Karya Tulis
668 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 2: 234-235) Bab ke-111 Jika Suami Meninggal


Jika Suami Meninggal


وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا ۚ فاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْٓ اَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ


"Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.." (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 234)

 

1.      Iddah Istri yang Ditinggal Suami

                                              

1)      Pada ayat 228 Allah menerangkan iddah wanita yag dicerai suaminya, pada ayat Allah menjelaskan iddah wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.

 

2)      Wanita yang ditinggal mati suaminya ada tiga kelompok :

a)      Wanita yang belum digauli suaminya.

b)      Wanita yang sudah digauli suaminya.

c)      Wanita yang sedang hamil.

Ayat di atas hanya mencakup dua kelompok

Pertama, adapun wanita yang sedang hamil dan dianggap mati suaminya. Iddahnya sampai melahirkan anak. Buakan empat bulan sepuluh hari dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

 

وَاُ ولَا تُ الْاَ حْمَا لِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan wanita-wanita yang hamil masa iddah mereka sampai melahirkan.” (QS. At-Talaq [65] : 4)

Ini dikuatkan dengan hadits Subai’ah, “Bahwa Subai’ah ditinggal mati suaminya yang bernama Sa’ad bin Khaulah sedang ia dalam keadaan hamil. Dan tidak lama setelah suaminya meninggal ia pun melahirkan.”

           Dalam riwayat lain disebutkan, maka ia pun melahirkan beberapa malam setelah suaminya meninggal. Setelah nifasnya mengering, ia pun berdandan untuk menyambut pelamar. Maka datanglah Abu Sanabil bin Ba’kak menemuinya dan berkata kepadanya “aku melihat engkau berdandan, apa mungkin engkau berkeinginan untuk menikah? Demi Allah, engkau tidak menikah sebelum empat bulan sepuluh hari berlalu.” Subai’ah berkata “Setelah Abu Sanabil mengatakan hal itu kepadaku, maka sore harinya aku langsung mengemasi pakaianku kemudian pergi menemui Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Salam. Dan kutanyakan hal itu kepada Beliau, maka Beliau memberikan fatwa kepadaku bahwa aku boleh menikah sejak aku melahirkan. Dan beliau menyuruhku menikah jika mau.”

3)      Mayoritas ulama berpendapat bahwa ayat 234 ini telah menasakh (menghapus) ayat 240, yang menyebut bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suami adalah satu tahun, kemudian ada keringanan sehingga diganti empat bulan sepuluh hari.

 

2.      Empat Bulan 10 Hari

 

اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا

 

“Empat bulan sepuluh hari.”

 

1)      Abu Aliyah pernah ditanya, “Mengapa waktu empat bukan itu ditambah sepuluh hari?” ia menjawab, “Karena ruh ditiupkan kejasad dalam tempo itu.”

 

2)      Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya iddah istri yang ditinggal mati suaminya adalah untuk berkabung, sedang tujuan untuk mengetahui kekosongan rahim terhitung sebagai tujuan sekunder.

3)      Kalau tujuannya untuk mengetahui kekosongan rahim maka waktu tiga bulan atau tiga kali haid sudah cukup sebagai mana dalam iddah istri yang dicerai suami. Maka sudah satu hikmah diperpanjang sampai empat bulan.

4)      Sebagian ulama menyatakan bahwa waktu empat bulan sepuluh hari adalah (Ta’abbudi) sesuatu yang bersifat ibadah, seperti jumlah rakaat dalam shalat, jadi tidak perlu dicari-cari hikmahnya.

 

3.      Istri Berkabung.

 

 

فَاِ ذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْۤ اَنْفُسِهِنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ

Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut.

 

Ayat diatas menunjukkan wajibnya berkabung bagi istri yang ditinggal mati suami selama empat bulan selupuh hari.

 

1)      Ini dikuatkan dengan hadits umum Habibah dan Zaenab binti Jahsy bahwa Nabi Sallallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

 

لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تحد على ميت فوق ثلاث ليال، إلا زوج، فإنها تحد عليه أربع أشهر وعشرا

“Tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas seseorang.”

2)      Berkabung atau dalam istilah fiqihnya (Al-Ihdad) adalah seorang wanita meninggalkan segala bentuk yang menunjukkan bahwa dia berhias, seperti bersolek, memakai parfum, celak, pakaian yang indah. Selama dalam masa iddah termasuk tidak keluar rumah. Karena hal itu membuat laki-laki tertarik untuk melamarnya.

3)      Sebagian ulama membolehkan wanita selama dalam masa berkabung untuk keluar rumah pada siang hari untuk mencari nafkah atau masuk kerja (masuk kantor), jika tidak ada yang menanggung kehidupannya.

4)      Jika masa iddahnya selesai, maka tidak ada dosa bagi para walinya membiarkannya bersolek, berdandan dan keluar rumah, serta meneriman pelamar sesuai dengan cara yang patut.

 

4.      Melamar Pada Masa Iddah

 


وَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهٖ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَآءِ اَوْ اَکْنَنْتُمْ فِيْۤ اَنْفُسِكُمْ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ سَتَذْكُرُوْنَهُنَّ وَلٰـكِنْ لَّا تُوَا عِدُوْهُنَّ سِرًّا اِلَّاۤ اَنْ تَقُوْلُوْا قَوْلًا مَّعْرُوْفًا ۗ وَلَا تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّکَاحِ حَتّٰى يَبْلُغَ الْكِتٰبُ اَجَلَهٗ ۗ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِيْۤ اَنْفُسِكُمْ فَا حْذَرُوْهُ ۗ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ


"Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia kecuali sekadar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah [2] : 235)

 

1)       Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan iddah wanita yang ditinggal mati suaminya maka pada ayat ini Allah menjelaskan kebolehan seorang laki-laki melamar wanita yang ditinggal mati suaminya dalam masa iddahnya. Tetapi secara implisit (sindiran) atau secara tidak terus terang. Dan laki-laki tersebut boleh menyembunyikan niatnya untuk mrnikahi wanita tersebut.

2)      Lafal sindiran terbagi dua :

a)      Kepada wali wanita tersebut, dia menyatakan kepadanya, “Jangan lewatkan saya tentang wanita tersebut.”

b)      Kepada wanita tersebut secara langsung, yaitu dengan menyatakan kepadanya “Engkau cantik, Aku ingin menikah. Engkau wanita shalihah dan lainnya.”

 

3)      Firman-Nya,

 

وَلٰـكِنْ لَّا تُوَا عِدُوْهُنَّ سِرًّا

 

Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia.”

 

Para ulama berbeda pendapat tentang makna (  سِرًّا  ) pada ayat diatas

a)      (Sirran) maknanya menikah.

b)      (Sirran) maknanya berzina.

c)      (Sirran) maknanya jima’ (berhubungan suami-istri).

Salah satu penyair menyatakan,

أَلا زَعَمَت بَسباسَةُ اليَومَ أَنَّني. كَبِرتُ وَأَن لا يُحسِنُ اللَهوَ أَمثالي.

“Basbasah menganggap saya sekarang sudah tua, sehingga orang seperti saya ini tidak pandai lagi melakukan Jima’ (huabungan badan).”

4)      Firman-Nya,

 

وَلَا تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّکَاحِ حَتّٰى يَبْلُغَ الْكِتٰبُ اَجَلَهٗ

 

Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah sebelum habis masa idahnya.

 

a)      Ayat di atas menunjukkan haramnya akad nikah pada masa iddah wanita yang suaminya wafat.

 

b)      Bagaimana hukum seorang laki-laki karena tidak tahu, dia melamar wanita dalam masa iddahnya. Kemudian melangsungkan akad nikah setelah masa iddah selesai?

Para ulama berbeda pendapat didalamnya :

(1)   Malik manyatakan kedua wajib dipisahkan.

(2)   Syabi’i mengatakan pernikahannya sah tetapi lamarannya makhruh.

 

c)      Bagaimana hukum seorang laki-laki yang menikah dalam masa iddahnya?

(1)   Mayoritas ulama berkata bahwa pernikahannya tidak sah dan harus dibubarkan (fasakh). Tetapi jika iddahnya habis boleh baginya melamar dan menikahinya.

(2)   Adapun pendapat Umar bin al-Khattab yang menyatakan tidak boleh menikah lagi selamanya ternyata riwayatnya terputus. Bahkan menurut Masruq Umar sudah mancabut pendapat tersebut.

 

****

 

Jakarta, Jum’at  11 Februari 2022

KARYA TULIS