Tafsir An-Najah QS.[5]: 41-45 BAB 298 (1)
Tafsir An-Najah (QS. Al-Maidah[5]: 41-45)
BAB 298
۞ يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْكُفْرِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِاَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ ۛ وَمِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا ۛ سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ سَمّٰعُوْنَ لِقَوْمٍ اٰخَرِيْنَۙ لَمْ يَأْتُوْكَ ۗ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ مِنْۢ بَعْدِ مَوَاضِعِهٖۚ يَقُوْلُوْنَ اِنْ اُوْتِيْتُمْ هٰذَا فَخُذُوْهُ وَاِنْ لَّمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوْا ۗوَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ فِتْنَتَهٗ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهٗ مِنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا ۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللّٰهُ اَنْ يُّطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ ۗ لَهُمْ فِى الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖوَّلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Wahai Rasul (Muhammad), janganlah engkau disedihkan oleh orang-orang yang bersegera dalam kekufuran, yaitu orang-orang (munafik) yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman, dan juga orang-orang Yahudi. (Mereka adalah) orang-orang yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong lagi sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka mengubah firman-firman (Allah) setelah berada di tempat-tempat yang (sebenar)-nya. Mereka mengatakan, “Jika ini yang diberikan kepada kamu, terimalah. Jika kamu diberi yang bukan ini, hati-hatilah.” Siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, maka sekali-kali engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang sangat berat.” (QS. Al-Maidah[5]: 41)
Pelajaran (1): Larangan Untuk Bersedih
1. Setelah menjelaskan beberapa hukum Islam yang bisa membuat ketentraman masyarakat dan kenyamanan mereka. Pada ayat ini Allah menjelaskan orang-orang yang ingin mengacak-ngacak hukum tersebut dengan cara mengubah, menambah dan menguranginya. Sehingga masyarakat akan menjadi kacau kembali setelah tenang dan nyaman hidup dibawah syariat Islam.
2. (يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ) Panggilan dengan mennyebut “Wahai Rasul” merupakan panggilan kehormatan bagi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hal itu untuk menunjukkan bahwa tugas beliau adalah penyampai risalah dari Allah, tidak lebih dari itu. dan tugas ini tidak boleh berhenti hanya karena ada sekelompok orang yang bersegera menuju kepada kekafiran.
3. (لَا يَحْزُنْكَ) Larangan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk bersedih terhadap mereka yang bersegera kepada kekafiran. Larangan seperti ini tersebut di dalam beberapa ayat lain di antaranya:
a. Firman Allah
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا
“Maka, boleh jadi engkau (Nabi Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).” (QS. Al-Kahfi[18]: 6)
b. Firman Allah
لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ اَلَّا يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
“Boleh jadi engkau (Nabi Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan) karena mereka (penduduk Makkah) tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’ara’[26]: 3)
c. Firman Allah
اَفَمَنْ زُيِّنَ لَهٗ سُوْۤءُ عَمَلِهٖ فَرَاٰهُ حَسَنًاۗ فَاِنَّ اللّٰهَ يُضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرٰتٍۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِمَا يَصْنَعُوْنَ
“Maka, apakah pantas orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya (oleh setan), lalu menganggap baik perbuatannya itu (sama dengan yang mendapat petunjuk)? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan pilihannya) dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Maka, jangan engkau (Nabi Muhammad) biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap (sikap) mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Fathir[35]: 8)
Larangan bersedih dalam tiga ayat di atas dan di dalam ayat dimaksudkan agar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tetap fokus dalam berdakwah, adapun mereka yang menolak dakwah, hendaknya diserahkan urusan mereka kepada Allah.
(يُسَارِعُوْنَ فِى الْكُفْرِ)
Menunjukkan bahwa mereka sangat cepat jika dipanggil untuk berbuat kekafiran, tanpa memikirkan akibat buruk dari perbuatan tersebut. Penggunaan () bukan () pada ayat ini, untuk menunjukkan bahwa perilaku mereka telah menjerumuskan mereka ke dalam jurang yang sangat dalam, susah untuk keluar darinya. Yaitu jurang kekufuran. Orang-orang yang berbuat seperti ini ada dua kelompok:
1. Orang-orang Munafik ini ditunjukkan di dalam firman-Nya,
مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِاَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ ۛ
Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu letaknya di dalam hati kemudian diungkapkan dengan lisan dan di amalkan dengan anggota badan.
2. Orang-orang Yahudi,
وَمِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا ۛ
Di antara sifat orang-orang yang bersegra dalam kekafiran itu adalah sebagaiberikut:
1. Mereka senang mendengar pembicaraan bohong dari pemimpin-pemimpin mereka. (سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ)
2. Mereka juga senang mendengar pembicaraan dari kelompok lain yang memusuhi Islam, tetapi mereka tidak mau bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena kebencian yang ada di dalam diri mereka (سَمّٰعُوْنَ لِقَوْمٍ اٰخَرِيْنَۙ لَمْ يَأْتُوْكَ ۗ)
atau kedua sifat di atas bisa diartikan bahwa mereka datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mendengar apa yang disampaikan beliau. Kemudian mereka pulang untuk menyampaikan apa yang mereka dengar dengan menambah atau menguranginya atau memanipulasinya kepada para pemimpin mereka yang belum pernah ketemu atau tidak mau ketemu dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jadi, kedudukan para pendengar ini sebagai mata-mata untuk kepentingan para musuh Islam. Tugasnya memberikan informasi-informasi bohong kepada para pemimpin mereka.
3. Mereka mengubah, menambah, mengurangi, memanipulasi firman Allah di dalam Taurat dan perkataan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. (يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ مِنْۢ بَعْدِ مَوَاضِعِهٖۚ)
Di dalam ayat ini diungkap dengan kalimat, (مِنْۢ بَعْدِ مَوَاضِعِهٖۚ) sedang di ayat lain diungkap dengan kalimat (عن مَوَاضِعِه) Hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka mengubah firman Allah dan hukum-hukum yang sudah tetap dan baku di dalam kitab Taurat, seperti hukuman bagi orang yang berzina.
Diriwayatkan bahwa salah satu sebab turunnya ayat ini adalah kasus perzinaan yang dilakukan oleh dua orang Yahudi, tetapi mereka berdua tidak dirajam dengan dalih bahwa tidak terdapat hukuman tersebut di dalam Taurat, menurut pengakuan mereka. Padahal hukuman rajam itu tersebut di dalam Taurat, tetapi mereka menyembunyikannya dan mengubahnya dengan hukum lain.
Dalam hal ini terdapat dua hadits yang menceritakan peristiwa tersebut.
a. Riwayat Barra bin ‘Azib
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مُرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَهُودِيٍّ مُحَمَّمًا مَجْلُودًا، فَدَعَاهُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «هَكَذَا تَجِدُونَ حَدَّ الزَّانِي فِي كِتَابِكُمْ؟»، قَالُوا: نَعَمْ، فَدَعَا رَجُلًا مِنْ عُلَمَائِهِمْ، فَقَالَ: «أَنْشُدُكَ بِاللهِ الَّذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى، أَهَكَذَا تَجِدُونَ حَدَّ الزَّانِي فِي كِتَابِكُمْ» قَالَ: لَا، وَلَوْلَا أَنَّكَ نَشَدْتَنِي بِهَذَا لَمْ أُخْبِرْكَ، نَجِدُهُ الرَّجْمَ، وَلَكِنَّهُ كَثُرَ فِي أَشْرَافِنَا، فَكُنَّا إِذَا أَخَذْنَا الشَّرِيفَ تَرَكْنَاهُ، وَإِذَا أَخَذْنَا الضَّعِيفَ أَقَمْنَا عَلَيْهِ الْحَدَّ، قُلْنَا: تَعَالَوْا فَلْنَجْتَمِعْ عَلَى شَيْءٍ نُقِيمُهُ عَلَى الشَّرِيفِ وَالْوَضِيعِ، فَجَعَلْنَا التَّحْمِيمَ، وَالْجَلْدَ مَكَانَ الرَّجْمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَوَّلُ مَنْ أَحْيَا أَمْرَكَ إِذْ أَمَاتُوهُ»، فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ} إِلَى قَوْلِهِ {إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ} ، يَقُولُ: ائْتُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنْ أَمَرَكُمْ بِالتَّحْمِيمِ وَالْجَلْدِ فَخُذُوهُ، وَإِنْ أَفْتَاكُمْ بِالرَّجْمِ فَاحْذَرُوا، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} فِي الْكُفَّارِ كُلُّهَا
“Suatu ketika seorang Yahudi yang wajahnya dicat hitam arang dan dicambuk lewat di hadapan Nabi . Maka beliau memanggil mereka seraya bersabda, ‘Beginikah hukuman zina yang kalian dapati dalam kitab Taurat kalian?’ Mereka menjawab, ‘Ya, benar.’ Lalu beliau memanggil seorang laki-laki yang tergolong dari ulama mereka, beliau bertanya, ‘Aku mengharap kamu mau bersumpah dengan nama Allah yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa, betulkah begini caranya hukuman zina yang kalian dapati dalam kitab Tauratmu?’ Dia menjawab, ‘Tidak, seandainya engkau tidak menyumpahku dengan nama Allah, aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepada engkau. Yang kami ketahui dalam kitab Taurat, hukumannya adalah rajam, akan tetapi biasanya hukuman itu tidak berlaku bagi pembesar-pembesar kami. Jika yang tertangkap itu dari pembesar, maka kami biarkan begitu saja. Namun jika yang tertangkap adalah rakyat kecil, maka kami tegakkan hukum sesuai Taurat. Akhirnya kami bermusyawarah, membicarakan hukum yang dapat kami tegakkan bagi pembesar dan rakyat biasa. Lalu kami putuskan untuk menghitamkan wajahnya dengan arang (tahmim)([2]) dan mencambuk pelaku zina sebagai pengganti hukum rajam.’ Setelah laki-laki itu selesai bicara, maka Rasulullah bersabda, ‘Ya Allah, sesungguhnya akulah orang yang pertama-tama menghidupkan kembali perintah-Mu yang telah mereka hapuskan.’ Setelah itu, beliau memerintahkan supaya Yahudi yang berzina itu dihukum rajam, lalu Allah menurunkan ayat, ‘(Wahai rasul, janganlah kamu merasa sedih, karena orang-orang yang bersegera menuju kekafiran … Jika diberikan ini kepadamu, maka terimalah).’ (QS Al-Maidah: 41). Orang-orang Yahudi berkata, ‘Datanglah kalian kepada Muhammad . jika beliau memutuskan hukuman kepadamu dengan (tahmim) dan cambuk, maka terimalah. Namun, jika dia memutuskan kepadamu dengan hukuman rajam, maka waspadalah. Maka Allah menurunkan ayat, “Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan siapa tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Dan siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al–Maidah: 44-47). Hal ini juga berlaku untuk seluruh orang kafir.”
b. Riwayat Ibnu Umar
[Hal 3420 Buku ke 8]
4. Mereka para pemimpin yang tidak hadir di majelis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tidak mau bertemu dengan beliau, mengatakan kepada para penasehatnya yang diutus untuk menghadiri majelis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. “Jika diberikan fatwa hukum (dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam) yang sesuai dengan kemauan kita, seperti hukuman mencoreng wajah pelaku zina dan mencambuknya, maka terimalah fatwa tersebut. Tetapi jika diberi fatwa hukum yang berbeda dengan keinginan kita, seperti hukuman rajam bagi yang berzina, maka jangan diterima. Dan kalian harus berhati-hati dengan ucapannya (Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam) inilah makna dari firman Allah,
يَقُوْلُوْنَ اِنْ اُوْتِيْتُمْ هٰذَا فَخُذُوْهُ وَاِنْ لَّمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوْا ۗ
Kata () berhati-hatilah (dengan ucapan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam) menunjukkan betapa takutnya mereka terhadap pengaruh dakwah Nabi Shallalllahu Alahi wa Sallam bagi para pengikut kaum menafikun dan Yahudi.
5. (وَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ فِتْنَتَهٗ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهٗ مِنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا ۗ)
Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya. Maka sekali-kali engkau tidak akan mampu menolak sesuatupun dari Allah.
Fitnah disini diartikan kesesatan atau kekafiran, sebagaimana di dalam firman-Nya,
وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهٗ لِلّٰهِۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (penganiayaan atau syirik) dan agama seutuhnya hanya bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekufuran), sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal[8]: 39)
Al-Fitnah pada ayat ini adalah kesyirikan aau kekufuran.
Maksud dari penggalan ayat di atas bahwa kalau Allah telah menghendaki seseorang sesat, maka tidak ada satupun yang bisa memberikan hidayah kepadanya.
Yaitu orang-orang Munafik dan Yahudi yang disebutkan di atas adalah orang-orang yang Allah kehendaki kesesatannya. Dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak bisa memberikan hidayah kepada mereka.
6. (اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللّٰهُ اَنْ يُّطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ ۗ)
Allahpun tidak berkehendak untuk mensucikan hati mereka, yaitu mensucikan dengan keimanan dan ketaqwaan. Hal ini menunjukkan pentingnya pensucian jiwa. Dan salah satu tugas Rasul adalah mensucikan jiwa orang-orang beriman dengan Al-Qur’an. Allah berfirman,
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ
“Dialah yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.(QS. Al-Jumu’ah[62]: 2)
Di dalam buku “13 Jalan Pensucian Jiwa” penulis telah menjelaskan makna pensucian jiwa, urgensinya dan amalan-amalan yang bisa mensucikan jiwa dari kotoran hati.
(لَهُمْ فِى الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖوَّلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ)
Inilah akibat hati yang tidak suci dan tidak bersih dari kotoran syirik dan kekafiran serta kotoran kemunafikan. Mereka akan mendapatkan kehinaan di dunia dan di akhirat akan merasakan adzab yang besar di dalam neraka. Mereka kekal di dalamnya.
…
سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَكّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِۗ فَاِنْ جَاۤءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْ ۚوَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Mereka (orang-orang Yahudi itu) sangat suka mendengar berita bohong lagi banyak memakan makanan yang haram. Maka, jika mereka datang kepadamu (Nabi Muhammad untuk meminta putusan), berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling, mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Akan tetapi, jika engkau memutuskan (perkara mereka), putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Maidah[5]: 42)
1. Inilah sifat kelima dari orang-orang yang bersegera mennuju kekafiran dari kalangan kaum munafik dan kaum Yahudi,yaitu senang mendengar kebohongan dan suka memakan harta haram. Sifat “Mendengar Kebohongan” sudah disebutkan pada ayat sebelumnya, tetapi Allah meneyebutkan kembali di sini dan digabungkan dengan sifat “Memakan Harta Haram” untuk menunjukkan bahwa dua sifat ini saling melekat satu dengan yang lain, seakan tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Hal itu, karena orang yang suka berbohong, dan tidak jujur di dalam perkataannya, maka dia tidak akan jujur di dalam mencari rezeki dan mudah untuk memakan harta yang haram.
Begitu juga bisa dikatakan bahwa salah satu cara untuk mendapatakan harta yang haram adalah dengan cara berbohong.
2. Kata (السُّحْتِۗ) asal maknanya secara bahasa adalah kehancuran. Sebagaimana firman Allah,
قَالَ لَهُمْ مُّوْسٰى وَيْلَكُمْ لَا تَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا فَيُسْحِتَكُمْ بِعَذَابٍۚ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرٰى
“Musa berkata kepada mereka (para penyihir), “Celakalah kamu! Janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, nanti Dia membinasakan kamu dengan azab. Sungguh rugi orang yang mengada-adakan kedustaan.” (QS. Toha[20]: 61)
Tetapi yang dimaksud (السُّحْتِۗ) pada ayat di sini adalah “Harta Haram” disebut (السُّحْتِۗ) karena orang yang memakannya akan hancur nasibnya di akhirat dengan masuk neraka. Sabda Nabi Shallallahu Alaihhi wa Sallam,
كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ بِالسُّحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka neraka adalah tempatnya”
Orang-orang Yahudi terkenal sebagai kaum yang sering memakan harta haram, termasuk yang paling sering memakan Riba. Allah berfirman,
وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا
“Melakukan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya; dan memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang sangat pedih”. (QS. An-Nisa[4]: 161)
فَاِنْ جَاۤءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْ ۚ
Kaum Munafik dan kaum Yahudi yang sifat-sifatnya telah disebutkan di atas, mereka kadang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk meminta keputusan hukum. Hanya saja, mereka bimbang dan ragu-ragu apakah keputusan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam akan sesuai dengan harapan mereka atau tidak.
Dalam hal ini Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mempunyai dua pilihan.
1. Menghukumi perselisihan di antara mereka.
2. Berpaling dari mereka.
Pilihan untuk memberikan hukuman atau berpaling dari mereka berlaku untuk orang Kafir Mu’ahhad, yaitu orang Kafir yang ada perjanjian damai ddengan umat Islam, seperti orang-orang Yahudi yang ada di Madinah.
Adapun untuk orang kafir dzimmi, yaitu orang-orang kafir yang hidup dan mendapatkan perlindungan dari pemerintah Islam. Dia wajib membayar jizyah (upeti) sebagai timbal balik untuk mendapatkan keamanan dan perlindungan dari kaum muslimin. Jika seorang kafir dzimmi datang kepada Nabi Shallallahhu Alaihi wa Sallam untuk meminta keputusan hukum, maka wajib bagi beliau atau bagi pemimpin kaum Muslimin untuk menghukumi mereka sesuai dengan syariat Allah.
وَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ
Jika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berpaling dan tidak mau menghukumi perselisihan antara orang-orang kafir mu’ahad, maka hal itu dibolehkan, dan tidak akan memberikan mudharat kepada beliau. Karena manfaat dan mudharat di tangan Allah.
Sebaiknya, jika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memilih untuk tetap menghukumi mereka, maka Allah perintahkan kepada beliau untuk menghukumi mereka dengan adil. Hal itu, karena keadilan harus ditegakkan baik kepada diri sendiri, orangtua, kerabat dan juga kepada musuh. Allah berfirman,
۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa[4]: 135)
Hal ini dikuatkan dengan firman Allah,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah[5]: 8)
Sebenarnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak ada antusias atau keinginan kuat untuk menghukumi mereka, karena kebiasaan mereka ketika berhukum kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tujuannya bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk mendapat keputusan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan keputusan yang sesuai dengann syariat Allah, mereka kecewa. Selain itu, kitab Taurat ada di tangan mereka, sedang mereka tidak mau berhukum dengannya.
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
…
وَكَيْفَ يُحَكِّمُوْنَكَ وَعِنْدَهُمُ التَّوْرٰىةُ فِيْهَا حُكْمُ اللّٰهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ ۗوَمَآ اُولٰۤىِٕكَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ ࣖ
“Bagaimana mereka menjadikanmu sebagai hakim mereka, sedangkan mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling (dari putusanmu) setelah itu? Mereka benar-benar bukanlah orang-orang mukmin.” (QS. Al-Maidah[5]: 43)
Ayat ini menunjukkan kebenaran akan sikap kaum Yahudi yang ingin meminta keputusan hukum dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, padahal mereka tidak beriman kepadanya. sedangkan mereka mempunyai kitab Taurat yang didalamnya terdapat hukum Allah terhadap apa yang mereka perselisihkan, tetapi justru mereka meninggalkan dan berpaling darinya.
Kemudian setelah itu semua, merekapun berpaling dari keputusan hukum yang telah diputuskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Intinya sebenarnya ketika meminta keputusan hukum kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka tidak ingin mencari keadilan dan kebenaran, tetapi mereka ingin mencari keputusan hukum alternatif yang tidak ada di dalam Taurat dan sesuai dengan hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, mereka dicap sebagai orang yang tidak beriman, walaupun mempunyai kitab Taurat.
…
اِنَّآ اَنْزَلْنَا التَّوْرٰىةَ فِيْهَا هُدًى وَّنُوْرٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا وَالرَّبّٰنِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاۤءَۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengannya para nabi, yang berserah diri (kepada Allah), memberi putusan atas perkara orang Yahudi. Demikian pula para rabi dan ulama-ulama mereka (juga memberi putusan) sebab mereka diperintahkan (oleh Allah untuk) menjaga kitab Allah dan mereka merupakan saksi-saksi terhadapnya. Oleh karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah[5]: 44)
- Pada ayat ini, Allah menjelaskan kedudukan kitab Taurat sebelum diselubungkan oleh para pendeta Yahudi. Bahwa di dalamnya terdapat dua hal, yaitu petunjuk (Hudan) dan cahaya (Nur).
- Adapun yang dimaksud dengan petunjuk (Hudan) di sini adalah hukum-hukum syariat dan kewajiban-kewajiban yang dengannya seseorang akan mendapatkan petunjuk. Sedangkan yang di maksud dengan cahaya (Nur) di sini adalah penjelasan tenang aqidah yang benar, akhlaq karimah dan nasehat-nasehat serta hikmah yang memancarkan cahaya bagi orang yang meengamalkannya.
- Sebagian ulama mengatakan bahwa petunjuk dan cahaya di sini mencakup masalah aqidah dan fiqih. Dan ini menunjukkan bahwa syariat sebelum kita, adalah syariat kita juga (umat Islam), selama tidak bertentangan dengan syariat kita dan selama tidak ada dalil yang menunjukkan penghapusan.
يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا
- Dengan kitab Taurat itulah para Nabi yang telah masuk Islam memutuskan hukum kepada orang-orang Yahudi
Kata (النَّبِيُّوْنَ) Para Nabi di sini mempunyai dua makna.
a. Para Nabi di sini maksudnya adalah para Nabi Bani Israel yang datang setelah Nabi Musa. Mereka berserah diri dan tunduk kepada Allah serta melaksanakan seluruh isi Taurat.
b. Para Nabi di sini maksudnya adalah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam walau disebut “Para Nabi” tetapi maksudnya satu, untuk menunjukkan kemuliaan dan penghormatan. Ini seperti penyebutan “Kami” tetapi maksudnya “Saya”, atau “Antum” tetapi maksudnya “Kamu” yang Cuma satu orang.
Kalimat (الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا) mereka yang sudah pasrah atau mereka yang telah masuk Islam. Untuk menunjukkan bahwa agama para Nabi adalah Islam, maka Yahudi dan bukan pula Nashrani. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah,
وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ
“Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Al-Baqarah[2]: 132)
Ini dikuatkan engan firman Allah,
[HAL 3436 Buku Ke 8]
Nabi-nabi di sebut dalam dua ayat di atas yaitu Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Ya’kub, mereka menyatakan diri sebagai orang-orang muslim.
وَالرَّبّٰنِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ
Dalam ayat ini terdapat dua makna:
Makna Pertama: Bahwa para ar-Rabbaniyyun dan para pendeta (Ulama juga memberikan) keputusan hukum dengan Taurat sebagaimana yang dilakukan para Nabi. Mereka semuanya di perintahkan untuk menjaga kitab Allah dan melaksanakan hukum-hukumnya.
Makna Kedua: Bahwa para ar-Rabbaniyyun dan para pendeta diperintahkan untuk menjaga kitab Allah dari penyelewengan dan diperintahkan untuk menegakkan hukum-hukumnya.
Kata (الرَّبّٰنِيُّوْنَ) adalah para ulama yang selalu mengajar dan belajar, mereka juga ahli ibadah yang selalu mendekatkan diri kepada Allah, serta ahli hikmah. Allah berfirman,
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ
“Tidak sepatutnya seseorang diberi Alkitab, hukum, dan kenabian oleh Allah, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi (hendaknya dia berkata), “Jadilah kamu para pengabdi Allah karena kamu selalu mengajarkan kitab dan mempelajarinya!” (QS. Ali-Imran[3]: 79)
Kata (الْاَحْبَارُ) adalah para ulama dan ahli fiqih. Diambil dari (الحَبْرُ) yaitu perbaikan dan perhiasan. Mereka memperbaiki diri dan menghiasi diri dengan ilmu.
Bisa dikatakan juga bahwa ar-Rabbaniyyun dan al-Ahbar adalah para ahli Ibadah dan para Ulama yang menjadi pewaris para Nabi.
Menjaga Kitabullah ada dua cara :
a. Menghafal dan mempelajari ilmu yang ada di dalam nya kemudian di sampaikan kepada manusia.
b. Menegakkan hukum-hukum yang ada di dalamnya, dan mengamalkan di dalam kehidupan sehari-hari.
وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاۤءَۚ
Para Nabi Alaihi Salam, ahli ibadah serta ulama mereka menjadi saksi atas kebenaran isi Taurat dan mereka menjaganya dari segala bentuk penyelewengannya.
فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ
(الخشية) adalah rasa takut yang dibarengi dengan pengagungan dan berdasarkan ilmu. Sebagaimana di dalam firman Allah,
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ
“…Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama…” (QS. Fatir[35]: 28)
Adapun kata (خوف) adalah rasa takut secara umum, seperti takut kepada binatang buas dan lainnya. Allah berfirman,
قُلْنَا لَا تَخَفْ اِنَّكَ اَنْتَ الْاَعْلٰى
“Kami berfirman, “Jangan takut! Sesungguhnya engkaulah yang paling unggul”. (QS. Toha[20]: 68)
وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ
Maksud menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit adalah menutup kebenaran yang ada dalam Taurat, agar mendapatkan harta, pangkat, kehormatan atau jabatan. Itu semua nilainya sangat sedikit dibanding dengan kenikmatan surga yang tidak ada batasnya di akhirat nanti.
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang hakim wajib melakukan dua hal:
a. Memutuskan perkara sesuai dengan kitabullah dan berpegang kepada kebenaran, tanpa harus takut kepada siapapun juga kecuali hanya kepada Allah.
b. Tidak boleh menerima suap atau uang haram lainnya dan tidak boleh berorentasi pada naiknya jabatan atau kepentingan dunia lainnya.
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Maka barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah di dalam kitab Taurat, maka merekalah orang-orang Kafir”
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat 44, 45, 46, yaitu firman Allah yang menyatakan bahwa “Barangsiapa yang tidak memtuskan perkara menurut apa yan diturunkan Allah, maka merekalah orang-orang yang kafir, zhalim dan fasik”.
Pendapat Pertama, Mengatakan bahwa ketiga ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang Kafir, Dalilnya adalah hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menghukum rajam laki-laki Yahudi dan wanita Yahudi, kemudian beliau membaca ayat di atas (QS. Al-Maidah[5]: 44-47) dan bersabda, “Semua ayat tersebut turun untuk orang kafir” (HR. Muslim)
Lengkapi Hadits di atas (Hal 3442)
Dijelaskan juga bahwa orang-orang kafir jika ddiberikan sifat zhalim dan fasik, maka hal itu menunjukkan besarnya keturunan mereka.
Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa ketiga ayat tersebut turun khusus kepada kaum Yahudi. Ini sesuai dengan sebab turunnnya ayat 41, tentang perzinaan yang dilakukan oleh dua orang Yahudi, tetapi mereka berdua tidak di rajam. Mereka dihukumi oleh para pendeta tidak menurut apa yang diturunkan oleh Allah. merekalah yang disebut dengan orang-orang kafir, zhalim dan fasik.
Pendapat Ketiga: Menyatakan bahwa ayat 44 turun kepada kaum muslimin, ayat 45 turun kepada kaum Yahudi, ayat 47 turun kepada kaum Nashrani. Jika ayat ini diturunkan kepada kaum muslim, maka maksud kafir disini adalah kafir yang tidak mengeluarkan diri dari agama Islam. Hal itu, karena seorang yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah merupakan dosa besar, seperti dosa-dosa besar lainnya. Kecuali orang tersebut mengingkari apa yang diturunkan Allah, maka dalam keadaan seperti ini, maka dalam keadaan seperti ini, dia telah kafir keluar dari Islam.
Berkata Ibnu Abbas “Barangsiapa yang tidak memtuskan perkara menurut apa yang diturunnkan Allah dan dia mengingkarinya, maka dia telah kafir. Tetapi jika dia mengakui hukum Allah, hanya tidak mengamalkannya, maka dia dihukumi sebagai orang zhalim”
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Kami telah menetapkan bagi mereka (Bani Israil) di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (balasan yang sama). Siapa yang melepaskan (hak kisasnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Maidah[5]: 45)
Setelah menjelaskan bahwa Taurat adalah petunjuk dan cahaya, pada ayat ini Allah menjelaskan sebagian isi Taurat, yaitu Allah telah menetapkan bagi Bani Israelsuatu hukuman,
a. Bahwa jiwa yang terbunuh tanpa haq, harus dibalas dengan mencabut jiwa pembunuhnya.
b. Mata yang dicungkil harus dibalas dengan serupa.
c. Hidung dengan hidung.
d. Telinga dengan telinga.
e. Gigi dengan gigi.
f. Luka-luka di balas dengan yang serupa.
Hukuman Qishash di dalam Taurat ini, sesuai dengan hukum qishash di dalam al-Qur’an, yaitu di dalam firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik.48) Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS. al-Baqarah[2]: 178)
فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ
“Barangsiapa yang bersedekah, yaitu tidak menuntut balas atas kejahatan orang lain kepada dirinya, maka hal itu akan menjadi penghapus dosa baginyya. Sebagian Ulama menyatakan bahwa hal itu sebagai penghapus bagi pelaku kejahatan”
Di antara dalil yang menganjurkan untuk memberikan maaf adalah sebagaiberikut:
a. Firman Allah,
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
“Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy-Syura[42]: 40)
b. Firman Allah,
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
“(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali-Imran[3]: 134)
c. Hadits Ubadah bin Shamit, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidaklah seorang yang terluka pada badannya (karena kejahatan orang lain), kemudian dia memaafkannya , kecuali Allah akan menghapus dosa-dosa sebanyak luka yang dideritanya” (HR. At-Thabrani)
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
1. Orang yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang zhalim. Disebut zhalim, karena dia telah meninggalkkan hukum Allah yang adil dan memilih hukum lain yang tidak adil atau zhalim dan setiap hukum yang tidak berasal dari Allah adalah hukuman yang zhalim.
2. Pada ayat sebelumnya (ayat 44), disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang kafir, sedangkan ayat ini (45) disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang zhalim. Hal ini menunjukkan dua hal.
a. Dosa kekafiran lebih besar dari dosa kezhaliman, maka di dahulukan yang lebih besar, kemudian yang lebih kecil.
b. Pada ayat (44) disebut kafir karena melanggar sesuatu yang menjadi hak Allah, yaitu menolak hukum-Nya dan mengingkarinya, sedangkan pada ayat (45) disebut zhalim, karena melanggar sesuatu yang menjadi hak manusia, yaitu hak menagakkan hukum qishash.
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »