Karya Tulis
541 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. 4: 60-65) Bab 224 Patuh kepada Rasulullah


Patuh kepada Rasulullah ﷺ

(Ayat 60-65)

 

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”

(Qs. an-Nisa’: 60)

 

Pelajaran (1) Sebab Turunnya Ayat

(1) Ayat ini turun berkenaan dengan seorang Yahudi yang bersengketa dengan orang munafik. Orang Yahudi berkata, “Mari kita angkat Nabimu sebagai hakim.” Orang Yahudi tahu bahwa hakim muslim tidak menerima suap. Namun masih terus berselisih dan akhirnya sepakat mendatangi seorang dukun dari Juhairah untuk dijadikan hakim.

(2) Dalam riwayat lain disebutkan, orang munafik mengajak untuk menghadap Ka’ab bin al-Asyraf salah seorang petinggi Yahudi.

 

Pelajaran (2) Berhukum kepada Thagut

يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ

“Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.”

(1) Orang-orang munafik menghendaki secara sadar dan sengaja (يُرِيْدُوْنَ), bukan karena terpaksa. Ini menunjukkan keinginan tersebut muncul dari hati nurani mereka, yaitu mereka ingin ketetapan hukum (berhukum) kepada thagut.

(2) Kata (الطَّاغُوْتِ) sudah dibahas pada tafsir (Qs. al-Baqarah: 256) yang artinya secara bahasa adalah segala sesuatu yang melampaui batas. Allah ﷻ berfirman,

اِنَّا لَمَّا طَغَا الْمَاۤءُ حَمَلْنٰكُمْ فِى الْجَارِيَةِۙ

“Sesungguhnya ketika air naik (sampai ke gunung), Kami membawa (nenek moyang) kamu ke dalam kapal.” (Qs. al-Haqqah: 11)

Kalimat (طَغَا الْمَاۤءُ) pada ayat di atas artinya airnya melimpah dan melampaui batas, sehingga terjadi banjir bandang yang menenggelamkan banyak orang.

Adapun thagut yang dimaksud pada ayat ini adalah dukun atau tukang sihir atau orang kafir yang memerangi Islam.

Kalau merujuk kepada sebab turunnya ayat, makna thagut pada ayat ini adalah Ka’ab bin al-Asyraf tokoh Yahudi yang sangat memusuhi Islam. Dimana orang munafik yang berselisih dengan orang Yahudi sangat ingin meminta keputusan hukum kepadanya.

Dalam riwayat lain, orang munafik ini sangat ingin meminta keputusan hukum kepada seorang dukun dari Junainah.

Sebenernya thagut tidak terbatas yang disebut di dalam sebab turunnya ayat, yaitu Ka’ab bin al-Asyraf atau dukun dari Junainah. Tetapi thagut mencakup semua orang yang melampaui batas di dalam memerangi Islam, mengakui dirinya tuhan, para dukun dan tukang sihir, termasuk di dalamnya syetan.

 

Pelajaran (3) Mengkufuri Thagut

وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ

“Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.”

(1) Terdapat beberapa ayat yang memerintahkan setiap muslim untuk mengkufuri thagut di antaranya,

(a) Firman Allah ﷻ,

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 256)

(b) Firman Allah ﷻ,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut’, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)’.” (Qs. an-Nahl: 36)

(c) Firman Allah ﷻ,

قُلْ هَلْ اُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِّنْ ذٰلِكَ مَثُوْبَةً عِنْدَ اللّٰهِ ۗمَنْ لَّعَنَهُ اللّٰهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوْتَۗ اُولٰۤىِٕكَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضَلُّ عَنْ سَوَاۤءِ السَّبِيْلِ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Thaghut.” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus’.” (Qs. al-Ma’idah: 60)

(2) Syetan ingin menyesatkan.

وَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

“Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”

Ayat ini menunjukkan bahwa yang membisikkan ke dalam hati munafik untuk berhukum kepada thagut adalah syetan. Syetan ingin menyesatkannya dengan kesesatan yang jauh. Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ,

اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّاۗ اِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَهٗ لِيَكُوْنُوْا مِنْ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِۗ

“Sungguh, syetan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syetan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Fathir: 6)

 

Pelajaran (4) Diajak kepada Al-Qur’an

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا اِلٰى مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ رَاَيْتَ الْمُنٰفِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًاۚ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,” (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik menghalangi dengan keras darimu.” (Qs. an-Nisa’: 61)

(1) Orang-orang munafik bukan sekedar ingin berhukum kepada thagut, tapi sebenarnya mereka sudah diajak berkali-kali untuk berhukum kepada apa yang diturunkan Allah yaitu al-Qur’an, karena mereka mengaku beriman kepada al-Qur’an. Mereka juga diajak untuk bertemu dengan Rasulullah ﷺ untuk mengadukan perselisihan mereka agar segera diberi keputusan hukum. Karena waktu Rasulullah ﷺ masih hidup bersama mereka, tiba-tiba mereka berpaling dari itu semua.

(2) Perbuatan orang-orang munafik ini sangat aneh. Mereka mengaku beriman kepada al-Qur’an, bahkan mungkin membacanya berkali-kali, tapi ketika diajak berhukum kepada al-Qur’an mereka menolaknya mentah-mentah. Begitu juga mengaku beriman kepada Rasulullah ﷺ, tetapi ketika diajak bertemu untuk diberi keputusan hukum atas masalah yang menimpanya dia menolaknya. Ini semua sebagai bukti bahwa sebenarnya di dalam hati mereka tidak ada iman kepada Allah dan tidak ada iman kepada Rasul-Nya. Iman hanya diucapkan di dalam mulut, supaya mereka selamat dari orang-orang beriman dan dianggap bagian dari mereka, padahal hatinya sangat benci dengan Rasulullah ﷺ dan orang-orang beriman.

(3) Sifat orang munafik di atas juga digambarkan secara jelas dan rinci di dalam surah an-Nur Allah ﷻ berfirman,

وَيَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالرَّسُوْلِ وَاَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلّٰى فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَۗ وَمَآ اُولٰۤىِٕكَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ ۞ وَاِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ مُّعْرِضُوْنَ ۞ وَاِنْ يَّكُنْ لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوْٓا اِلَيْهِ مُذْعِنِيْنَ۞اَفِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ اَمِ ارْتَابُوْٓا اَمْ يَخَافُوْنَ اَنْ يَّحِيْفَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُوْلُهٗ ۗبَلْ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ  ࣖ۞

“Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, ‘Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (keduanya).’ Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang beriman. Dan apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya, agar (Rasul) memutuskan perkara di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak (untuk datang). Tetapi, jika kebenaran di pihak mereka, mereka datang kepadanya (Rasul) dengan patuh. Apakah (ketidakhadiran mereka karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Qs. an-Nur: 47-50)

 

Pelajaran (5) Untuk Kebaikan dan Kedamaian

فَكَيْفَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۢبِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ثُمَّ جَاۤءُوْكَ يَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ ۖاِنْ اَرَدْنَآ اِلَّآ اِحْسَانًا وَّتَوْفِيْقًا

“Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian’.” (Qs. an-Nisa’: 62)

(1) Orang-orang munafik tersebut jika ditimpa musibah akibat ulah tangan mereka sendiri, mereka segera datang kepada Rasulullah ﷺ, untuk meminta maaf dan memberikan alasan bahwa maksud mereka adalah kebaikan belaka.

(2) Musibah yang menimpa orang munafik adalah terbunuhnya salah satu dari mereka oleh ‘Umar bin al-Khattab. Kisahnya masih terkait dengan sebab turunnya ayat yang telah disebut sebagiannya pada ayat 60, yaitu ketika orang munafik ini berselisih dengan orang Yahudi. Kemudian orang Yahudi mengajak untuk berhukum kepada Ka’ab bin al-Asyraf (tokoh Yahudi), yang disebut oleh al-Qur’an sebagai thagut. Karena masing-masing bersikeras kepada pendapatnya, akhirnya orang munafik ini terpaksa mengikuti keinginan Yahudi untuk berhukum kepada Rasulullah. Dan diputuskan yang benar adalah orang Yahudi dan yang salah adalah orang munafik. Orang munafik ini tidak terima dengan keputusan Rasulullah. Kemudian meminta Abu Bakar untuk memutuskan bagi kaum Yahudi. Orang munafik pun kembali tidak terima dengan keputusan Abu Bakar. Kemudian keduanya datang kepada ‘Umar untuk meminta keputusan hukum. Orang Yahudi berkata kepada ‘Umar bahwa mereka telah meminta keputusan hukum kepada Rasulullah dan Abu Bakar. Tetapi orang munafik itu tidak menerima keputusan tersebut, dan meminta ‘Umar untuk memutuskannya.

Kemudian ‘Umar bertanya kepada orang munafik, apakah yang diceritakan Yahudi itu benar? Orang munafik itu menjawab, “Ya, benar.” Lalu Umar masuk ke dalam rumah unttuk mengambil pedang, lalu keluar menemui mereka berdua dan membunuh orang munafik tersebut. Kemudian dia berkata, “Beginilah caraku untuk menghukum orang yang tidak mau menerima keputusan Allah dan Rasul-Nya.” Orang Yahudi pun lari dan turunlah ayat ini (60-63).

Malaikat Jibril berkata, “Umar telah memisahkan mana yang hak dan mana yang batil.” Lalu Umar dijuluki “al-Faruq” (Pemisah antara yang baik dan yang buruk).

(3) Setelah kejadian itu, orang-orang munafik yang lain datang kepada Rasulullah meminta tebusan atas terbunuhnya teman mereka dan mengatakan, “Sebenarnya yang kami lakukan dengan meminta keputusan hukum kepada Ka’ab bin al-Asyraf dan kepada dukun dari Junainah tujuannya baik, yaitu supaya ada perdamaian dann kesepataan di antara yang berselisih.”

Firman-Nya,

اِنْ اَرَدْنَآ اِلَّآ اِحْسَانًا وَّتَوْفِيْقًا

“Kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian.”

(4) Ayat ini mirip dengan beberapa firman Allah, di antaranya:

(a) Firman Allah ﷻ,

فَتَرَى الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ يُّسَارِعُوْنَ فِيْهِمْ يَقُوْلُوْنَ نَخْشٰٓى اَنْ تُصِيْبَنَا دَاۤىِٕرَةٌ ۗفَعَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّأْتِيَ بِالْفَتْحِ اَوْ اَمْرٍ مِّنْ عِنْدِهٖ فَيُصْبِحُوْا عَلٰى مَآ اَسَرُّوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ نٰدِمِيْنَۗ

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya, sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka’.” (Qs. al-Maidah: 52)

(b) Firman Allah ﷻ,

وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَّكُفْرًا وَّتَفْرِيْقًاۢ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَاِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ مِنْ قَبْلُ ۗوَلَيَحْلِفُنَّ اِنْ اَرَدْنَآ اِلَّا الْحُسْنٰىۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran dan untuk memecah belah di antara orang-orang yang beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah, “Kami hanya menghendaki kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta (dalam sumpahnya)’.” (Qs. at-Taubah: 107)

(5) Banyak dari umat Islam yang tidak percaya bahwa syariat Islam membawa solusi dari segala problematika hidup yang mereka hadapi. Sebagian dari mereka, beragama Islam sebatas melaksanakan ritual ibadah, seperti: shalat, zakat, puasa, doa, dzikir, dan ibadah-ibadah lahiriyah lainnya. Mereka belum mengambil ajaran Islam secara sempurna dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Islam bagi mereka masih terbatas ritual agama, belum sampai tingkatan Islam sebagai pandangan hidup.

 

Pelajaran (6) Menghadapi Orang Munafik

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا

“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (Qs. an-Nisa’: 63)

(1) Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati orang-orang munafik, betapa besarnya kekafiran, kebencian dan tipu daya mereka terhadap Islam dan umatnya.

(2) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada yang mengetahui perkara yang tersembunyi di dalam hati mereka dan apa yang mereka rahasiakan kecuali hanya Allah saja.

(3) Untuk menghadapi orang-orang munafik seperti itu, Allah memberikan tiga langkah alternatif kepada Rasulullah,

Berpaling dari mereka (فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ) yaitu tidak perlu menhukum dan tidak perlu menerima permintaan maaf mereka.

Memberikan nasehat kepada mereka (وَعِظْهُمْ) salah satunya dengan menakut-nakuti mereka dan melarang mereka untuk berbuat kejahatan dan menyembunyikan rahasia-rahasia jahat.

Firman-Nya (وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا) menyatakan perkataan yang membekas di dalam hati mereka. Ini dilakukan secara empat mata, di kalangan terbatas, atau di depan umum. Mengatakan kepada mereka agar mereka jera dengan perbuatan mereka, seperti mengancam akan membunuhnya jika masih tetap dalam kemunafikannya, atau Allah akan membongkar rahasia-rahasia mereka dan kata kata lain yang membekas di dalam hati.

 

Pelajaran (7) Rasul untuk Ditaati

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَّلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ جَاۤءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللّٰهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (Qs. an-Nisa’: 64)

(1) Ayat ini menegaskan akan kewajiban taat kepada Rasulullah dan Allah tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati, karena kalau seorang Rasul yang diutus tidak ada yang mentaati, maka dipastikan misi rasul tersebut akan gagal, oleh karenanya Allah ﷻ berfirman,

بِاِذْنِ اللّٰهِ

“Dengan izin Allah.”

(2) Maksud “dengan izin Allah” bahwa Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada manusia, sehingga mereka menjadi taat kepada Rasul yang menjadi utusan-Nya. Mujahid berkata, “Maksudnya bahwa seseorang tidak akan taat kepada Rasul kecuali dengan izin Allah.”

(3) Ayat ini mirip dengan firman Allah ﷻ,

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللّٰهُ وَعْدَهٗٓ اِذْ تَحُسُّوْنَهُمْ بِاِذْنِهٖ ۚ

“Dan sungguh, Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya.” (Qs. Ali ‘Imran: 152)

Juga firman-Nya,

فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ قَتَلَهُمْۖ وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰىۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْهُ بَلَاۤءً حَسَنًاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. al-Anfal: 17)

(4) Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, keberhasilah di dalam suatu pekerjaan, kemenangan di dalam suatu peperangan, kemudahan dalam suatu urusan, semua itu karena izin, taufik dan hidayah dari Allah ﷻ.

Ini dikatakan dengan salah satu doa,

اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً

“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah.”

 

Pelajaran (8) Ketika Berbuat Dosa

وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَّلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ جَاۤءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللّٰهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

“Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”

(1) Ayat ini menjelaskan cara bertaubat dari sebuah dosa atau kesalahan yang dilakukan terkait dengan Rasulullah ﷺ, yaitu dengan melakukan tiga langkah:

(a) Mendatangai Rasulullah dengan mengungkapkan penyesalannya terhadap dosa yang dilakukan, terutama yang menyangkut diri Rasulullah ataupun dosa lainnya.

(b) Di depan Rasulullah, orang yang berbuat dosa itu meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

(c) Memohon Rasul untuk memintakan ampun atas dosanya kepada Allah.

Kalau tiga hal itu dilakukan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa dan mencurahkan rahmat-Nya kepada orang tersebut.

(2) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa tidak menerima keputusan Rasulullah atau tidak berhukum kepadanya termasuk dosa, menzhalimi diri sendiri.

 

Pelajaran (9) Pasrah dengan Keputusan Rasulullah

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. an-Nisa’: 65)

(1) Diriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan perselisihan antara Zubair bin Awwam dan Hatib bin Abu Balta’ah dalam masalah air di daerah Harrah. Rasulullah ﷺ berkata kepada Zubair, “Siramlah air itu ke kebunmu, kemudian alirkan ke tetanggamu.” Hatib berkata, “Apakah engkau menetapkan ini karena Zubair adalah kerabatmu?” Mendengar itu, berubahlah wajah Rasulullah, beliau bersabda, “Siramlah air itu ke kebunmu wahai Zubair, kemudian tutup pintu air, agar kembali ke parit. Kemudian alirkan itu ke tetanggamu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

(2) Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan orang munafik dan orang Yahudi. Tetapi keumuman ayat ini mencakup kisah Zubair bin Awwam dan Hatib bin Abu Balta’ah.

(3) Berkata Ibnu al-‘Arabi bahwa setiap yang menuduh Rasulullah tidak adil di dalam memutuskan hukuman, dihukumi kafir. Adapun kasus orang Anshar atau Hatib bin Abi Balta’ah, hanyalah terpeleset lidahnya, maka Rasulullah membiarkannya dan memaafkannya karena beliau tahu bahwa hal itu tidak disengaja. Maka setiap orang yang tidak menerima dan tidak ridha kepada keputusan hukum Rasulullah, dianggap telah murtad dan harus segera bertaubat. Adapun jika dia tidak ridha pada hukum Rasulullah, dia tidak dihukumi murtad. Bagi hakim berhak memberikan sanksi kepadanya atau memaafkannya.

(4) Di dalam ayat ini Allah bersumpah dengan diri-Nya sendiri bahwa orang-orang munafik yang tidak mau berhukum kepada Nabi ﷺ dianggap belum beriman, kecuali jika telah memenuhi:

(a) Firman-Nya (يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ) Mereka berhukum kepada Nabi ﷺ dalam setiap memutuskan setiap perkara yang mereka perselisihkan.

(b) Firman-Nya (ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ) Hati mereka tidak merasa berat atau mengeluh terhadap keputusan Nabi ﷺ.

(c) Firman-Nya (وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا) Mereka patuh dan pasrah sepenuhnya terhadap keputusan Nabi secara lahir dan batin.

(5) Hal ini dikuatkan dengan hadits ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَواهُ تَبَعَاً لِمَا جِئْتُ بِهِ” حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ

“Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mau mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadits hasan shahih, kami telah meriwayatkannya dari Kitab al-Hujjah dengan sanad shahih.)

 

***

Jakarta, Jumat, 29 April 2022.

KARYA TULIS