟ قَالُوا : بَلَى ، يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ : هُوَ الْمُحَلِّلُ ، لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
“Maukah kalian kuberitahukan tentang pejantan pinjaman?” Para sahabat menjawab “Ya!” Beliau bersabda “Yaitu laki-laki yang mengawini perempuan untuk menghalkannya bagi mantan suaminya. Allah melaknat laki-laki seperti itu dan melaknat laki-laki lain berbuat serperti itu.” ( HR. Ibnu Majah )
- Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, “Ada seorang yang datang kepada Ibnu Umar dan menanyakan tentang seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, lalu wanita itu dinikahi oleh saudaranya sendiri tanpa adanya pernyataan darinya. Supaya dengan demikian menjadi halal bagi saudaranya. Bolehkah bagi mantan suami pertama itu menikahinya kembali?” maka Ibnu Umar pun menjawab : “Tidak, kecuali nikah yang disarankan karena keinginan dan kami mengatagorikan hal itu sebagai perzinahan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. al-Hakim, dia berkata bahwa hadits ini berisnad shahih, tetapi al-Bukhari dan muslim tidak meriwayatkannya)
7) Firman-Nya,
فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ ۗ فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَاۤ اَنْ يَّتَرَا جَعَاۤ اِنْ ظَنَّاۤ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
"Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan." (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 230 )
- فَاِ نْ طَلَّقَهَا Pada ayat ini artinya adalah suami yang kedua (jika suami yang kedua menceraikannya) maka, tidak apa-apa suami yang pertama menikahinya kembali.
- Ibnu Al-Mundzir berkata, “Para ulama sepakat jika seseorang menceraikan istrinya tiga kali, dan setelah masa iddahnya habis dia menikah dengan suami lain. Setelah digauli oleh suami kedua itu, kemudian dicerai dan selesai masa iddah darinya kemudian suami yang pertama kembali. Maka suami yang pertama mempunyai hak untuk menceraikannya tiga kali.
- Adapun jika seorang laki-laki menceraikan istrinya sekali atau dua kali, kemudian laki-laki lain menikahinya. kemudian kembali ke suami yang pertama lagi. Maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa suami yang pertama hanya mempunyai hak untuk menceraikannya dengan talak (cerai) yang tersisa saja.
***
Jakarta, Rabu 09 Februari 2022
***
Jakarta, Rabu 09 Februari 2022
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »