Ilmu
37246 Hits

Makna Taqwa

( لِّلْمُتَّقِينَ )

Petunjuk di dalam Al Qur’an ini, hanya bisa dirasakan dan dimanfaatkan oleh orang-orang beriman dan bertaqwa saja. Sedangkan bagi orang-orang kafir, Al Qur’an ini hanya akan menambah kerugian bagi mereka. Allah swt berfirman :

<< وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَارًا >>

” Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” ( QS Al Israa’ : 82 )

Dari ayat di atas memberikan pesan kepada kita bahwa seorang muslim yang tidak bisa merasakan atau menikmati petunjuk di dalam Al Qur’an, atau tidak bisa Al Qur’an sebagai penerang dan obor di dalam menghadapi berbagai tantangan di dalam kehidupan dunia ini, maka dapat dipastikan bahwa keimanan dan ketaqwaannya berada dalam kadar yang rendah. Oleh karenanya, dia harus senantiasa memperbaharui keimanan dan ketaqwaannya, dia harus berusaha sekuat mungkin untuk merubah hatinya agar luluh dan lunak dengan ayat- ayat Al Qur’an.

 

Salah satu makna At Taqwa adalah apa yang diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwasanya beliau bersabda :

<< لا يبلغ العبد أن يكون من المتقين حتى يدع ما لا بأس به حذرا مما به بأس >>

” Bahwasanya seorang hamba, tidaklah akan bisa mencapai derajat ketaqwaan sehingga ia meninggalkan apa yang tidak dilarang, supaya tidak terjerumus pada hal- hal yang dilarang ” ( Hadist ini Hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi no : 2451 , Ibnu Majah no : 4215, Baihaqi : 2/ 335) .

Diriwayatkan pula bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang Taqwa . Ubai balik bertanya : ” Apakah anda pernah melewati jalan yang banyak durinya ” ? ” Pernah ” Jawab Umar. Ubai bertanya kembali : ” Bagaimana ketika anda melewatinya ” ? Umar menjawab : ” Saya bersungguh- sungguh serta berhati- hati sekali supaya tidak kena duri ” . Ubai akhirnya mengatakan : ” Itulah arti Taqwa yang sebenar- benarnya. ”

Dari hadist an Atsar Umar ra,kita bisa menyimpulkan , bahwa hakikat taqwa adalah kesungguhan dan kehati-hatian terhadap apa yang dilarang Allah swt. Orang yang bertaqwa adalah orang yang sungguh –sungguh untuk menjauhi segala larangan Allah dan berhati- hati sekali supaya tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju kepada ketaqwaan tersebut , kadang- kadang ia harus meninggalkan apa yang tidak dilarang, jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang dilarang.

Dalam hal ini, seorang penyair yang bernama Ibnu Al Mu’taz pernah menulis syair-syairnya :

خل الذنوب صغيرها وكبيرهـا ذاك التقــي

واصنع كماش فوق أر ض الشوك يحذر ما يرى

لا تحقـرن صغـيرة إن الجبال من الحصـي

” Tinggalkan dosa-dosa kecil dan yang besar, dan itulah taqwa

Berbuatlah bagai orang yang melangkah di atas tanah berduri , berhati-hati dengan apa yang dilihat .

Janganlah engkau meremehkan dosa kecil, sesungguhnya gunung itu berasal dari batu kerikil. ”

Abu Darda’ sempat juga bersenandung dengan syairnya :

يريد المرء أن يؤتي مناه ويأبـي الله إلا مـا أرادا

يقول المرء فائدتي ومالي وتقوى الله أفضل ما استفدا

” Semua orang mengingankan agar keinginannya terkabulkan, padahal Allah tidaklah akan menentukan kecuali apa yang dikehendaki-Nya

Semua orang mengatakan : keuntungan-ku dan harta-ku, padahal taqwa Allah adalah keuntungan yang paling utama “

Adapun sifat- sifat orang –orang yang bertaqwa secara lebih terperinci telah disebutkan oleh Allah swt pada ayat berikutnya :

Yang pertama adalah :

<< الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ >>

” Yaitu orang- orang yang beriman kepada yang ghoib .”

MAKNA AL- IMAN

Iman di dalam Al Qur’an mempunyai beberapa arti. Kadang Al Iman berarti pembenaran. (Amana–yu’minu) yaitu membenarkan atau mempercayai, sebagaimana firman Allah swt di dalam surat Yusuf :

<< وَمَا أَنتَ بِمُؤْمِنٍ لِّنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ >>

” Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.”( QS Yusuf : 17 )

Begitu juga , jika keimanan itu disertai dengan menyebutkan amal sholeh ,maka artinya adalah pembenaran , sebagaimana dalam firman Allah :

<< إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ >>

” Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. ( QS Al Tien : 6 )

Adapun Al Iman di dalam Al Qur’an , jika disebutkan sendiri secara mutlak, maka artinya adalah : ” Keyakinan di dalam hati, perkataaan yang diucapkan dengan lisan serta amal dengan anggota badan. Ini adalah pengertian Iman secara istilah menurut madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Dan pengertian seperti ini sudah menjadi kesepatan para ulama salaf.

Sebagian firqah menyelesihi pengertian Iman yang telah diterangkan di atas, seperti Firqah Murjiah. Mereka mengartikan Iman hanya sebatas keyakinan di dalam hati, tanpa harus disertai amal dengan anggota badan. Pengertian ini tidak benar dan menyesatkan.

Sebagian ulama menafsirkan Al Iman dengan amal. Dalam buku ” As Shohih’ nya, Imam Bukhari menulis sebuah bab dengan judul : ” Amal adalah sebagian dari keimaman “ . Artinya Iman itu tidak bisa dilepaskan dari amal perbuatan. Pernyataab Ini membantah pendapat Firqah Murjiah di atas .

Oleh karenanya, sebagian ulama tafsir mengartikan Beriman kepada yang ghoib dalam surat Al Baqarah ini dengan makna : ” orang- orang yang takut kepada Allah ” , ini sesuai dengan firman Allah swt :

<< إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ >>

” Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. ” ( QS Al Mulk : 12 )

<< وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى وَهَارُونَ الْفُرْقَانَ وَضِيَاء وَذِكْرًا لِّلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَهُم مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ >>

” Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat ” ( QS Al Anbiya’ : 49 ) .

<< وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَن بِالْغَيْبِ وَجَاء بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ >>

” Dan didekatkanlah syurga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka).

Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya, (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat ” ( QS Qof : 31-33)

Ketiga ayat ayat di atas , menafsirkan ayat 2 dan 3 dari surat Al Baqarah tentang pengertian orang- orang yang bertaqwa. Dan juga menafsirkan makna Iman dengan takut kepada Allah swt, sebagaimana pada ayat- ayat yang digaris bawahi.

Al Khosyah yang berarti takut terhadap adzab Allah , merupakan sari atau inti dari keimanan dan keilmuan. Allah swt berfirman :

<< إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء >>

” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. ” ( Qs Fathir : 28 )

Ayat di atas menunjukkan bahwa tanda dari keimanan dan keilmuan yang benar adalah rasa takut kepada Allah swt . Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa yang dimaksud dari ulama dalam surat Fathir di atas adalah ulama syare’ah dan ulama pada bidang- bidang lain, seperti ulama fisika, biologi , kedokteran dan lain-lainnya, selama ilmunya mampu mengantarkannya kepada rasa takut kepada Allah swt.

Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan : ” Hakikat ilmu bukanlah dengan banyak menghafal hadist, akan tetapi hakikat ilmu adalah banyaknya rasa takut kepada Allah swt.

Pernyataan tersebut dikuatkan juga oleh pernyataan Sufyan At Tsauri : ” Sesungguhnya ilmu itu dituntut agar dengannya bisa bertaqwa kepada Allah, dan sesungguhnya ilmu itu diutamakan dari pada yang lainnya karena dengan ilmu tersebut bisa bertaqwa kepada Allah . “

Perkataan Ibnu Masu’d ra, dan Sufyan At Tsauri di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa hakikat ilmu yang sebenarnya adalah ilmu yang mengantarkan kepada kita kepada rasa taqwa kepada Allah swt .

MAKNA AL- GHOIB

Adapun makna ghoib , mencakup semua apa yang tidak dilihat oleh manusia seperti Allah , Malaikat, Hari Akhir, Syurga, Neraka, Qadha dan Qadar , Jin dan lain-lainnya.

Sebagian ulama mengartikan ” Al- Ghoib ” dengan hati .

Menurut pengertian ini, maka makna : ” beriman dengan ghoib ” yaitu beriman kepada Allah dengan hati dan keikhlasan, karena hati dan keikhlasan tersebut termasuk sesuatu yang ghoib dan tidak nampak di hadapan manusia. Oleh karenanya, orang- orang munafik tidak termasuk golongan orang- orang yang beriman dengan al ghoib, karena mereka mengaku beriman dengan lisannya saja, tetapi hatinya mengingkari dan mengkafirinya.

KEUTAMAAN BERIMAN KEPADA YANG GHOIB

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa beliau pernah berkata : “ Tidak ada yang lebih utama bagi seseorang yang beriman dari keimanannya kepada yang ghoib. ” , kemudian beliau membaca ayat 1- 5 dari surat Al Baqarah di atas .

Diriwayatkan dari Abu Jum’ah Al Anshori, salah satu sahabat Rosulullah saw, bahwasanya ia berkata : ” Pada suatu ketika, kita makan siang bersama Rosulullah saw , pada waktu itu terdapat juga Abu Ubaidah bin Jarrah, beliau bertanya kepada Rosulullah saw : ” Wahai Rosulullah saw, apakah ada generasi yang lebih baik dari generasi kita ? Kita beriman kepada-mu dan berjihad bersama-mu . Rosulullah saw bersabda : “ Benar ada, yaitu generasi yang datang sesudah kalian, mereka beriman kepada-ku, sedang mereka belum pernah melihat-ku .” ( HR Ahmad, Thobari Abu Ya’la , Ad Darimi no : 2744 ) , Thohawi dalam ” Musykil ” : 4/ 175 , Al Hakim : 4/ 84 )

Hadist di atas menunjukkan keutamaan beiman kepada yang ghoib. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa generasi sesudah sahabat lebih utama dari ada generasi sahabat. Karena Rosulullah saw sendiri pernah bersabda : << خير القرون قرني ثم الذي يلونهم ثم الذي يلونهم >>

” Sebaik- baik generasi adalah generasi yang hidup pada masa-ku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya ”

Hadist ini menunjukkan bahwa generasi yang paling baik dan yang paling utama adalah generasi sahabat Rosulullah saw, kemudian generasi sesudahnya (yaitu tabi’in) , kemudian generasi sesudahnya ( yaitu tabi’i tabi’in ).

Kedua hadist di atas kelihatannya bertentangan, namun kalau kita pahami dengan baik, niscaya tidak ada pertentangan. Bagaimana cara menjama’ atau menggabungkannya ? Kita katakan : bahwa hadits pertama menunjukkan salah satu keutamaan generasi sesudah sahabat yaitu beriman kepada Rosulullah saw secara ghoib, karena mereka tidak melihatnya. Tetapi keutamaan generasi sahabat jauh lebih besar dan lebih banyak, karena mereka pertama kali yang beriman kepada Rosulullah saw, mereka adalah orang- orang yang langsung berinteraksi dengan wahyu dan mereka adalah orang- orang yang berjasa besar di dalam mempertahankan dan menyebarkan ajaran Islam ini kepada generasi sesudahnya hingga akhir zaman. Wallahu A’lam.

KARYA TULIS