Karya Tulis
602 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 3:17) Bab ke-136 Lima Sifat Hamba Allah


 

Lima Sifat Hamba Allah

 

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

 

“(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang jujur, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS Ali-Imran [3]: 17)

Ayat di atas menunjukkan lima sifat hamba-hamba Allah yang dijanjikan syurga kepada mereka. Lima sifat tersebut sebagai berikut :

 Sifat Pertama : Ash-Shobirin

Sabar adalah menahan diri untuk menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya serta tabah terhadap musibah yang menimpanya.

 Oleh karenanya, para ulama membagi sabar menjadi tiga tingkatan :

Tingkatan Pertama : Sabar di dalam ketaatan, yaitu menata diri untuk selalu mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya.

Sabar di dalam ketaatan ini adalah tingkatan sabar yang paling tinggi, kenapa? karena untuk melakukan suatu ketaatan, diperlukan kemauan yang sangat kuat, dan untuk menuju pintu syurga seseorang harus mampu melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan duri, ranjau dan segala sesuatu yang biasanya dia benci dan tidak dia sukai, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

وحَفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

“ Dan jalan menuju syurga itu dipenuhi dengan sesuatu yang tidak kita senangi ” (HR. Muslim)

 

Tingkatan Kedua : Sabar terhadap maksiat, yaitu selalu menahan diri untuk selalu menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Bentuk sabar ini jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan bentuk sabar yang pertama, karena meninggalkan sesuatu yang dilarang jauh lebih ringan daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah.

Walaupun sebenarnya dalam masalah ini, kadang sifatnya sangat relatifnya, artinya bagi seseorang mungkin lebih ringan meninggalkan sesuatu yang dilarang daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah, sementara bagi orang lain justru yang terjadi adalah sebaliknya, dia merasa lebih ringan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepadanya daripada meninggalkan sesuatu yang dilarang. Inipun tergantung kepada bentuk larangan dan perintah.

Umpamanya kebanyakan orang bisa bersabar untuk tidak berzina, akan tetapi tidak bisa bersabar untuk selalu mengerjakan sholat berjama’ah di masjid. Sebaliknya kebanyakan orang sangat sulit dan tidak bisa bersabar untuk meninggalkan “ghibah” (membicarakan kejelekan orang lain), akan tetapi sangat bisa dan sabar kalau diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dalam  kehidupan sehari-hari.

Tingkatan Ketiga : Sabar terhadap musibah, yaitu menahan diri dan tidak mengeluh ketika terkena musibah.

 Ini adalah bentuk sabar yang paling ringan, karena sesuatu itu sudah terjadi di depannya, dan dia tidak bisa menghindarinya, artinya dia bersabar atau tidak bersabar sesuatu itu sudah terjadi. Akan tetapi walaupun begitu, masih banyak dari kaum muslimin yang tidak bisa sabar ketika tertimpa musibah. Sabar dalam bentuk ini tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala  :

وَلَنَبلُوَنّكُم بِشَىءٍ مِنَ الخَوفِ وَالجُوعِ وَنَقصٍ مِنَ الأموَالِ وَالأَنفُسِ وَالثّمَراتِ وَبَشِرِ الصّابِرينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah [2]: 155)

 

Dalam hadist Ummu Salamah disebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

إذا أصاب أحدكم مصيبة فليقل: إنا لله وإنا إليه راجعون، اللهم عندك أحتسب مصيبتي فأجرني فيها، وأبدل لي بها خيراً منها

”Jika diantara kalian tertimpa musibah, hendaknya berkata : ” Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu, maka berikanlah kepada-ku pahala itu, dan gantikanlah aku dengan sesuatu yang lebih baik dari musibah ini ” (HR Abu Daud)

Hadist di atas benar-benar dipraktekkan oleh para sahabat, bahkan oleh Ummu Salamah sendiri, tepatnya ketika suaminya Abu Salamah pada detik-detik terakhir dari hidupnya dia berdo’a : “Ya Allah gantilah untuk keluargaku seseorang yang lebih baik dariku.”

 

Dan ketika Abu Salamah telah meninggal dunia, Ummu Salamah berdoa’ : “Sesunggunya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu.”

Kemudian apa yang terjadi setelah Ummu Salamah tetap sabar, tabah dan berdo’a sebagaimana yang diajarkan oleh RAsulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Ternyata Allah mengabulkan do’a tersebut dan Ummu Salamah mendapat ganti suami yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .

Sifat Kedua : Ash-Shodiqin

Ash-Shodiqin ini mempunyai tiga pengertian :

 Pengertian Pertama : Ash-Shadiqin adalah orang-orang yang membenarkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, walau kadang tidak sesuai dengan nalar akalnya, atau mungkin mereka belum memahaminya.

 

 Ini seperti yang dialami oleh Abu Bakar  Ash-Siddiq yang membenarkan apa saja yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, walaupun kadang kurang bisa dipahami dengan nalarnya.

 Sebagaimana dalam peristiwa Isra Mi’raj, ketika beliau ditanya oleh orang-orang kafir Qurays, “Wahai Abu Bakar, temanmu mengaku dia bisa melakukan perjalanan dari Mekkah ke Palestina, hanya dalam waktu semalam, apakah kamu tetap percaya dengan ucapannya? “Maka beliau  menjawab : “Jika beliau yang mengatakan demikian, maka saya mempercayainya.”

 

 Semenjak itulah Abu Bakar diberi gelar “Ash-Shiddiq “ karena selalu membenarkan apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

 

 Pengertian Kedua : Ash-Shadiqin adalah orang yang antar lahir dan batinya sama, apa yang ditampakkan dan yang disembunyikan sama, amal hati dan perbuatan anggota badan sejajar dan sama, serta tidak ada pertentangan antar keduanya.

 Sebaliknya orang munafik adalah orang yang menampakan keimanan secara lahir tetapi menyembuyikan kekafiran di dalam batin mereka.

 

 Pengertian Ketiga : Ash-Shadiqin adalah orang yang mempunyai kemauan keras dan niat yang tulus untuk meniti jalan yang benar.

 

 Ketiga pengertian tersebut terdapat dalam diri para sahabat, khususnya para muhajirin yang meninggalkan kampung halaman dan harta kekayaan mereka, demi mencari ridha Allah, dan berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke kota Madinah.

 

Orang-orang seperti ini tidak menyembuikan apa-apa di dalam hati mereka, kecuali mencari ridha Allah dan membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, artinya hati dan perbuatan mereka sama dan seimbang.

Selain itu mereka juga mempunyai azzam dan niat yang kuat untuk berjalan di atas jalan yang benar .

Oleh karenanya, Allah memerintahkan kita untuk selalu membersamai orang-orang yang mempunyai sifat Ash-Shodiqin ini, sebagaimana di dalam firman-Nya :

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”  (QS At-Taubah [9]: 119)

 

Sifat Ketiga : Al-Qonitin

 Al-Qonitin berasal dari Qanata-Yaqnutu-Qunutan yang berarti taat dan patuh. Ada yang mengartikan qunut adalah berdiri di hadapan Allah dalam rangka beribadah dan patuh kepada-Nya.  Berarti Al-Qanitin adalah orang-orang yang patuh terhadap perintah Allah dan rasul-Nya.

Syekh As-Sa’di mengartikan qunut sebagai berikut :

  دوام الطاعة مع مصاحبة الخشوع والخضوع

“Ketaatan yang kontinu yang diiringi rasa khusu’ dan patuh.

 

           Perempuan shalehah yang patuh kepada Allah dan rasul, serta taat kepada perintah suami disebut dengan “Al-Qanitah”, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

 

“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An-Nisa [4]: 34)

 

Sifat Keempat : Al-Munfiqin

 

 Yaitu orang-orang yang selalu meginfakkan harta mereka di jalan Allah dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan senang. Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

 “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”(QS. Ali-Imran [3]: 134)

 

           Sifat keempat ini menunjukkan bahwa hamba-hamba Allah bukanlah mereka yang hanya asyik sendiri menikmati ibadah kepada Allah yang bersifat vertikal, seperti salat, dzikir, berdoa dan membaca Al-Qur’an, tetapi mereka juga memperhatikan masyarakat sekitar dan empati kepada orang-orang yang lemah dan membutuhkan.

           Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar dari gua Hira dan pulang ke rumah dalam keadaan

 takut dan panik, Khadijah Radhiyallahu ‘Anha menghiburnya seraya mengatakan :

كلا … والله لا يخزيك الله أبدا ، إنك لتصل الرحم ، وتقرى الضيف ، وتحمل الكل ، وتكسب المعدوم ، وتعين على نوائب الحق .

 

” Sekali- kali tidak!  Demi Allah , sekali- kali Allah tidaklah akan menghinakan kamu selamanya, sesungguhnya  anda benar-benar orang yang suka menyambung tali persaudaraan, menghormati para tamu, menanggung orang – orang yang membutuhkan, berusaha memenuhi kebutuhan orang-orang yang tidak mampu, dan membantu orang –orang yang ditimpa musibah.”

 

Sifat Kelima : Al-Mustaghfirin bi Al-Ashar

 

Yaitu orang-orang yang beristighfar di waktu sahur,  memohon ampun kepada Allah atas segala dosa dan kesalahannya. Hal ini juga menunjukkan keutamaan waktu sahur. Di dalam ayat lain juga disebutkan ciri orang bertaqwa :

 وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

 “Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS Adz-Dzariyat  [51]: 18)

Ketika anak-anak Nabi Ya’qub meminta kepada beliau agar dosa-dosa mereka dimaafkan oleh Allah, maka beliau mengundurkan untuk memohon kepada Allah sampai waktu sahur. Allah berfirman :

قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

 “Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku (nanti pada waktu sahur ). Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf [12]: 98)

 Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :

 ينزل ربنا تبارك وتعالى إلى السماء الدنيا كل ليلة حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول: من يدعوني فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له، حتى ينفجر الفجر

"Tuhan kami turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, 'Siapa yang berdoa kepadaKu niscaya Aku menjawabnya. Siapa yang meminta kepadaKu niscaya Aku memberinya dan siapa yang memohon ampun kepadaKu niscaya Aku mengampuninya.” (HR Bukhari dan Muslim)

           Di dalam hadist Syadad bin Aus bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :

        سيد الاستغفار أن تقول : اللهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي، وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شِرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِالنِّعْمَةِ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ قال - مَن قَالها مِن النَّهارِ مُوقناً بِها فَماتَ مِن يومهِ قَبل أنْ يُمسِي فَهو مِن أَهل الجَّنةِ، ومَن قَالها مِن اللَّيْلِ وهُو مُوقِنٌ بِها فَماتَ قَبل أنْ يُصبحُ فَهو مِن أَهل الجنة .

“ Sayyidu  al-Istighfar adalah anda berdoa : ” Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Rabb-ku, Tiada Ilah kecuali Engkau, Engkau telah menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu, aku akan berusaha memenuhi janji-janjiku kepada-Mu sekuat tenagaku, aku berlindung kepada-Mu dari apa perbuatan jelekku, aku mengakui akan nikmat-Mu yang Engkau berikan kepadaku dan aku mengakui juga atas dosa yang pernah aku perbuat, maka ampunilah diriku, sesungguhnya tiada yang mampu mengampuni dosa kecuali Engkau ya Allah. ”Barang siapa yang mengucapkan doa ini ( yaitu doa sayidul istihgfar ) pada siang hari dengan menyakini isinya, kemudian mati pada hari itu, sebelum datang waktu sore, niscaya dia termasuk ahli syurga. Dan barang siapa yang membacanya pada malam hari dengan menyakini isinya, kemudian dia mati sebelum datangnya pagi, niscaya dia termasuk ahli syurga.”  (HR Bukhari)

 

****

 

Jakarta, Selasa 1 Maret 2022.

 

KARYA TULIS