Karya Tulis
530 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 4: 24) Bab 209 Nikah Mut’ah.


Nikah Mut’ah

(Ayat 24)

 

وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

(Qs. an-Nisa: 24)

 

Pelajaran (1) Wanita yang Sudah Bersuami

(1) Ayat ini masih lanjutan dari ayat sebelumnya yang membahas wanita-wanita yang haram dinikahi. Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu wanita yang haram dinikahi adalah wanita-wanita yang sudah mempunyai suami (al-muhshanat), kecuali wanita bersuami yang menjadi tawanan perang. Yaitu perang antara kaum muslimin dengan kaum kafirin. Perang yang bertujuan untuk menegakkan agama Islam, bukan perang untuk menjajah atau perang untuk kepentingan dunia. Firman-Nya (كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ) artinya inilah ketetapan Allah terhadap kalian yaitu hukum yang sudah ditetapkan, sebagaimana ketetapan wajibnya puasa dalam firman Allah di surah al-Baqarah ayat ke 183.

(2) Kata al-Muhshanat berasal dari al-Hishnu, yang artinya wanita yang sudah menikah. Disebut al-Muhshinat karena dia telah dibentengi oleh suaminya dari perzinaan.

(3) Wanita-wanita tawanan perang yang telah  menjadi hamba sahaya, secara otomatis telah putus pernikahannya dengan suaminya yang masih kafir yang berada di Dar al-Harbi (negeri musuh). Oleh karena itu, wanita-wanita tersebut boleh dinikahi.

(4) Firman Allah ,

وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ ۗ

“Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.”

Wanita-wanita yang tidak disebut pada ayat-ayat sebelumnya dan pada ayat ini, maka halal untuk dinikahi dengan cara memberikan mahar kepada mereka. Jadi harta yang berkah adalah harta yang digunakan untuk membayar mahar pernikahan, bukan harta yang digunakan untuk membayar pelacur untuk berzina.

Kata (مُّحْصِنِيْنَ) artinya kalian dalam menikah itu tujuannya adalah menjaga kehormatan diri. Sedangkan kalimat (غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ) artinya tidak untuk berzina. Kata (السفاح) artinya zina arti aslinya adalah menumpahkan, maksudnya menumpahkan air mani pada tempat yang haram.

 

Pelajaran (2) Nikah Mut’ah

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗ

“Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban.”

(1) Suami yang sudah menggauli istrinya harus memberikan mahar kepadanya sebagai sebuah kewajiban. Karena mahar dalam pernikahan adalah timbal balik dari kehalalan menggauli istri.

(2) Kata (اسْتَمْتَعْتُمْ) artinya kalian telah bersenang-senang. Maksudnya adalah bersenang-senang dengan istri, dengan melakukan hubungan intim. Sedangkan kata (اُجُوْرَهُنَّ) artinya upah mereka, maksudnya mahar mereka. Mahar disebut upah, karena sebagai timbal balik dari suami yang menggaulinya.

(3) Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menetapkan bahwa mahar hukumnya wajib. Ini dikuatkan dengan dalil lain, yaitu firman Allah ﷻ,

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (Qs. an-Nisa’: 4)

Pada ayat 4 Surah an-Nisa’ ini mahar disebut dengan (صداق), sedangkan pada ayat 24 mahar disebut (أجر). Disebut “Shadaq” karena laki-laki yang jujur mencintai wanita, dibuktikan dengan membayar untuk menikahinya. Dan disebut “Ajrun” karena laki-lakiyang menggaulinya harus memberikan timbal balik kepadanya atau upah berupa mahar.

(4) Perlu dijelaskan di sini bahwa kata (اسْتَمْتَعْتُمْ) yang artinya bersenang-senang pada ayat ini tidak menunjukkan kebolehan nikah mut’ah sama sekali. Karena nikah mut’ah telah diharamkan dalam Islam. Di antara dalil keharaman nikah mut’ah adalah sabda Nabi ﷺ, pada saat pembukaan kota Makkah.

يا أيُّها النَّاسُ، إنِّي قدْ كُنْتُ أذِنْتُ لَكُمْ في الاسْتِمْتاعِ مِنَ النِّساءِ، وإنَّ اللَّهَ قدْ حَرَّمَ ذلكَ إلى يَومِ القِيامَةِ، فمَن كانَ عِنْدَهُ منهنَّ شيءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ، ولا تَأْخُذُوا ممَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شيئًا

“Wahai manusia, dahulu aku mangizinkan kalian untuk nikah mut’ah dengan wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang telah memiliki perjanjian hal tersebut, maka mudahkanlah jalannya (bebaskanlah wanita tersebut dari pernikahan itu), dan janganlah kalian mengambil kembali mahar yang telah kalian berikan.” (HR. Muslim)

(5) Firman-Nya,

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ

“Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan.”

 

Maksudnya jika mahar sudah ditetapkan, maka tidak mengapa suami istri melakukan kesepakatan-kesepakatan baru. Umpamanya istri memberikan mahar yang sudah diberikan kepada suaminya lagi. Hal ini dibolehkan, sebagaimana di dalam firman Allah ﷻ,

فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

“Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (Qs. an-Nisa’: 4)

Ataupun sebaliknya, mereka berdua sepakat untuk menambh jumlah mahar atau menguranginya atau bentuk-bentuk kesepakatan lain antara mereka berdua. Hal itu karena tujuan pernikahan adalah memupuk cinta antara suami istri, untuk saling menyayangi, saling membantu, dan saling menghargai satu dengan lainnya.

(6) Firman-Nya,

اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

Maksudnya Allah mengetahui perkara-perkara yang membawa maslahat hambanya, termasuk di dalam kebolehan menambah dan mengurangi mahar setelah ditetapkan. Dan Allah Maha Bijaksana di dalam mengatur dan menetapkan hukum-hukum-Nya untuk para hamba-Nya, termasuk hukum-hukum terkait dengan pernikahan dan mahar.

 

***

Jakarta, Rabu, 20 April 2022

KARYA TULIS