Tafsir An-Najah (QS. 4: 22-23)Bab ke-208 Wanita yang Haram dinikahi
Wanita-Wanita yang Haram dinikahi
وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَاۤؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
(QS. An-Nisa [4]: 22)
Pelajaran (1) : Menikahi Istri Ayah.
1) Ayat ini menjelaskan salah satu wanita yang dilarang untuk dinikahi yaitu wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayah. Menikah disini maksudnya adalah melakukan akad nikah, walaupun ayahnya belum menggaulinya. Jadi seseorang yang sudah melakukan akad dengan seorang wanita, maka wanita tersebut haram dinikahi oleh anaknya selamanya.
2) Larangan dalam ayat ini bertujuan untuk menghapus kebiasaan jahiliyah yang dilakukan oleh kaum Quraisy Mekkah maupun orang-orang Arab yang tinggal di kota Yastrib ( Madinah).
- Di kalangan orang-orang Quraisy diantaranya.
a) Amru bin Umayyah menikahi istri ayahnya setelah dia meninggal dunia. Dari pernikahan tersebut lahir dua anak yaitu, Musafir dan Abu Mu’ith.
b) Shafwan bin Umayyah bin Khalaf, menikahi istri ayahnya yang bernama Fakhirah binti Al-Aswad.
c) Manzhur bin Zabban menikahi istri ayahnya yang bernama Mulaikah binti Kharijah.
- Di kalangan orang-orang Arab yang tinggal di Madinah. Yaitu, Hishn bin Abi Qois menikahi istri ayahnya yang bernama Kabisyah binti Ma’an.
3) Larangan menikahi istri-istri ayah nertujuan jug untuk menghormati orang tua, memuliakan dan menghargainya, bahwa seorang anak tidak layak menggauli wanita-wanita tersebut setelah ayahnya.
4) Firman-Nya,
اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ
“kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau.”
Maksudnya bahwa orang yang melakukan pernikahan seperti ini (menikahi istri ayahnya) sebelum turun ayat ini, maka dimaafkan dan dia tidak memilki tanggungan dosa karenanya.
5) Firman-Nya,
اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Bandingkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa [17]: 32)
Di dalam perzinaan tidak disebutkan (مَقْتًا) sedang di dalam pernikahan dengan istri ayahnya disebut (مَقْتًا). Hal itu karena dua hal.
a) Pernikahan ini sangat dibenci oleh Allah (مَقْتًا) dan membawa kebencian anak terhadap ayahnya sendiri setelah ia menikahi istri ayahnya tersebut. Karena biasanya seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang berstatus janda, maka ia akan membenci suami sebelumnya.
Oleh karenanya, istri-istri Rasulullah (Ummahatul Mukminin) haram untuk dinikahi setelah beliau wafat. Sebagai bentuk penghormatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selain itu bahwa istri-istri beliau kedudukannya sebagai Ummahatul Mukminin atau ibu bagi seluruh kaum muslimin.
b) Menikahi istri ayah mirip dengan menikahi ibunya sendiri, maka pernikahan seperti ini merupakan perbuatan yang bsnagat dibenci oleh orang-orang yang memiliki akal sehat. Sebagian orang Arab menyebutnya dengan “Nikahu Al-Magti” atau pernikahan yang dibenci dan anak yang dihasilkan dari pernikahan ini disebut dengan “Al-Magiit” atau orang yang dibenci.
Pernikahan (2) : 13 Wanita yang Haram Dinikahi.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. An-Nisa [4]: 23)
Dalam ayat ini akan dijelaskan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi baik karena nasab, persusuan atau karena musharah atau karena sebab tertentu.
Pertama : Diharamkan Karena Nasab.
1) Ibu kandung termasuk nenek dan seterusnya (اُمَّهٰتُكُمْ ).
2) Anak peremouan kandung dan cucu perempuan, baik dari jaur anak laki-laki atau dari jalur anak perempuan (بَنٰتُكُمْ).
3) Saudara perempuan baik yang sekandung seayah maupun seibu (اَخَوٰتُكُمْ).
4) Saudara perempuan ayah (Bibi dari jakur ayah) (عَمّٰتُكُمْ).
5) Saudara perempuan ibu (Bibi dari jaur ibu) (خٰلٰتُكُمْ).
6) Anak perempuan dari saudara laki laki (بَنٰتُ الْاَخِ ).
7) Anak perempuan dari saudara perempuan (بَنٰتُ الْاُخْتِ).
Kedua : Diharamkan Karena Persusuan.
8) Ibu yang menyusuinya, (وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ ).
9) Saudara perempuan sepersusuan (وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ ).
Semua kerabat dari ibu susuan akan menjadi mahram dari anak yang disusui.
Wanita yang menyusui akan menjadi ibu susuan, anak perempuan dari wanita tersebut menjadi saudara susuan, dan suami dari wanita tersebut menjadi ayahnya juga.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditawari untuk menikahi putrinya Hamzah, pamannya. Beliau bersabda “Sesungguhnya dia tidak halal aku nikahi, karena dia adalah anak perempuan dari saudara persusuanku.” Kemudian beliau bersabda,
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
“Apa yang haram karena ikatan nasab, juga berlaku pada ikatan persusuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
a) Lima kali susuan.
Adapun sususan yang bisa mengaharamnkan adalah lima kali susuan berturut-turut, setiap susuan harus mengenyangkan bayi yang disusui. Sebagaimana disebutkan sehari makan tiga kali, maksudnya makanan yang mengenyangkan. Demikian juga susuan, harus lima kali susuan yang mengenyangkan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha. Ia berkata,
عن عائِشةَ أنَّها قالت: كان فيما أُنزِلَ مِنَ القُرآنِ: "عَشرُ رَضَعاتٍ مَعلوماتٍ يُحَرِّمْنَ"، ثمَّ نُسِخْنَ بخَمسٍ مَعلوماتٍ، فتوفِّيَ رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وهنَّ مِمَّا نَقرَأُ مِنَ القُرآنِ
“Dari Aisyah Radhiyahu Anha, ia berkata, sebeumnya diantara ayat Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah adalah (Sepuluh kali susuan yang dimaklumi). Lalu Rasulullah wafat dan ayat ini termasuk ayat Al-Qur’an yang ettap dibaca.” (HR. Malik).
b) Sebelum dua bulan.
Diantara syarat susuan yang mengharamkan adalah susuan yang terjadi ketika anak masih di bawah dua tahun. Kalau anak sudah di ats dua tahun, maka susuan tersebut tidak mengharamkan atau membuatnya menjadi mahram dengan orang yang menyusuinya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)
Begitu juga hadits Ibnu Abbas Radhiyallhu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
المَطلَبُ الأوَّلُ: من الرَّضاع المُحَرِّمِ: الرَّضاعُ في الحَولَينِ
Syarat pertama: Dari larangan menyusui: Menyusui selama dua tahun (HR. Ad-Daruquthni)
Ketiga : Diharamkan karena hubungan pernikahan ( Al-Mushaharah).
10) Ibu Istri : Mertua (اُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ).
Dalam hal ini suami tidak harus sudah menggauli istrinya, tetapi cukup dengan terjadinya akad nikah. Maka pada saat ini laki-laki ini haram untuk menikahi ibu mertuanya untuk selamanya, walaupun dia sudah cerai dengan istrinya.
11) Anak istri ( anak tiri), yaitu anak istri dari suami lain. Anak tiri ini haram untuk dinikahi jika suami sudah menggauli ibunya. Jika suami belum menggauli ibunya kemudian dia mencerai ibunya, maka laki-laki ini boleh menikahi anak tirinya dari mantan istri yang dicerainya. Anak tiri ini disebut dengan “Ar-Rabibah” yang artinya anak perempuan dalam asuhan bapak tirinya ( suami dari ibunya). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ
“anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya),”
12) Istri anak kandung (Menantu)
وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ
“(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu),”
Halail jama dari kata halilah yang artinya adalah istri suami disbut juga halal, karena suami istri tibggal dala satu rumah dan satu tempat tidur. Kata (مِنْ اَصْلَابِكُمْ) artinya dari sulbi kanan maksudnya anak kandung. Jadi yang diharamkan adalah istri anak kandung. Adapun istri anak angkat tidak diharamkan untuk dinikahi, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika menikahi Zainab binti Jahsy yang sebelumnya adalah istri anak angkatnya yaitu Zaid bin Haritsah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْٓ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰىهُ ۗ فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا
“Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 37)
Keempat : diharamkan karena sebab tertentu.
13) Menggabungkan dua perempuan bersaudara dalam satu pernikahan.
وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ
“dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara,”
Termasuk cdalam masalah ini adalah menggabungkan perempuan dengan bibinya dalam satu pernikahan. Kaidah dalam laranagn menggabungkan dua perempuan dalam satu pernikahan adalah “Setiap dua perempuan yang ada ikatan kekerabatan antara keduanya, yang seandainya salah satunya adalah laki-laki, maka laki-laki itu haram menikahinya.
Dalil keharamannya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallhu Anhu, berkata,
نهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنْ تُنكَحَ المرأةُ على عمَّتِها أو على خالتِها
“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, melarang seorang wanita untuk menikah dengan bibi dari pihak ayah atau bibi dari pihak ibu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hikmah dari pengharaman untuk menggabung dua saudari perempuan dan perempuan dengan bibinya dalam satu pernikahan, supaya tidak terputus tali silaturahim, karena biasanya antara para madu, muncul perasaan saling tidak suka antara satu dengan lainnya. Inilah yang kadang membuat putus tali silaturahim antara keduanya.
****
Jakarta, Selasa 19 April 2022.
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »