Karya Tulis
608 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 3: 38) Bab ke-148 Doa Nabi Zakaria


 

Doa Nabi Zakaria

 

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥۖ قَالَ رَبِّ هَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةٗ طَيِّبَةًۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ

“Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa" .” (QS. Ali Imran: 38)

 فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَنَجَّيۡنَٰهُ مِنَ ٱلۡغَمِّۚ وَكَذَٰلِكَ نُـۨجِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٨٨ وَزَكَرِيَّآ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُۥ رَبِّ لَا تَذَرۡنِي فَرۡدٗا وَأَنتَ خَيۡرُ ٱلۡوَٰرِثِينَ ٨٩

 فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَوَهَبۡنَا لَهُۥ يَحۡيَىٰ وَأَصۡلَحۡنَا لَهُۥ زَوۡجَهُۥٓۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ ٩٠

“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 89-90)

 

 

Hikmah (1): Berdoa di Mihrab

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥۖ 

“Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya.”

1)      Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an  al-’Azhim (2/37) menjelaskan bahwa ketika Nabi Zakaria melihat secara langsung dengan mata kepalanya sendiri bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan rezeki kepada Maryam berupa buah-buahan musim dingin di musim panas dan buah-buahan musim panas di musim dingin, pada saat itu juga terbetik dalam dirinya untuk mempunyai anak, walaupun beliau sudah lanjut usia, lemah fisiknya, dan memutih rambutnya. Begitu juga istri beliau yang sudah lanjut usia lagi mandul. Maka beliau memohon kepada Allah dengan permohonan yang lirih dan mengucapkan doa di atas.

2)       Yang menarik apa yang disampaikan oleh Ath-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan (6/360) bahwa Nabi Zakaria terbersit untuk memohon keturunan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala walaupun dirinya sudah lanjut usia, sedangkan istrinya pun sudah tua dan mandul. Tetapi menurutnya hal itu tidak mustahil bagi Allah walaupun bagi manusia itu sulit terwujud. Nabi Zakaria terinspirasi ketika melihat Maryam yang mengurung diri di mihrab tidak banyak berhubungan dengan masyarakat di luar, tetapi yang sangat menakjubkan Maryam mendapatkan rezeki berupa buah-buahan yang tidak ada di wilayah tersebut, atau buah-buahan musim dingin di musim panas dan sebaliknya.

Penulis menyimpulkan bahwa Nabi Zakaria adalah nabi yang mampu mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mendapatkan inspirasi dari berbagai kejadian yang ada di depannya, mampu menganalogikan satu kejadian dengan kejadian yang lain. Inilah hakikat Ulul Albab sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Qs. Ali Imran: 190-191. Di dalam Ushul Fiqh, peristiwa seperti ini disebut dengan al-qiyas (analogi). Para ulama mengambil al-qiyas dari firman-Nya,

فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan (yang tajam).” (QS. Al-Hasyr [59] : 2)

Lafazh (فَاعْتَبِرُوا) pada ayat di atas berasal dari (عبر - يعبر - عبور) yang artinya melewati jembatan dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka (الإعتبار)  adalah mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa untuk diterapkan pada keadaan sekarang. Dalam hal ini, Nabi Zakaria mengambil pelajaran dari peristiwa Maryam untuk diterapkan pada dirinya agar mendapatkan keajaiban dari Allah yaitu dikaruniakan keturunan, walaupun dirinya sudah tua dan istrinya mandul.

3)       Al-Mawardi di dalam an-Nukat wa al-’Uyun (1/389) menyebutkan sebab turunnya ayat di atas selain yang telah disebutkan oleh ath-Thabari dan Ibnu Katsir, yaitu bahwasanya Allah telah mengizinkan Nabi Zakaria untuk berdoa meminta keturunan, padahal memohon sesuatu yang di luar kewajaran adalah sesuatu yang dilarang, kecuali ada izin dari Allah sebagaimana yang terjadi pada Nabi Zakaria. Tujuannya jika permohonan itu terkabulkan akan menjadi sebuah i’jaz (keajaiban) yang manusia tidak bisa melakukannya.

Maksud perkataan al-Mawardi di atas bahwa meminta sesuatu di luar kewajaran itu tidak boleh, seperti meminta kepada Allah agar menurunkan hujan emas dari langit, memindahkan gunung dari satu tempat ke tempat yang lain, menghidupkan orang yang sudah mati. Itu semuanya tidak boleh dalam Islam, kecuali ada izin dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk tujuan tertentu, sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan wali-wali Allah.

4)       Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Zakaria ‘alaihi as-salam berdoa di dalam mihrab. (هُنَالِكَ) dalam ayat di atas maksudnya adalah mihrab. Ini dijelaskan pada ayat sebelumnya,

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا ٱلۡمِحۡرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزۡقٗاۖ قَالَ يَٰمَرۡيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَاۖ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ ٣٧ 

‘’Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah." Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. Ali-Imran [3] : 37)

5)      Mihrab adalah salah satu tempat yang mustajab untuk berdoa, karena mihrab tersebut berada di dalam masjid, minimal tempat tersebut sering digunakan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (2/37), “Mihrab sebagai: tempat ibadahnya, ruang khalwatnya serta majlis munajat dan shalatnya.” Sedangkan menurut Najmuddin an-Naisaburi (w. 550 H) di dalam Ijaz al-Bayan ‘an Ma’ani al-Qur’an (1/189) bahwa mihrab adalah bagian atas dari suatu majlis. Ini dikuatkan oleh az-Zujaj di dalam Ma’ani al-Qur’an (1/403) bahwa mihrab secara bahasa adalah adalah tempat yang tinggi dan mulia. Berkata Abu Ubaidah di dalam Majaz al-Qur’an (1/91), “Mihrab adalah tempat duduk yang terdepan dan terhormat. Demikian juga, mihrab bagian dari masjid.”

6)      Selain dalam mihrab, di sana ada tempat-tempat lain yang mustajab untuk berdoa di dalamnya, diantaranya:

a)      Masjidil Haram, dimana shalat di dalamnya dilipatgandakan hingga 100.000 kali lipat.

b)       Begitu juga berdoa di depan Ka’bah khususnya antara rukun Yamani dan Hajar Aswad. Di tempat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan setiap yang thawaf untuk membaca doa Sapu Jagat, sebagaimana di dalam firman-Nya,

وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ٢٠١

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 201)

c)      Di Shafa dan Marwa. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memerintahkan setiap yang melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa untuk berdoa ketika bberada di kedua tempat tersebut. Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ ١٥٨

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 158)

d)      Ketika wukuf di Arafah. Pada hari Arafah dan di tempat yang mulia itu Allah banyak mengabulkan doa para hamba-Nya dan memerdekakan mereka dari api neraka.

Hikmah : Anak adalah Pemberian Allah

قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَة

“(Seraya) berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.”

1)       Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Zakaria ‘alaihi as-salam memohon kepada Allah agar diberikan keturunan yang baik. Al-Qurthubi (w. 671) di dalam al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an (4/72) menjelaskan keutamaan meminta keturunan. Dan ini adalah kebiasaan para nabi dan para shiddiqin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلٗا مِّن قَبۡلِكَ وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَذُرِّيَّةٗۚ وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأۡتِيَ بِـَٔايَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ لِكُلِّ أَجَلٖ كِتَابٞ ٣٨

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).” (QS. Ar-Ra’d [13] : 38)

Kemudian al-Qurthubi menyebutkan hadits-hadits tentang keutamaan menikah dan apa yang ditulis Imam al-Bukhari dalam kitabnya tentang (Bab Memohon Anak) dan (Bab Berdoa Meminta Banyak Anak dan Keberkahannya) juga Firman Allah (Qs. al-Furqan [25] :74), (Qs. asy-Syu’ara [26] :84). Kemudian menutup keterangannya sebagai berikut,”Jika ayat-ayat dan hadist-hadist di atas sudah jelas maknanya, maka menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk berdoa kepada Allah agar berkenan memberikan hidayah dan taufik, kebaikan, harga diri, serta penjagaan kepada anak dan istrinya. Dan agar mereka menjadi penolong di dalam menegakkan agama dan urusan dunianya. Dengan demikian dia akan mendapatkan manfaat yang sangat besar atas hadirnya mereka di dunia dan akhirat.”

2)      Ayat di atas juga menunjukkan bahwa Nabi Zakaria tidak bisa mengandalkan usahanya sendiri untuk memperoleh keturunan. Zaman sekarang, banyak orang yang menerapkan berbagai teori untuk mendapatkan keturunan, diantaranya memilih hari subur, teori kalender, penggunaan ramuan, makanan pemicu kesuburan seperti toge dan buah dzuriyat. Semua teori tersebut, tidak mempunyai pengaruh apapun, tanpa izin dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ayat-ayat al-Qur’an di bawah ini menunjukkan hal itu;

a)      Firman-Nya,

وَوَهَبۡنَا لَهُۥٓ إِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ نَافِلَةٗۖ وَكُلّٗا جَعَلۡنَا صَٰلِحِينَ ٧٢

“Dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshak dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Anbiya’ [21] : 72)

b)       Firman-Nya,

وَوَهَبۡنَا لَهُۥ يَحۡيَىٰ وَأَصۡلَحۡنَا لَهُۥ زَوۡجَهُۥٓۚ

“Dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung.” (QS. Al-Anbiya’ [21] : 90)

 

c)       Firman-Nya,

رَبِّ هَبۡ لِي مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠٠

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat [37] : 100)

Pada ayat di atas Nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam meminta agar diberikan anak yang shalih.

3)       Lafazh (هب) pada ayat di atas artinya ‘berilah’atau ‘anugerahkan’. Menurut al-Jashash di dalam Ahkamu al-Qur’an (2/292) bahwa istilah al-hibah dalam fiqh artinya memberi sesuatu kepada orang lain tanpa imbalan. Adapun hibah dalam ayat di atas bukanlah hibah yang sebenarnya. Karena anak yang diberikan kepada Nabi Zakaria bukanlah milik Nabi Zakaria (bukan budaknya), tetapi ia adalah anak yang merdeka, tidak dimiliki oleh seseorang pun. Walaupun demikian, tetap disebut hibah karena Nabi Zakaria ingin anak yang diharapkan kelak menjadi hamba Allah (milik Allah saja) dan pewaris kenabian. Hal ini seperti istilah ‘membeli’ dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

 إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ 

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah [9] : 111)

Pada ayat di atas, walaupun disebut Allah ‘membeli’ jiwa dan harta dari orang-orang beriman, pada hakikatnya itu bukan pembelian. Karena Allah subhanahu wa ta’ala yang memiliki jiwa dan harta mereka. Disebut ‘membeli’ lebih dikarenakan Allah telah menjanjikan kepada mereka surga bagi yang mau berjihad di jalan-Nya.

4)       Al-Baghawi (w. 510 H) di dalam Ma’alim at-Tanzil (1/435) menjelaskan lafazh (ذُرِّيَّةً) yang artinya adalah ‘keturunan’ atau ‘anak’. Lafazh (ذُرِّيَّةً) bisa digunakan untuk menunjukkan satu orang anak atau banyak anak, baik laki-laki atau perempuan. Tetapi di dalam ayat ini, maksudnya adalah ‘satu anak’, dengan dalil firman Allah,

 وَإِنِّي خِفۡتُ ٱلۡمَوَٰلِيَ مِن وَرَآءِي وَكَانَتِ ٱمۡرَأَتِي عَاقِرٗا فَهَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيّٗا ٥

“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera.” (QS. Maryam [19] : 5)

5)       Ibnu ‘Athiah al-Andalusi (w. 542 H) di dalam al-Muharrar al-Wajiz (1/427) mempunyai penafsiran yang berbeda dengan al-Baghawi dan ath-Thabari. Beliau berpendapat bahwa lafazh (ذُرِّيَّةً) dan (الولي) keduanya adalah ismu jinsi yang boleh digunakan untuk penyebutan satu atau lebih.

Dengan demikian lafazh (ذُرِّيَّةً) boleh ditafsirkan dengan keturunan yang banyak, bukan sekedar satu an ak. Perbedaaan antara keduanya, bahwa keturunan mempunyai arti anak yang turun temurun sampai pada batas yang tidak ditentukan, yang mencakup anak kandung, cucu (putu), cicit (buyut), canggah, wareng, udek-udek, gantung siwur, cicip moning, dan seterusnya. Sedangkan anak hanya meliputi anak kandung sendiri.

6)      Lafazh (طَيِّبَة) menunjukkan bahwa yang diminta oleh Nabi Zakaria adalah keturunan yang baik (thayyibah), bukan keturunan yang kaya (ghaniyah), bukan pula keturunan yang pintar (dzakiyah), bukan pula keturunan yang tampan (jamilah). Mengapa demikian? Karena (طَيِّبَة) mengandung makna kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu keturunan yang taat kepada Allah dan berakhlak mulia. Berkata Ibnu ‘Athiah al-Andalusi (w. 542 H) di dalam al-Muharrar al-Wajiz (1/427) makna (طَيِّبَة) pada ayat di atas adalah anak yang berakhlak terpuji dan beragama yang benar. Sedangkan al-Baghawi mengartikan anak yang penuh dengan berkah, bertakwa, shalih, yang membuat ridha kedua orang tuanya.

7)       Di dalam al-Qur’an banyak disebut lafazh (طَيِّبَة), diantaranya di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ ١٥ 

 “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.  (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".” (QS. Saba [34] :15)

Pada ayat di atas, Allah mensifati Negeri dengan baik (طَيِّبَة), bukan dengan negeri kaya (ghaniyyah), karena tidak setiap yang kaya itu baik dan bahagia, tetapi setiap yang baik dan bahagia itu pasti kaya, paling tidak kaya hati. 

Allah juga berfirman,

وَٱلۡبَلَدُ ٱلطَّيِّبُ يَخۡرُجُ نَبَاتُهُۥ بِإِذۡنِ رَبِّهِۦۖ وَٱلَّذِي خَبُثَ لَا يَخۡرُجُ إِلَّا نَكِدٗاۚ كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَشۡكُرُونَ ٥٨ 

 “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-A’raf [7] : 58)

Ayat di atas menjelaskan tentang perbandingan antara tanah yang subur dan tanah yang gersang. Tanah yang subur (الْبَلَدُ الطَّيِّبُ) akan menumbuhkan pepohonan yang bermanfaat bagi manusia dengan izin Allah, sedang tanah yang tandus dan gersang (وَالَّذِي خَبُثَ) tidak akan bisa menumbuhkan apa-apa, kecuali tanaman yang rusak, cacat dan merana.

8)       Kalimat (ذُرِّيَّةً طَيِّبَة) juga menunjukkan bahwa seorang muslim diharapkan tidak meminta kepada Allah sesuatu yang bersifat dunia saja. Tetapi hendaknya meminta kepada-Nya sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Maksudnya, kalau hanya sebatas meminta keturunan, itu hanya dunia saja. Ketika permintaan tersebut ditambah dengan lafazh (طَيِّبَة) maka yang tadinya hanya meminta dunia, dengan tambahan tersebut, maka permintaan tersebut menjadi permintaan dunia dan akhirat sekaligus. Ini mirip dengan firman-Nya,

 فَإِذَا قَضَيۡتُم مَّنَٰسِكَكُمۡ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَذِكۡرِكُمۡ ءَابَآءَكُمۡ أَوۡ أَشَدَّ ذِكۡرٗاۗ فَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖ ٢٠٠ وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ٢٠١

“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 200-201)

Hikmah (): Allah Maha Mendengar Doa Hamba-Nya

إنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.”

1)       Setiap muslim dianjurkan untuk menyertakan asmaul husna di dalam setiap doanya. Boleh di awal, di tengah maupun di akhir doa. Ini sesuai dengan firman Allah,

وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٨٠ 

 “Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Maha Mendengar doa-doa hamba-Nya. Maha Mendengar di sini, bukan berarti pasti mengabulkan persis seperti yang diminta oleh hamba-Nya. Tetapi mengabulkannya sesuai kehendak Allah atau diganti oleh Allah dengan bentuk lain, seperti menghindarkan dari marabahaya sebesar manfaat yang diminta hamba-Nya, atau Allah menangguhkan permohonan tersebut pada hari kiamat. Ini sesuai dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا . قَالُوا : إِذًا نُكْثِرُ . قَالَ : اللهُ أَكْثَرُ

“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturrahim kecuali Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga (pilihan); (1) segera dikabulkan permohonannya, (2) disimpan permohonannya (diberikan) di Akhirat, (3) dipalingkan dengan doa itu keburukan sebesar apa yang dia minta. Mereka berkata, ‘Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa’. Beliau bersabda, ‘Allah akan memperbanyak’.” (HR. Ahmad. Al-Mundziri di dalam at-Targhib wa at-Tarhib menyatakan sanadnya jayyid dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Adab al-Mufrad (547))

2)       Al-Qusyairi di dalam Lathaif al-’Isyarat (1/240) menyebutkan kaidah dalam berdoa, yaitu bahwa Nabi Zakaria memohon kepada Allah seorang anak, dengan tujuan agar membantunya dalam ketaatan dan mewarisi kenabiannya. Oleh karena itu, doanya layak dikabulkan oleh Allah. Beliau berkata,

فإن السؤال إذا كان لحقِّ الحقِّ - لا لحظِّ النَّفْسِ - لا يكون له الرد

“Karena sesungguhnya jika permohonan itu  untuk Allah (menegakkan agama Allah), bukan untuk kemaslahatan pribadi, maka tidak tertolak.”

Pernyataan ini dikuatkan oleh Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar (3/243), “Doa yang layak dikabulkan oleh Allah adalah doa yang diucapkan dengan lisan yang berasal dari hati yang menyakini akan kesempurnaan Allah.” (yaitu hati yang tidak menggantungkan sedikitpun pada kekuatan makhluk).

****

Jakarta, Sabtu 12 Maret 2022

KARYA TULIS