Karya Tulis
1611 Hits

Bab 3 Tauhid Membawa Rasa Aman


 

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

 

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” 

(Qs. al-An’am: 82)

 

Pelajaran (1): Kesyirikan adalah Kezaliman yang Besar

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik).” 

Iman yang sempurna adalah iman murni yang tidak tercampur dengan kezaliman. Adapun maksud kezaliman pada ayat di atas adalah kesyirikan sebagaimana yang tersebut di dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, 

 لما نزلت: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ  قلنا: يا رسول الله! أينا لا يظلم نفسه؟! قال: ليس كما تقولون، لم يلبسوا إيمانهم بظلم: بشرك، أولم تسمعوا إلى قول لقمان لابنه: يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ 

Ketika turun ayat:“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman.“ Kami bertanya: “Wahai Rasulullah siapa diantara kita yang belum pernah menzalimi dirinya sendiri? Beliau bersabda: “Maksud ayat ini tidak seperti yang kalian pahami, tetapi maksudnya adalah keimanan mereka belum dicampuri dengan kesyirikan, bukankah kalian mendengar nasehat Luqman kepada anak-nya:“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.(Qs. Luqman: 13). (HR. al-Bukhari)

Kenapa syirik disebut kezaliman yang paling besar? Karena Allah yang menciptakan manusia di muka bumi ini, kemudian Dia yang menyediakan baginya seluruh fasilitas hidup, dari langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, binatang ternak, tumbuh-tumbuhan serta buah-buahan. Kemudian setelah manusia bisa hidup dan tumbuh besar, mempunyai harta dan kekuasaan, tiba-tiba dia menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya, menyembah manusia, berhala dan sesembahan-sesembahan lain yang sama sekali tidak mampu memberikan manfaat dan madharat. Itulah bentuk kezaliman yang paling besar. Air susu dibalas dengan air tuba, manusia yang tidak pandai berterima kasih kepada Penciptanya.

 

Pelajaran (2): Syirik Membawa Sengsara

Orang yang menyekutukan Allah, hidupnya tidak pernah merasa aman dan tenteram, dia akan diliputi kegelisahan dan ketidaktenangan, walau kadang secara lahir dia bahagia. Hal itu, karena selain Allah tidak akan bisa memberikan ketenangan kepada manusia. Yang bisa memberi ketenangan adalah Sang Pencipta. Dialah satu-satunya Dzat yang mengetahui kebutuhan manusia, mengetahui kapan manusia bahagia dan kapan sengsara. Allah berfirman,

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?(Qs. al-Mulk: 14)  

Diantara dalil bahwa syirik itu membawa malapetaka adalah sebagai berikut:

(Pertama) Firman Allah,

حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ

“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (Qs. al-Hajj: 31)

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang mensyirikan Allah dengan sesuatu seperti orang yang jatuh dari langit  yang tinggi (marfu’ah) dan kokoh terjaga (mahfuzhah). Langit oleh as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/538) diartikan sebagai Keimanan dan Tauhid. Jika dia meninggalkan iman dan tauhid, maka akan jatuh dari langit meluncur ke bumi, dipatuk oleh burung dan dicabik-cabik tubuhnya, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. Artinya bahwa Syetan dan Jin akan menggoda dan menyesatkannya ke jurang kehancuran.

Di dalam hadist Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

إن الكافر إذا توفته ملائكة الموت، وصعدوا بروحه إلى السماء، فلا تفتح له أبواب السماء، بل تطرح روحه طرحا من هناك

“Sesungguhnya orang kafir jika diwafatkan oleh malaikat pencabut nyawa (malakul maut), mereka membawa ruhnya ke langit, tetapi tidak dibukakan pintunya, bahkan dilempar ruhnya dari langit.(Hadist ini shahih, disebutkan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya Qs. 14: 27 dan Qs. 22: 31)

Ini dikuatkan dengan firman Allah,

إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (Qs. al-A’raf: 40)

(Kedua) Firman Allah,

قُلْ أَنَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُنَا وَلا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَى أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللَّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِينُ فِي الأرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudaratan kepada kita dan (apakah) kita akan dikembalikan ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syetan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.” (Qs. al-An’am: 71)

Di dalam menjelaskan ayat di atas, as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, mengatakan bahwa orang-orang musyrik adalah orang-orang yang hidupnya penuh dengan kebingungan (al-Hairan). Bingung antara mengikuti penyeru kebatilan (syetan) dan penyeru kebenaran (rasul). Mereka dalam kebimbangan yang terus menerus, walaupun akhirnya mereka mengikuti seruan syetan yang menyesatkan mereka ke jalan kesengsaraan abadi di dunia dan akhirat.

Sebagian manusia dalam dirinya sering terjadi pertarungan pemikiran antara dua kubu tersebut, kadang cenderung kepada kebatilan dan kadang cenderung kepada kebenaran. Ketika cenderung kepada syetan, maka hidupnya merana, sedih, galau, kesal, capai, sakit hati dan sejenisnya. Tetapi ketika mendapatkan petunjuk dari Allah, dia mulai menjadi tenang, tenteram, bahagia, ceria, gembira, lapang dada.

Bagaimana cara untuk mendapatkan kebahagiaan itu semua? Jawabannya sebagai berikut:

(1) “Pasrah total kepada Allah, Tuhan semesta alam.” Bertauhid: meng-Esakan Allah di dalam beribadah, tunduk kepada hukum-hukum-Nya dan patuh terhadap perintah-perintah-Nya. Ini sesuai dengan firman-Nya,

وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.” (Qs. al-An’am: 71)

(2) Menegakkan shalat (dengan rukun dan syaratnya).

(3) Bertakwa kepada-Nya (takut terhadap adzab-Nya).

(4) Selalu ingat kematian (mengingat bahwa nanti akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh amal perbuatan sewaktu di dunia).

No. 2-4 terdapat pada ayat selanjutnya, yaitu firman Allah,

وَأَنْ أَقِيمُوا الصَّلاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan agar mendirikan shalat, serta bertakwa kepada-Nya. Dan Dialah Tuhan Yang kepada-Nya-lah kamu akan dihimpunkan.” (Qs. al-An’am: 72)

(Ketiga) Firman Allah, 

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaha: 124)

Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (5/322-323): “Barang siapa yang berpaling dari mengingat-Ku dan menyelesihi perintah-Ku dan kitab yang Aku turunkan kepada para Rasul-Ku, berpaling darinya serta melupakannya, bahkan mengambil petunjuk dari yang lain, baginya kehidupan yang sempit di dunia, dia tidak bisa hidup tenang, dan tidak tenteram hatinya. Bahkan bertambah sempit karena kesesatannya, walaupun kelihatannya secara lahir bahagia, dia bisa berpakaian, makan dan menempati rumah menurut yang ia senangi, tetapi sebenarnya hatinya -selama tidak mendapatkan keyakinan dan petunjuk- dalam keadaan gelisah dan kebingungan serta keragu-raguan, dan tetap saja terus menerus di dalam kebimbangan. Inilah salah satu bentuk kesempitan di dalam hidup.”

(Keempat) Firman Allah,

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. al-An’am: 125)

 

Pelajaran (3): Tauhid Membawa Rasa Aman

ولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ 

Mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan. 

Orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman, yaitu keimanan murni yang belum tercampur sedikit pun dengan kotoran syirik. Sebagaimana yang diterangkan di atas, merekalah yang  akan merasa aman dan tenteram di dalam hidupnya.  Mereka yakin bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah. Mereka menyandarkan segala urusan dan problematika yang dihadapinya hanya kepada Allah saja. Mereka yakin bahwa siapa saja yang mengikuti petunjuk Allah, maka Allah akan melindunginya dan memberikan ketenteraman dalam hidup ini. Diantara dalil bahwa Tauhid membawa aman dan ketenteraman hidup adalah sebagai berikut,

(Pertama) Firman Allah,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (Qs. Thaha: 123)

Berkata Ibnu Abbas: “Allah menjamin bagi yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat (yadhillu) di dunia, dan tidak akan sengsara (yasyqa) di akhirat.” (al-Qurthubi, Jami’ li Ahkami al-Qur’an: 11/258)

(Kedua) Firman Allah,  

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” (Qs. al-An`am: 125)

Yang dimaksud dengan “Allah melapangkan dadanya” pada ayat di atas menurut Ibnu Katsir (3/334) adalah memudahkannya untuk menuju Islam, bersemangat dengannya, dan ringan di dalam menjalankannya. Dan ini tanda kebaikan bagi dirinya. Menurut Ibnu Abbas, maksudnya adalah bahwa Allah melapangkan dadanya untuk menerima ‘Tauhid dan Keimanan’.

Al-Qurthubi di dalam tafsirnya (7/72) menjelaskan bahwa makna ‘asy-Syarh’ pada ayat di atas  adalah luas.

 Ini seperti hadist,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين 

“Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan bagi dirinya, maka Allah memahamkannya dalam agama.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Memahami agama tidak akan mungkin terwujud kecuali kalau hatinya dilapangkan dan diberikan cahaya oleh Allah.

Ayat di atas mirip dengan firman Allah,

أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?” (Qs. az-Zumar: 22)

Juga mirip dengan firman Allah,

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ 

“Tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Qs. al-Hujurat: 7)

(Ketiga) Firman Allah,  

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Yunus: 62)

 (Keempat) Firman Allah,

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. al-An’am: 48)

Yang dimaksud dengan “yang beriman” yaitu beriman hatinya kepada apa yang dibawa para Rasul, dan “mengadakan perbaikan” yaitu memperbaiki amal perbuatannya dengan mengikuti apa yang dibawa para Rasul, maka dia tidak akan “khawatir” yaitu dengan masa depannya dan “tidak pula sedih” yaitu dengan masa lalunya dan apa yang luput darinya dari urusan dunia, karena dia yakin Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik.

 (Kelima) Firman Allah,  

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. an-Nahl: 97)

Kehidupan yang Baik (Hayatan Thayyibah) pada ayat di atas mencakup: rezeki halal, rasa qana’ah, mendapatkan taufik untuk berbuat ketaatan yang mengantarkan kepada ridha Allah, kenikmatan dalam menjalankan ketaatan, hanya bergantung kepada Allah, ridha dengan ketentuan Allah (al-Qadha’), kebahagian hati. (al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an: 10/155; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim: 4/601)

Hal ini dikuatkan dengan hadits Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  

قد أفلح من أسلم ورُزق كفافا، وقَنَّعه الله بما آتاه

“Sungguh telah sukses siapa masuk Islam (pasrah kepada Allah), diberikan rezeki yang cukup, serta merasa qana’ah (puas) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.(HR. Muslim)

(Keenam) Firman Allah,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Fath: 4)

Pada ayat di atas dijelaskan bagaimana Allah memberikan karunia-Nya kepada orang-orang beriman yang memiliki tauhid yang kuat, berupa rasa tenang di dalam hati mereka, keteguhan, ketangguhan serta kesabaran yang luar biasa ketika dihadapkan pada ujian yang sangat berat. Tepatnya pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah yang kelihatannya sangat merugikan kaum muslimin dan menghinakan mereka. Allah menyelamatkan hati mereka dari rasa kesal, berkeluh kesah, marah terhadap ketentuan Allah, dan menggantikannya dengan ketenangan dalam hati. Peristiwa tersebut tidak menggoncangkan hati mereka atau  mengurangi keimanan mereka pada ketentuan Allah sedikit pun, justru yang terjadi sebaliknya, dengan peristiwa tersebut  keimanan mereka bertambah kuat.

Berkata as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/791): “Termasuk nikmat Allah kepada hamba-Nya adalah ketika menghadapi peristiwa seperti ini (yaitu ujian yang berat), Allah kuatkan hatinya dan turunkan rasa tenang pada jiwanya, agar mampu menghadapi berbagai kesulitan dengan hati yang teguh dan jiwa yang tenang.”

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa keimanan seseorang akan membawa rasa aman dan tenang dalam dirinya. Maka orang yang beriman adalah orang yang paling merasa aman dan tenang di dalam kehidupannya di dunia ini dibanding orang-orang kafir.  Semakin tinggi iman seseorang, maka semakin tinggi pula rasa aman di dalam dirinya, sebaliknya semakin rendah keimanan seseorang, maka semakin rendah pula rasa aman di dalam dirinya.  

(Ketujuh) Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat yang benar-benar merasakan keamanannya dan ketenteraman di dalam dirinya.  Bagaimana tidak, walaupun beliau seorang khalifah yang wilayah kekuasaannya meliputi sepertiga dunia, tetapi beliau tidak pernah merasakan takut sedikit pun terhadap orang-orang yang ingin mencelakainya. Beliau biasa tidur di bawah pohon, tanpa ada pengawal satu pun yang mengawalnya.

Suatu ketika datanglah utusan Kisra, penguasa Persia yang bernama Marzaban hendak bertemu dengan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu untuk suatu keperluan, orang tersebut mendapatkan Umar bin Khattab tidur pulas di bawah pohon,  tidak ada pengawalan sedikitpun, dia pun tercengang dan kaget, seakan-akan dia tidak percaya apa yang dilihatnya, dia berkata: “Engkau telah memerintah dengan adil sehingga engkau merasa aman, dan bisa tidur nyenyak wahai Umar.” (Kisah ini disebutkan oleh al-Waqidi di dalam Futuh asy-Syam, dengan lafazh yang berbeda)

(Kedelapan) Berkata Orang-orang Shalih:

نحنُ في لذَّة لو علِمها الملوك لقاتَلونا عليْها بالسيوف

“Kami berada pada kenikmatan, jika para raja mengetahuinya, niscaya mereka akan memerangi kita untuk merebut kenikmatan tersebut dengan pedang-pedang mereka.”

  

Pelajaran (4): Rasa Aman Tanda Hidayah

وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Perasaan aman, tenteram dan hidup bahagia adalah salah satu pertanda bahwa orang tersebut mendapatkan hidayah, karena hidayah membawa rasa aman. Orang yang merasakannya akan senantiasa mengucapkan ‘Alhamdulillah’ sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Para ulama dahulu sering menyatakan: “Barang siapa yang belum merasakan surga di dunia, dia tidak akan pernah merasakan surga di akhirat.” Surga yang dimaksud adalah ketenteraman dan ketenangan hati serta kebahagiaan hidup di bawah bimbingan Allah dan naungan Syariat Islam.

Seorang ulama besar pada masanya, yaitu Ibnu Taimiyah, ketika mendapatkan fitnah bertubi-tubi dari orang-orang yang tidak senang terhadapnya sehingga berkali-kali masuk penjara, dan kadang diasingkan ke tempat yang jauh, bahkan ada sebagian yang menginginkan kematiannya. Menghadapi ujian-ujian seperti itu, beliau menanggapinya dengan tenang seraya menulis sebuah tulisan yang menunjukkan isi hatinya,

ما يفعل أعدائي بي؟ إن جنتي وبستاني في صدري.. إن قتلي شهادة، وسجني خلوة، ونفيي سياحة

“Apa yang akan dilakukan musuh-musuhku terhadap diriku? Sesungguhnya surga dan tamanku ada di dalam dadaku ... Sesungguhnya pengasinganku adalah siyahah (jalan-jalan mencari pengalaman), penjaraku adalah tempat aku berkhalwat (bermunajat kepada Allah), sedangkan kematianku adalah mati syahid.”

***

KARYA TULIS