Karya Tulis
541 Hits

Tafsir An-Najah (QS.3:159-160) Bab ke-186 Pentingnya Musyawarah


 

Pentingnya Musyawarah

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,”

(QS. Ali-Imran [3]: 159)

 

Pertama : Bimbingan untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

1)      Ayat-ayat sebelumnya, telah dijelaskan tuntunan kepada kaum muslimin secara umum, namun pada ayat ini, tuntunan Allah dikhususkan untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagai pimpinan tertinggi umat Islam dan komanda tertinggi di dalam perang Uhud.

2)      Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibimbing dengan Rahmat Allah.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersikap lemah lembut kepada kaum muslimin secara umum dan kepada sahabat-sahabatnya yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam Perang Uhud. Sikap lemah lembut dan arahan dari Allah. Tanpa itu, seorang peimpin yang ditinggal lari oleh para pengikutnya disaat dia membutuhkan mereka, biasanya emosinya meluap-luap dan pada akhirnya akan menghukum para pengikutnya yang melarikan diri dengan hukuman berat.

Hanya dengan rahmat dan bimbingan Allah sajalah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak bersikap seperti kebanyakan para pemimpin perang. Justru beliau tetap lemah lembut kepada mereka.

 

3)      Sikap kasar dari seorang pemimpin membuat para pengikutnya takut dan menjawab darinya.

 

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ

“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali-Imran [3]: 159)

 

a)      Kata (الفَظٌّ) adalah watak kerass dan kaku. Sedangkan kata (غَلِيظَ الْقَلْبِ) adalah keras hati, sulit menerima, sulit luluh hatinya dengan apapun juga.

 

b)      Seseorang yang mempunyai dua sifat ini, yaitu watak keras dan kak serta keras hati. Akan sulit mendapatkan teman. dia akan dijauhi oleh banyak orang. Maka kedua sifat itu dijauhkan oleh Allah dari diri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kedua : Syarat Musyawarah.

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ

“Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali-Imran [3]: 159)

1)      Dalam ayat ini, Allah memerintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa  Sallam untuk melakukan tiga  hal secara bertahap.

a)      Memaafkan mereka atas perbuatan-perbuatan mereka yang melukai hati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menyakiti pribadinya.

b)      Memintakan ampun kepada Allah untuk mereka atas perbuatan-perbuatan mereka yang melanggar larangan-larangan-Nya

c)      Mengajak mereka untuk bermusyawarah dalam beberapa urusan penting.

 

2)       Sebagai ulama menjadikan ayat ini sebagai pedoman bermusyawarah. Untuk bermusyawarah harus terpenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat ini, yaitu :

a)      Pemimpin dan peserta musyawarah harus bersikap lemah lembut di dalam menyikapi perbedaan pendapat ( لِنْتَ لَهُمْ ۖ)

b)      Tidak boleh berkata kasar, keras, dan kaku ketika berbeda pendapat (وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا)

c)      Selain itu hatinya tidak boleh keras, bersikukuh terhadap pendapatnya (غَلِيظَ الْقَلْبِ) dia harus menerima nasehat, atau masukan dari orang lain.

d)      Mau memberi maaf jika lawan bicaranya atau peserta rapat mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan baik sengaja maupun tidak sengaja. (فَاعْفُ عَنْهُمْ)

e)      Pimpinan dan peseta musyawarah harus banyak beristighfar kepada Allah, suaya hati mereka bersih dan pikiran jernih. Karena orang yang banyak dosanya, hatinya akan menjadi kotor dan pikirannya akan keruh. Orang seperti ini tidak layak untuk diajak bermusyawarah.

Setelah lima syarat ini terpenuhi, maka musyawarah siap dilaksanakan. Allah berfirman,

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ

“Maka bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (itu)”.

Ketiga : Hikmah Musyawarah.

 

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ

“Maka bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (itu).”

 

1)      Ayat ini disajikan dalam bentuk perintah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah.

Apakah perintah ini sifatnya wajib bagi Rasulullah ?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini,

a)      Musyawarah hukumnya wajib bagi beliau.

b)      Musyawarah hukumnya tidak wajib, tetapi hanya anjuran kepada beliau untuk kepentingan dakwah.

Diantara bentuk kepentigan dakwah dalam musayawarah adalah :

  1. Untuk membuat hati para sahabat menjadi senang.
  2. Untuk menghormati kedudukan mereka.
  3. Untuk menajdikan mereka lebih menciintai ajaran islam
  4. Agar perbuatan beliau dalam bermusyawarah menjadi cntoh dan ditiru oleh umatnya.
  5. Berkata Qatadah, “Dahulu para pemimpin Arab kalua tidak diajak bermusyawarah merasa tersinggung. Maka Allah memerintahkan nabi SAW untuk mengajak mereka bermusyawarah agar lebih dekat dengan mereka dan menghilangkan kekesalan dari hati mereka, serta menghoormati kedudukan mereka.

Semua yang disebutkan diatas adalah musyawarah dalam hal-hal yang sifatnya duniawi dan tidak ada wahyu yang turun tentang masalah tersebut.

2)      Berkata Imam Asy-Syafi’I, “Musyawarah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabatnya seperti seorang wali ketika mau menikahkan anak perempuannya yang masih perawan. Wali tersebut meminta pendapat anaknya tersebut agar hatinya senang. Dan ini bukan kewajiban seorang wali.

 

Keempat : Berazam dan Bertawakkal.

 

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali-Imran [3]: 159)

 

1)      Ayat ini disebut setelah perintah bermusyawarah. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan musyawarah hendaknya segera dilaksanakan dengan penuh semangat. Kata (العزم) artinya mempunyai niat yang kuat untuk melaksanakan ssesuatu. Maksudnya disisni adalah sesuatu yang sudah diputuskan di dalam musyawarah.

2)      Di dalam melaksanakan keputusan musyawarah tersebut hendaknya bertwakkal kepada Allah. Tidak boleh menjadi bimbang lagi atau ragu untuk melaksanakan atau tidak melaksakan.

3)      Bertawakkal setelah berazam (ada kemauan kuat) telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum terjadi peristiwa Perang Uhud.

 

a)      Langkah pertama, yang beliau lakukan sebelum memustuskan untuk berperang adalah mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah, apakah mau menghadapi musuh di luar kota atau dari dalam kota?

Beliau sendiri cenderung untuk menghadapi musuh dari dalam kota. Tetapi suara mayoritas terutama para sahabat yang masih muda dan belum pernah ikut serta dalam Perang Badar, menginginkan perang di luar kota, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggugurkan pendapatnya sendirian mengambil pendapat mayoritas. Akhirnya diputuskan di dalam musyawarah terebut bahwa perang menghadapi musuh dilakukan di luar kota.

b)      Langkah kedua, yang beliau lakukan adalah masuk ke dalam rumah dan menggunakan baju besi bersiap-siap untuk berperang. Inilah yang disebut azam (kemauan kuat) untuk melaksakan sesuatu.

Melihat semangat dan tekad kuat beliau untuk berperang di luar kota para sahabat yang mendesak beliau untuk berperang di luar kota menjadi menyesal. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, jika engkau berkenan lebih baik kita tetap tinggal di Madinah.’ Maka beliau menjawab, ‘Tidak layak bagi seorang nabi, jika sudah memakai baju besinya untuk mengurungkan natnya kembai sampai Allah memberian keputusan baginya.’”

Inilah yang disebut tawakkal.

 

4)    Peristiwa musyawarah dan keluarnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menggunakan baju besi adalah bentuk pelaksanaan ayat diatas.

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

 (QS. Ali-Imran [3]: 159)

 

Kelima : Pertolongan Allah.

 

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu.”

(QS. Ali-Imran [3]: 160)

1)      Pada ayat sebelumnya, dilaksanakan perintah untuk bermusyawarah dan bertawakkal. Jika seseorang sudah bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka Allah akan menolongnya dan jika Allah sudah menolongnya, maka tidak ada satupun yang bisa mengalahkannya.

Sebaliknya, jika Allah membiarkan seseorang tanpa pertolongan-Nya, maka tidak ada satupun yang mampu menolongnya.

 

2)      Kandungan ayat di atas mirip dengan kandungan hadits,

 

اللهمُّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدَّ مِنْكَ الْجَدُّ

“Ya Allah, tidak ada yang bisa mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya, dihadapan kekayaan dan kemuliaan-Mu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

 

 

3)      Jika seseorang sudah berusaha semaksimal mungkin, kemudian bertawakkal, maka Allah akan menolongnya atau memudahkan urusannya. Hal seperti ini harus menjadi keyakinan setiap orang beriman.

Di sinilah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمُ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

 

****

Jakarta, Kamis 7 April 2022.

KARYA TULIS