Karya Tulis
811 Hits

Tafsir An-Najah QS.[5]: 22 BAB 290 Antara Pengecut dan Pemberani


Tafsir An-Najah (QS. Al-Maidah[5]: 22-23)

BAB 290

Antara Pengecut dan Pemberani

 

قَالُوْا يٰمُوْسٰٓى اِنَّ فِيْهَا قَوْمًا جَبَّارِيْنَۖ وَاِنَّا لَنْ نَّدْخُلَهَا حَتّٰى يَخْرُجُوْا مِنْهَاۚ فَاِنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَا فَاِنَّا دٰخِلُوْنَ

 “Mereka berkata, “Wahai Musa, sesungguhnya di dalamnya (negeri itu) ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam. Kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar. Jika mereka keluar dari sana, kami pasti akan masuk.” (QS. Al-Maidah[5]: 22-23)

 

Pelajaran (1): Kode Etik Penyebaran Informasi

  1. Firman-Nya,

(قَالُوْا يٰمُوْسٰٓى)

Perkataan orang-orang Yahudi Bani Israel kepada Nabi Musa dengan hanya menyebut nama saja “Wahai Musa” menunjukkan keburukan akhlaq meeka terhadap Nabi mereka. Hal ini terlarang di dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

لَا تَجْعَلُوْا دُعَاۤءَ الرَّسُوْلِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاۤءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًاۗ قَدْ يَعْلَمُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ يَتَسَلَّلُوْنَ مِنْكُمْ لِوَاذًاۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

“Janganlah kamu menjadikan panggilan Rasul (Nabi Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang keluar (secara) sembunyi-sembunyi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya). Maka, hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur[24]:63)

 

  1. Firman-Nya,

(اِنَّ فِيْهَا قَوْمًا جَبَّارِيْنَۖ)

Telah disebutkan pada ayat (12)  yag lalu, bahwa Nabi Musa Alaihi Salam mengutus 12 orang pemimpin (Naqib) ke Baitul Maqdis, Palestina untuk mencari informasi tentang penduduk dan orang-orang ang tinggal di dalamnya. Ternyata mereka mendapatkan para penghuninya adalah orang-orang yang kuat, kekar dan berpostur tinggi dan besar. Perangai mereka kejam dan sering bertindakk arogan dan semena-mena.

 

Melihat hal itu, para pemimpin Bani Israel (naqib) ini gentar dan merasa takut yang lebih celakanya lagi, mereka menceritakan keadaan tersebut kepada kerabat-kerabat dan saudara-saudara mereka, bahkan menasehati mereka supaya tidak usah ikut berperang. Padahal, Nabi Musa sebelumnya telah melarang untuk menyebarkan informasi tersebut kepada orang lain, supaya tidak terjadi kekacauan dan kepanikan di antara mereka.

 

  1. Kode etik penyebaran informasi tentang peperangan dan keamanan suatu negeri, yang disampaikan Nabi Musa kepada 12 pemimpin Bani Israel (naqib) ini, telah dijelaskan Allah di dalam firman-Nya,

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).” (QS. An-Nisa[4]: 83)

 

  1. Akibat pelanggaran terhadap kode etik, penyebaran informasi yang di sampaikan Nabi Musa dan disebutkan Allah juga di dalam (QS. An-Nisa[4]: 83), maka terjadilah kekacauan dan kepanikan di kalangan Bani Israel yang berujung kepada ketakutan yang luar biasa terhadap musuh mereka yang tinggal di Palestina. Dan akhirnya, merekapun enggan dan tidak mau berangkat perang menghadapi mereka . kemudian mereka berkata kepada Nabi Musa sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ini (QS. Al-Maidah[5]: 22)

 

  1. Kata (جَبَّارِيْنَ) jama’ dari (جَبّارٌ) dan (جَبّارٌ) berasal dari (جبر) yang sering diartikan dengan orang yang tinggi, kuat, kejam, arogan, bertindak semena-mena.

 

Pelajaran (2): Mereka Para Pengecut

(وَاِنَّا لَنْ نَّدْخُلَهَا حَتّٰى يَخْرُجُوْا مِنْهَاۚ)

1)      Penggalan ayat ini menunjukkan beberapa hal

  1. Mereka adalah orang-orang penakut dan pengecut.
  2. Mereka benar-benar tidak akan memasuki tanah Palestina dengan perang dan berjihad
  3. Mereka ingin menunggu saja, sambil duduk, berpangku tangan, menikmati kehidupan secara wajar dan normal tanpa perjuangan apapun juga sampai musuh mereka yang tinggal di Baitul Maqdis, Palestina keluar sendiri.

 

 

2)      Kemudian mereka berkata,

(فَاِنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَا فَاِنَّا دٰخِلُوْنَ)

  1. Inilah sifat kaum Yahudi yang tidak mau berjuang untuk menemouh sebuah cita-cita.
  2. Kaum muslimin dilarang meniru sifat-sifat seperti ini. Kaum muslimin berjuang sekuat tenaga untuk menggapai sebuah cita-cita.
  3. Sifat kaum Yahudi dalam ayat ini, digambarkan oleh salah seorang penyair yang pernah menulis sebuah sya’ir,

تَرْجُوْ النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا     إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِى عَلَى الْيَبَسِ

Anda mengharapkan keselamatan, akan tetapi anda tidak mau mengikuti jalan jalan yang mengantarkan kepada keselamatan tersebut. Perbuatan anda tersebut bagaikan sebuah kapal yang berlayar di atas daratan.”

Pelajaran (3):  Dua Laki-Laki Pemberani

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

 “Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang keduanya telah diberi nikmat oleh Allah, “Masukilah pintu gerbang negeri itu untuk (menyerang) mereka (penduduk Baitulmaqdis). Jika kamu memasukinya, kamu pasti akan menang. Bertawakallah hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang mukmin.” (QS. Al-Maidah[5]: 23)

1)      Setelah menjelaskan sikap para pengecut pada ayat lalu, maka pada ayat ini Allah menjelaskan sikap para pemberani. Metode al-Qur’an dalam pemaparan ayat-ayatnya, sering melakukan perbandingan antara dua hal yang berbeda, tujuannya memberikan kesempatan para pendengar atau pembacanya untuk memilih salah satu dari dua hal yang berbeda tersebut. Memilih yang haq atau memilih yang batil. Allah berfirman,

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ

 “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.” (QS. Al-Kahfi[18]: 29)

2)      Firman-Nya,

(قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا)

Kata (رَجُلَانِ) artinya dua laki-laki, maksudnya disini adalah Yusya’ bin Nun dan Kalim bin Yuqona. Kedua orang tersebut termasuk dari 12 orang pemimpin Bani Israel (naqib) yang diutus oleh Nabi Musa ke Palestina untuk mencari informasi tentang keadaan penduduk di sana. Dan orang inilah yang merahasiakan informasi yang didapat di Palestina dan tidak menyebarkannya kepada keluarga atau kerabatnya.

Di dalam ayat ini, Allah menyebutkan dua sifat penting yang dimiliki dua orang ini:

  1. Sifat pertama: Mereka berdua adalah orang-orang yang takut kepada Allah.

(مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ)

Maksud takut pada ayat ini adalah takut kepada Allah. mereka berdua sangat taat kepada perintah Nabi Musa untuk tidak menyebarkan informasi yang didapatkan kepada keluarga dan rakyatnya. Mereka juga takut menyelisihi perintah Allah dan perintah Nabi Musa untuk berjihad melawan orang-orang Kafir yang sedang berkuasa di Palestina.

  1. Sifat kedua: Mereka berdua adalah orang-orang yang diberikan nikmat Allah. yaitu nikmat Iman dan nikmat keteguhan di dalam memegang ajaran Nabi Musa.

Nikmat Allah sebenarnya ada dua, nikmat batin dan nikmat lahir. Tetapi yang dimaksud ayat ini adalah nikmat batin, berupa hidayah dan taufik untuk tetap berada di jalan yang lurus.

3)      Nikmat disini mirip dengan nikmat yang disebutkan di dalam firman Allah,

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ

 “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah[1]: 7)

Yang dimaksud nikmat di dalam surat al-Fatihah ini adalah nikmat hidayah dan taufik untuk berada di atas ajaran Allah. Mereka adalah empat golongan yang disebutkan Allah di dalam firman-nya,

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa[4]: 69)

 

Pernyataan di atas dikuatkan lagi dengan adanya Yusya’ bin Nun sebagai salah satu dari dua orang yang mendapatkan nikmat dari Allah.

Sebagaimana diketahhui bahwa Yusya’ bin Nun adalah murid terdekat Nabi Musa, yang ikut menemani Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir.

Yusya’ bin Nun ini juga yang akann menggantikan Nabi Musa dan Nabi Harun sebagai pemimpin Bani Israel untuk membuka kota Palestina.

 

Pelajaran (4): Tiga Nasehat

Firman-Nya,

ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Penggalan ayat ini menjelaskan tiga nasehat dua orang pemimpin Bani Israel kepada rakyatnya.  Tiga nasehat terebut adalah:

1)      Pertama

(ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ)

“Menyerang para penguasa Palestina tersebut dengan serangan mendadak di pintu kotaya.”

Dikatakan di dalam ilmu strategi perang bahwa sebuah kota jika di serang secara mendadak pada waktu penduduknya lengah biasanya kota tersebut akan segera bisa ditaklukkan.

Salah satu buktinya adalah peristiwa pembukaan kota Mekkah (Fathu Mekkah). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam membuka kota Mekkah menggunakan strategi yang digunakan oleh Yusya’ bin Nun di dalam menaklukkan Kota Palestina, yaitu melakukan serangan mendadak.

Oleh karenanya, sebelum berangkat ke Mekkah denga pasukan yang berjumlah 10.000 orang, Rasulullah merahasiakan rencana tersebut dan melarang umat Islam yang tinggal di Madinah untuk membocorkan rencana tersebut. Pasukan tersebut berjalan di malam hari dan beristirahat di siang hari untuk menghindari pertemuan dengan orang yang sedang musafir.

Sesampainya di pintu sebrang kota Mekkah, orang-orang Quraisy langsung menyerah, karena tidak ada persiapan untuk melawan pasukan Islam, apalagi dalam jumlah yang begitu besar.

2)      Kedua:

(فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ)

“Jika sudah memasuki kota , tidak boleh mundur seikitpun dan harus yakin dengan kemenangan”

Pasukan yang mempunyai mental yang kuat dan rasa optimis yang tinggi biasanya akan menguasai medan perang. Apalagi dalam posisi menyerang dan aktif.

Jadi, kata-kata positif sangat penting untuk disampaikan komandan perang kepada pasukannya. Disini Yusya’ bin Nun berkata,

فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ

“Kalian akan menjadi pemenang”

Keyakinan kuat dengan kemenangan tersebut muncul dari beberapa hal:

  1. Dari janji dan pernyataan Allah dalam firman-Nya,

ادْخُلُوا الْاَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِيْ كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ

“…masuklah ke tanah suci (Baitulmaqdis) yang telah Allah tentukan bagimu” (QS. Al-Maidah[5] :21)

Dalam ayat itu Allah menyatakan bahwa Baitul Maqdis di Palestina adalah ditetapkan untuk Bani Israel yang taat kepada Nabi Musa.

  1. Dari pemberitahuan Nabi Musa kepada para pemimpin (nuqaba’) bahwa Allah menjanjikan kemenangan untuk mereka.
  2. Beberapa fakta yang sudah mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana Allah menolong Nabi Musa disaat-saat sulit.
  3. Dari sifat penguasa dan penduduk Palestina yang kejam dan zhalim. Biasanya kaum seperti ini akan mudah dikalahkan.

3)      Ketiga:

(وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ)

“Bertawakkal kepada Allah secara penuh di dalam memerangi musuh-musuh mereka”

  1. Bertawakkal artinya bersandar penuh dengan kekuatan Allah dan tidak merasa dirinya hebat serta tidak menyandarkan pada kekuatan diri.
  2. Bertawakkal juga berarti sudah melakukan usaha yang maksimal di dalam mempersiapkan kekuatan dan mengatur strategi perang. Usaha maksimal dari manusia, adapun hasil diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  3. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa salah satu syarat menjadi seorang mukmin yang benar adalah bertawakkal kepada Allah dalam setiap masalah yang dihadapinya.
  4. Allah berfirman,

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal[8]: 2)

 

Jakarta, Selasa 31 Mei 2022

KARYA TULIS