Tafsir An-Najah (QS.3:165-168) Bab ke-188 Dua Kejahatan Orang Munafik
Dua Kejahatan Orang Munafik.
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar),” (QS. Ali-Imran [3]: 165)
Pertama : Kenapa Kalah Perang ?
1) Setelah meluruskan pandagan-pandangan yang salah tentang kekalahan perang uhud, dan tentang diri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ayat ini Kembali meluruskan kekeliruan pandangan tentang kekalahan Perang Uhud yang masih tersisa dan belum ada jawabannya.
2) Sebagian dari kaum muslimin bertanya, “Apa penyebab kekalahan Perang Uhud?” padahal sebelumnya, kaum muslimin pernah engaahkan pasukan musuh pada perang badar, dan mampu membuat pada mereka dua kali lipat dari yang menimpa kaum muslimin pada Perang Uhud.
Yaitu mereka berhasil membunuh 70 orang musyrik dan menawan 70 lainnya, sedangkan pada Perang Uhud yang terbunuh dari kaum muslimin berjumlah 70 orang. Tawanan disini dianggap orang yang terbunuh, karena kaum muslimin sewaktu-waktu bisa membunuh mereka. Inilah makna dari firman-Nya,
قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا
“Padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu pada perang badar).” (QS. Ali-Imran [3]: 165)
3) Kenapa kalah perang?
قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ
“Kalian berkata, ‘Dari mana datangnya kekalahan?’” (QS. Ali-Imran [3]: 165)
Pertanyaan ini diucapkan kaum muslimin yang kalah dalam Perang Uhud dikarenakan mereka tidak menyadari daosa dan kesalahan mereka. Pertanyaan seperti ini diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai isyarat bahwa kaum muslimin setelah sahabat akan bertanya dengan pertanyaan serupa.
Jika mereka terkena suatu musibah atau kalah perang atau kemunduran atau perpecahan dikalangan mereka, maka sebagian dari kaum muslimin juga akan menanyakan, “Kenapa kaum muslimin kalah?” Mereka juga tidak menyadari bahwa hal itu akibat dosa-dosa yang mereka lakukan.
Kedua : Kesalahan dari Kalian Sendiri.
قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ ۗ
“Katakanlah, ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.’” (QS. Ali-Imran [3]: 165)
Banyak penafsiran tentang kesalahan yang pada ayat di atas, diantaranya,
1) Karena kaum muslimin memilih untuk perang menghadapi musuh diluar kota, padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, cenderung untuk bertahan di dalam kota.
2) Karena kaum muslimin (pasukan panah) meninggalkan posisi mereka di atas bukit yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
3) Karena kaum muslimin menerima tebusan tawanan Perang Badar, padahal belum diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hal ini Allah berfirman,
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ(67)
لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ(68)
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.”
(QS. Al-Anfal [8]: 67-68)
Ketiga : Semua dengan Izin Allah.
وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran [3]: 166)
1) Ayat ini menekankan untuk kesekian kalinya bahwa peristiwa kekalahan pada perang uhud adalah dengan izin dan kehendak Allah. Sesuatau yang sering diulang-ulang dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa hal itu sangat penting.
2) Keimanan kepada Qadha’ dan Qadar memang harus terus ditanamkan pada diri kaum muslimin. Disinilah letak membentuk aqidah dan penggemblengan mental. Seseorang yang sudah meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti atas izin Allah, maka orang tersebut akan menjadi kuat imannya, tabah, dan sabar dalam menghadapi musibah, tegar ditimpa berbagai ujian.
3) Orang yang beriman kepada Allah, jika ditimpa suatu musibah, maka yang pertama kali yang dia cari adalah hikmah dan pelajaran di balik musibah tersebut. Allah pun di dalam Al-Qur’an sering menyertakan hikmah dan pelajaran dalam setiap peristiwa besar termasuk dalam peristiwa Perang Uhud.
Keempat : Dua Hikmah Kekalahan.
Diantara hikmah dan pelajaran yang disebut dalam ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya adalah sebagai berikut,
1) Untuk mengetahui orang-orang beriman
وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ
“Agar Allah mengetahui siapa yang benar-benar beriman.” (QS. Ali-Imran [3]: 166)
Maksudnya bahwa Allah mentaqdirkan kekalahan kaum muslimin dalam Perang Uhud untuk mengetahui siapa yang benar-benar kuat imannya dan siapa yang masih lemah keimanannya.
Ini mirip ujian kenaikan kelas atau kenaikan pangkat. Suatu lembaga pendidikan atau perusahaan, sering mengadakan ujian untuk peserta didiknya atau pegawainya. Ujian tersebut kadang berupa hal-hal yang tidak disenangi oleh orang-orang yang diuji. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana loyalitas pegawai tersebut atau kecerdasan peserta didik tersebut. Kemudian hasil dari ujian tersebut digunakan sebagai ukuran kenaikan kelas atau kenaikan pangkat.
Nah, di dalam peristiwa Perang Uhud ini Allah ingin menaikkan derajat dan memberikan pahala untuk orang-orang yang sabar dan berhusnudzon kepada Alah serta beriman penuh dengan Qadha dan Qadar.
2) Untuk mengungkapkan orang-orang munafik.
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ نَافَقُوا ۚ
“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik.”
(QS. Ali-Imran [3]: 167)
Hikmah dan pelajaran dari peristiwa kekalahan kaum muslimin dalam perang uhud yang kedua adalah untuk mengetahui orang-orang munafik yang menyusup di tengah-tengah barisan kaum muslimin.
a) Kemudian Allah menjelaskan sedikit tentang ciri orang munafik pada ayat ini. Allah berfiman,
وَقِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوِ ادْفَعُوا ۖ
“Kepada mereka dikatakan, ‘Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu).’” (QS. Ali-Imran [3]: 167)
Diriwayatkan bahwa yang berkata kepada orang-orang munafik pada ayat diatas adalah Abdullah bin ‘Amr bin Hakim Al-Anshari, orang tua dari sahabat yang bernama Jabir bin Abdullah Radhiyallhu ‘Anhu.
Yaitu ketika Abdullah bin Ubay bin Salul membawa 300 orang kembali ke kota Madinah dan tidak mau berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu Abdullah bin ‘Amr bin Haram segera menyusul mereka, dan berkata, “Bertaqwalah kalian kepada Allah, janganlah kalian meninggalkan Nabi, marilah berperang di jalan Allah atau pertahankalah diri kalian,”
b) Lalu Abdullah bin Ubay bin Salul menolak ajaran itu dan berkata, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ ۗ
“Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu".” (QS. Ali-Imran [3]: 167)
Mendengar penolakan dari Abdullah bin Ubay bin Salul dan orang-orang munafik lainnya, maka Abdullah bin ‘Amr bin Haram kembali bergabung bersama pasukan Islam lagi, kemudian beliau ikut berperang dan gugur sebagai syuhada’.
Kelima : Lebih Dekat kepada Kekafiran.
Dari ucapan orang-orang munafik yang menolak untuk ikut berperang membela Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut, Allah menghukum mereka dengan dua hal,
1) Mereka dengan ucapannya itu menjadi lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Allah berfirman,
هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ ۚ
“Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan.”
(QS. Ali-Imran [3]: 167)
Ini sindiran kepada mereka bahwa sebenarnya dalam hati mereka terdapat kekafiran.
2) Mereka menyatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya.
يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ
“Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya.” (QS. Ali-Imran [3]: 167)
Maksudnya mereka menyatakan, “Jika mengetahui akan ada peperangan, maka tentunya kami akan ikut bersama kalian.”
Perkataan tersebut hanya dimulut mereka, karena di dalam hati mereka sudah mengetahui bahwa akan ada peperangan antara kaum muslimin dengan orang-orang musyrikin Quraisy.
Mereka berbicara seperti itu, sekadar mencari alasan supaya tidak ikut berperang. Mereka adalah orang-orang penakut, dan pengecut.
Sebagian ulama berkata, maksudnya adalah menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan kekufuran.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ
“Tetapi Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”
(QS. Ali-Imran [3]: 167)
Keenam : Dua Kejahatan Orang Munafik.
الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا ۗ
“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: ‘Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.’”
(QS. Ali-Imran [3]: 168)
1) Kejahatan sebelum perang.
Pada ayat sebelumnya, dijelaskan bahwa orang-orang munafik telah melakukan kejahatan sebelum perang, yaitu menarik diri sebelum perang dan mengajak 300 orang kembali ke kota Madinah dan meninggalkan kaum muslimin yang lain untuk berperang sendiri serta mengatakan,
لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ ۗ
“Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu.” (QS. Ali-Imran [3]: 167)
2) Kejahatan setelah perang.
Pada ayat ini Allah menjelaskan kejahatan orang-orang munafik setelah terjadinya perang, yaitu menyebarkan keyakinan yang rusak dan berprasangka buruk kepada Allah dan rasul-Nya, tidak berempati kepada para syuhada yang gugur di medan perang, serta tidak pula membantu mereka di medan perang. Karena orang-orang munafik kerjanya hanya duduk-duduk menonton peperangan dan paling banyak berkomentar.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ
“Tetapi Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (QS. Ali-Imran [3]: 167)
Ketujuh : Komentar Negatif.
الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ
“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya.” (QS. Ali-Imran [3]: 168)
1) Maksud (لِإِخْوَانِهِمْ) dalam ayat ini ada dua pendapat,
a) Maksudnya saudara-saudara mereka yang senasab dan karena hubungan kekerabatan dari suku khazraj (orang-orang Anshar) dan gugur sebagai para syuhada dalam Perang Uhud.
b) Maksudnya adalah saudara seakidah dan satu pemikiran dari kalangan orang-orang munafik yang masih hidup.
2) Berandai-andai terhadap apa yang sudah terjadi,
لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا ۗ
"Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh di medan perang." (QS. Ali-Imran [3]: 168)
a) Maksudnya kalau yang sudah gugur di medan perang yang jumlahnya 70 orang tersebut hati kepada ajakan mereka untuk kembali ke kota Madinah, tentunya mereka tidak akan mati (gugur) di medan perang.
Orang-orang munafik iri dengan perkataan tersebut seakan menganggap dirinya tau yang ghaib dan tau apa yang akan terjadi di masa mendatang.
b) Sekali lagi hal ini tidak boleh diucapkan oleh orang-orang beriman, yaitu beriman kepada Qadha’ dan Qadar.
Sesuatu yang sudah terjadi, berarti sudah sesuai dengan takdir Allah. Tidak ada manfaatnya seseorang berkata, “Seandainya begini atau begitu, niscaya tidak akan terjadi.”
Berandai-andai terhadap sesuatu yang sudah terjadi akan membuka pintu bagi syaitan untuk menyesatkan mausia. Dan ini menjadi salah satu watak dan karakter orang-orang munafik.
3) Perkataan orang-orang munafik tersebut, langsung dijawab oleh Allah dengan firman-Nya,
قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Katakanlah, ‘Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.’” (QS. Ali-Imran [3]: 168)
a) Jawaban Allah di atas mengandung pesan bahwa mati dan hidup menjadi rahasia Allah dan menjadi hak prerogatif Allah. Allah-lah yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia-lah yang menentukan kapan seseorang hidup dan kapan seseorang mati. Segalanya telah ditentukan, sebelum langit dan bumi diciptakan.
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, orang-orang munafik yang mati pada hari itu sebanyak 70 orang.
b) Hal ini menunjukkan, bahwa seseorang kalau tidak mati di medan perang, dia akan mati di tempat lain. Maka orang-orang cerdas, akan memilih mati dalam keadaan membela agama islam, mati dalam keadaan sedang melaksakan ketaatan kepada Allah, mati dalam keadaan husnul khatimah.
c) Berkata Ahli Hikmah :
إن الحذر لا ينفع من القدر
“Sesungguhnya kehati-hatian tidak bisa mencegah takdir.”
Maksudnya bahwa seseorang yang sangat berhati-hati agar tidak tertimpa musibah, seperti, menghindari perang, berjalan di tempat yang aman, mengendarai kendaraan pelan-pelan, menghindari berbagai makanan yang akan menyebabkan sakit, rutin berolahraga, sering mengkonsumsi obat herbal dan suplemen, jika ajal sudah datang, maka kehatian-hatian tadi tidak bisa mencegah kematian. Allah berfirman,
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ۖ
“Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu,’” (QS. Al-Jumuah [62]: 8)
Allah Ijuga berfirman,
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ ۗ
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,” (QS. An-Nisa’ [4]: 78)
****
Jakarta, Jumat 8 April 2022.
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »