Tafsir An-Najah (QS.3: 147-148) Bab ke-180 Doa Kemenangan
Doa Kemenangan
وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Tidak ada doa mereka selain ucapan: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.’”
(Qs. Ali Imran [3]: 147)
Hikmah (1): Berkata Baik
وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا
“Tidak ada doa mereka selain ucapan.”
1) Dalam menghadapi ujian peperangan, orang-orang beriman tidak mengeluh, mencaci maki, berkata buruk. Mereka tidak berkata kecuali yang baik-baik saja. Ini adalah prinsip di dalam menghadapi segala ujian dan musibah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika menghadapi musibah berupa kematian anak yang dicintainya yaitu Ibrahim, beliau tidak berkata kecuali yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana di dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya ia berkata,
أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم دخل على ابنه إبراهيم رضي اللّه عنه وهو يجود بنفسه، فجعلتْ عينا رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم تذرفان، فقال له عبد الرحمن بن عوف: وأنت يا رسولَ اللّه؟! فقال: "يا بْنَ عَوْفٍ! إِنَها رَحْمَةٌ" ثم أتبعها بأخرى فقال: "إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ ما يُرْضِي رَبَّنا، وَإنَّا بِفِرَاقِكَ يا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ"
“Bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat putranya yang ketika itu sedang sekarat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang air mata, melihat hal itu, Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada beliau; “Dan engkau (menangis) wahai Rasulullah?” Beliau kemudian berkata, “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini wujud kasih sayang.” Kemudian beliau berlinang lagi dan bersabda, “Sesungguhnya mata ini berlinang, dan hati ini bersedih dan kita tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita, dan sesungguhnya kami sangatlah bersedih dengan perpisahan ini wahai Ibrahim.” (HR. Al-Bukhari)
2) Mereka berkata yang baik ketika menghadapi musibah. Ini dilakukan setelah mereka bersabar, teguh, tidak menjadi lemah dan lesu ketika menghadapi musuh. Artinya bahwa mereka telah menggabungkan antara perbuatan baik dan perkataan baik dalam menghadapi ujian.
Berkata at-Thanthawi di dalam tafsir al-Wasith, “Setelah Allah menjelaskan amalan-amalan baik mereka dalam firman-Nya,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran [3]: 146)
Maka selanjutnya Allah menjelaskan perkataan baik dari mereka (yaitu doa di atas).
3) Doa pada ayat di atas mengandung tiga poin penting, yaitu;
a) Justru mereka malu dan merasa kecil di hadapan karunia dan nikmat Allah yang sangat besar kepada mereka.
b) Memohon keteguhan ketika menghadapi musuh di medan peperangan agar mereka tidak lari.
c) Memohon kemenangan atas orang-orang kafir. Ini adalah tujuan utama dari sebuah peperangan. Mengapa? Karena kemenangan atas orang-orang kafir akan menghilangkan fitnah dari muka bumi dan menyebabkan tingginya kalimat al-haq (kebenaran). Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 193)
Juga dalam firman-Nya,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal [8]: 39)
d) Berkata Al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an (4/231), “Hendaknya setiap manusia memanjatkan doa-doa dari al-Qur’an dan sunnah yang shahih saja, serta meninggalkan doa-doa yang selainnya. Jangan sampai dia mengatakan: ‘Saya memilih doa yang ini’. Sebab Allah telah memilihkan untuk para nabi dan wali-Nya bagaimana cara berdoa yang benar.”
Hikmah (2): Memohon Ampun atas Segala Dosa
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami.”
1) Salah satu bentuk perkataan yang baik adalah mengucapkan istighfar, memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang selama ini dilakukan. Pengakuan terhadap dosa di hadapan Allah adalah salah satu bentuk kekuatan batin yang akan mendatangkan pertolongan Allah. Karena Allah akan sayang kepada orang yang bersimpuh di hadapan-Nya, meneteskan air mata, mengaku kelemahan dan kesalahannya sambil menjunjung tinggi Kebesaran Allah dengan segala pujian kepada-Nya. Mengaku salah juga menunjukkan kebersihan jiwa seseorang dan sikap tawadhu’ serta rendah hatinya.
Berkata as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/151), “Mereka mengetahui bahwa dosa dan perbuatan melampaui batas termasuk penyebab kekalahan. Sebaliknya, meninggalkan kedua sifat tersebut penyebab datangnya kemenangan.”
2) Apa perbedaan antara adz-dzunub dan al-israf dalam ayat di atas?
Al-Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil, begitu juga al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an (4/231) berpendapat bahwa adz-dzunub adalah dosa kecil, sedangkan al-israf adalah dosa besar.
Berkata Ibnu ‘Asyur, “Al-Israf adalah berlebihan di dalam membelanjakan uang dan berfoya-foya dalam mencari kenikmatan.”
Berkata as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/151), “Al-Israf adalah melanggar batas hingga mengerjakan sesuatu yang haram.”
Di dalam Al-Qur’an, Allah banyak menyebut larangan berbuat israf dan dampak buruknya, diantaranya;
وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا
“Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.” (QS. An-Nisa [4]: 6)
Juga firman-Nya,
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am [6]: 141)
Juga firman-Nya,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, dan makan serta minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: [7]: 31)
Adapun akibat perbuatan Al-israf (berlebihan) bisa dibaca dalam ayat-ayat di bawah ini;
(2.1) Lupa terhadap nikmat-nikmat Allah (QS. Yunus [10]: 12),
(2.2) Berpaling dari al-Qur’an (QS. Az-Zukhruf [43]: 5),
(2.3) Sering berbohong dan tidak mendapat hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala (QS. Ghafir [40]: 28),
(2.4) Ragu-ragu dan disesatkan oleh Allah (QS. Ghafir [40]: 34),
(2.5) Sombong dan suka menyiksa (QS. Ad-Dukhan [44]: 30-31),
(2.6) Bengis dan kejam seperti Fir’aun (QS. Yunus [10]: 83),
(2.7) Membuat kerusakan di muka bumi (QS. Asy-Syu’ara [26]: 151-152),
(2.8) Dihancurkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala (QS. Al-Anbiya’[21]: 9),
(2.9) Diadzab dengan hujan batu (QsS Adz-Dzariyat [51]: 32-34),
(2.10) Dibangkitkan dalam keadaan buta (QS. Taha [20]: 125-127),
(2.11) Menjadi penghuni api neraka (QS. Ghafir [40]: 43).
Hikmah (3): Memohon Keteguhan dalam Pendirian
وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا
“Dan tetapkanlah pendirian kami.”
1) Setelah memohon ampun atas segala dosa, mereka pun memohon keteguhan dalam pendirian, khususnya di medan perang, agar tidak lari dari peperangan.
Ini menunjukkan bahwa istighfar bisa menguatkan jiwa seseorang dalam menghadapi berbagai problematika hidup, termasuk dalam menghadapi musuh di medan perang.
2) Selain menyebabkan keteguhan dan kemenangan, istighfar juga bisa mendatangkan kekuatan dan kekuasaan sekaligus. Ini ditunjukkan di dalam firman Allah,
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juga pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi".” (QS. Shad [38]: 35)
3) Berkata Ibnu Al-’Utsaimin di dalam Tafsir Surah Ali-Imran (2/266), “Seorang hamba membutuhkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diteguhkan pendiriannya dalam tiga keadaan;
a) Agar diteguhkan di dalam medan perang, dan tidak lari.
b) Agar diteguhkan di dalam menghadapi syubhat (pemikiran) dan tidak tergelincir dalam kesalahpahaman.
c) Agar diteguhkan di dalam menghadapi gejolak syahwat dan tidak tergelincir dalam maksiat.
Hikmah (4): Memohon Kemenangan atas Orang-orang Kafir
وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
1) Ayat di atas menunjukkan bahwa untuk mencapai kemenangan harus dipenuhi beberapa syarat di bawah ini (sebagaimana disebutkan di dalam QS. Ali Imran [3]: 146-147), yaitu;
a) Tidak merasa lemah ketika ditimpa bencana di jalan Allah.
b) Tidak lesu dan putus asa.
c) Tidak mudah menyerah di hadapan musuh.
d) Sabar.
e) Memohon ampun atas segala dosa.
f) Memohon keteguhan dalam tiga perkara sebagaimana disebutkan di atas.
g) Meyakini bahwa kemenangan hanya datang dari Allah saja, bukan karena kehebatan manusia.
Catatan:
1) Sebenarnya jumlah mereka banyak, tetapi tidak membuat mereka menjadi sombong, buktinya mereka tetap memohon kemenangan kepada Allah.
2) Pasukan Islam jika memanjatkan doa di atas sebelum berperang, akan mendapatkan dua keuntungan, yaitu;
a) Tsawaba ad-dunya yaitu berupa kemenangan atas musuh, harta rampasan perang, serta mendapatkan kekuasaan.
b) Wa husna tsawabi al-akhirah yaitu jika mati syahid dalam peperangan akan mendapatkan kenikmatan abadi di surga. Disebut husna ats-tsawab karena kenikmatan surga adalah sebaik-baik pahala yang diterima seorang muslim.
c) Al-Muhsinin menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang menggabungkan antara perkataan dan perbuatan sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas.
****
Jakarta, Senin, 4 April 2022.
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »