Karya Tulis
73128 Hits

Hukum Memanfaatkan Sawah Yang Digadaikan

    Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang menanyakan hukum memanfaatkan barang yang sedang digadaikan. Seperti halnya yang berkembang di masyarakat pedesaan, seseorang meminjam uang kepada teman atau orang lain, kemudian orang itu meminjamkan sejumlah uang kepadanya dengan syarat sawahnya harus digadaikan. Selama masa peminjaman orang yang meminjamkan tadi memanfaatkan hasil sawah yang digadaikan, atau paling tidak dia mendapatkan setengah dari hasuil swah tersebut. Ini semua berlangsung atas kesepakatan mereka berdua. Bagaimana hukum bentuk pegadaian seperti ini dan sejenisnya ?

Tulisan di bawah ini, mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan di atas, tapi sebelumnya perlu diterangkan secara umum tentang hukum-hukum yang terkait dengan pegadaian dalam Islam.

 

Pengertian Gadai

Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Ar-Rahn yang berarti : al-tsubut  ( tetap ) dan al-habs ( tahanan ). ( Muhammad Abu Bakar ar Razi, Mukhtar as Shihah, Kairo, Dar al Hadist, 2002 M, hlm : 151). Ini sesuai dengan firman Allah swt :

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

“ Tiap-tiap diri bertanggung jawab  ( tertahan )  atas apa yang telah diperbuatnya. “ ( Qs Al Mudatsir : 38 )

Adapun Gadai secara Istilah bisa diartikan : pinjam meminjam uang dengan menyerahkan barang dan dengan batas ( bila telah sampai waktunya tidak ditebus, barang tersebut menjadi hak orang yang memberi pinjaman ). ( WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, 1976, hlm. 286 )

Dalam literatur Fiqh, Gadai ( ar Rahn ) diartikan dengan :  menjadikan barang sebagai jaminan dari hutang, sebagai pengganti jika hutang tersebut tidak bisa dibayar ( al Khotib asy Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut Dar Al Kutub al Ilmiyah, juz :3, hlm : 38 )

Dasar Pegadaian adalah firman Allah swt :

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ  وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( Qs Al- Baqarah : 283 )

Dalil dari as-sunnah adalah hadist Aisyah Ra, bahwasanya ia berkata :

اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“ Bahwasanya  Rasulullah saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menggadaikannya dengan baju besinya.” ( HR Bukhari, no 1926 )

Hukum Gadai

Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu dibolehkan , baik pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, baik ada penulisnya atau tidak ada, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah  saw. yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah.

Adapun Mujahid dan Madzhab Dhohiriyah berpendapat, bahwa gadai itu tidak dibolehkan  kecuali pada saat bepergian dan pada saat tidak ada petugas yang menulsi transaksi tersebut. Dalil mereka adalah firman Allah swt  Qs .al-Baqarah ayat 283 di atas ( al Mawardi, al Hawi al Kabir, Beirut Daar Al Kutub Al Ilmiyah, Juz : 6 , hlm : 4-5 )

Hukum Menggunakan Barang Gadaian.

Ada dua pihak yang menggunakan barang gadaian :

Pertama : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah orang yang menerima gadai. Ini mempunyai tiga keadaan :

Keadaan Pertama : Jika penerima gadai ( murtahin ) menggunakan barang gadaian tersebut tanpa imbalan standar, maka hal itu diharamkan karena termasuk dalam katagori riba.  Berkata Ibnu Qudamah :

( فإن أذن الراهن للمرتهن في الانتفاع بغير عوض ، وكان دين الرهن من قرض ،لم يجز ، لأنه يحصل قرضا يجر منفعة ، وذلك حرام)

“ Jika ar rahin ( pemilik barang gadai )  mengijinkan bagi murtahin ( pemegang gadai ) untuk memanfaatkan barang gadai tersebut  tanpa ada imbalan, sedang ar rahin berhutang kepada  al murtahin, maka hal ini tidak boleh, karena hutang yang memberikan manfaat bagi yang memberikan utang, sehingga masuk dalam katagori riba . “( Al Mughni : 4/431 )

Keadaan Kedua : Jika murtahin memanfaatkan barang gadai tadi dengan imbalan yang standar, maka para ulama berbeda pendapat : mayoritas ulama tidak membolehkannya, sedang Madzhab Hanabilah membolehkannya, karena yang demikian itu masuk dalam katagori akad sewa, dan bukan termasuk memanfaatkan barang gadaian

Keadaan Ketiga : Jika barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan, maka biayanya ditanggung oleh ar rahin ( pemilik gadai tersebut ). Jika pegadai tidak memberikan biaya perawatan, maka penerima gadai yang mengeluarkan biaya perawatan, tetapi dia dibolehkan untuk menaikinya sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya.  Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“"(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susuny, ia wajib membayar". (HR Bukhari, no : 2329 ).

Itu adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah, tetapi mayoritas ulama tidak membolehkannya karenabaranggadaian tersebut bukan milik pemegang gadai. ( Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Dar Al Kutub al Ilmiyah, 1988 :Juz : 2, hlm : 276 )

Adapun hadist di atas dianggap mansukh dengan hadist Ibnu Umar yang menyatakan bahwa  tidak dibolehkan memerah susu kambing orang lain,kecuali dengan ijinnya. Bahkan Imam Mawardi menyatakan bahwa hadist di atas tidak ada kata-kata yang menerangkan bahwa yang menaiki dan memanfaatkan barang gadaian tersebut adalah pemegang gadai ( al murtahin) . Berkata Imam Mawardi : “ Dalam hadist di atas diterangkan bahwa biaya perawatan dibebankan kepada yang menaiki dan meminum susunya, padahal kewajiban perawatan dibebankan kepada rahin ( yang menggadaikan) bukan kepada murtahin ( yang menerima gadai.) “ ( Al Hawi al Kabir  : 6/14 ) Hal senada disampaikan juga oleh Ibnu Rusydi di dalam Bidayat al Mujtahid : 2/ 276 : “ Tidak benar kalau diartikan bahwa yang menaiki dan yang memerah susunya adalah pemegang gadai ( al murtahin ). “

Kedua : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah pemiliknya ( ar rahin ).

Mayoritas ulama membolehkan  pemilik barang gadai untuk menggunaan barang gadaian,  jika hal itu tidak mengurangi harga barang tersebut, seperti menempati  rumahnya sendiri yang digadaikan , atau menaiki kudanya yang digadaikan . Tetapi menurut mayoritas ulama pemilik tersebut harus meminta ijin kepada murtahin ( pemegang gadai ). Adapun ulama Syafi’yah membolehkankannya secara mutlak,  walaupun tanpa  ijin murtahin ( pemegang gadai ).

Dalil kelompok ini adalah sabda Rasulullah saw :

لا يغلق الرهن من صاحبه له غنمه وعليه غرمه". [رواه ابن ماجه ومالك وحسنه السيوطي].

“ Barang gadaian tidak boleh ditutup dari pemiliknya, pemiliklah yang akan mendapatkan keuntungan dan menerima kerugian dari barangtersebut . “ ( HR Ibnu Majah dan Malik dan di hasankan oleh Imam Suyuti )

Sedangkan  madzhab Malikiyah tidak membolehkan ar rahin ( pemilik gadai) untuk memnfaatkan barang gadaiaannya secara mutlak, walaupun dengan ijin pemegang gadai .

Kesimpulan :

Dari pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian seperti sawah, motor, dan lain-lain, dalam bentuk apapun juga walaupun sudah diijinkan pemiliknya, karena hal itu termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Kecuali jika barang gadaian tersebut perlu biaya perawatan sedang pemiliknya tidak mau mengeluarkan biaya b  perawatan, sehingga biayanya  dibebankan kepada pemegang gadai, dalam keadaan seperti ini, menurut sebagian kecil ulama, dibolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian tersebut sebesar biaya perawatan yang dikeluarkan. Tetapi mayoritas ulama tetap mengharamkannya secara mutlak.

Hal yang serupa pernah ditanyakan oleh para ulama yang terkumpul dalam Lajnah Daimah untuk Fatwa di Arab Saudi ( 14/177 )  dan mereka menyatakan bahwa hukumnya haram, karena termasuk dalam katagori riba.  Wallahu A’lam

Jakarta, 20 Syawal 1431 H/ 29 September 2010 M

Dr. Ahmad Zain An Najah, MA

KARYA TULIS