Karya Tulis
13561 Hits

Hukum Menikah Lewat Internet

Akhir-akhir ini banyak orang yang menanyakan hukum menikah lewat telpun atau internet, apakah sah menutut pandangan Syariah ? Jika tidak sah, bagaimana solusinya bagi orang-orang yang tempatnya saling berjauhan, sebagaimana yang terjadi pada diri salah seorang TKW yang berkerja di Hongkong dengan masa kontrak 2 tahun, kebetulan dia punya kenalan orang dari Solo, keduanya sudah saling mencintai dan ingin segera melakukan akad pernikahan,  sedang kondisi mereka berdua tidak memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu secepatnya, apa yang harus mereka kerjakan, menikah lewat telpun atau internet, atau bagaimana  ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul,  sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu, calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.

Maka untuk menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus dibahas terlebih dahulu :

 

Syarat Pertama : calon mempelai laki-laki atau yang mewakilinya dan wali perempuan atau yang mewakilinya harus berada dalam satu majlis ketika dilangsungkan akad pernikahan.

Pertanyaannya adalah apakah dua pihak yang berbicara melaui telpun atau internet untuk melakukan transaksi dianggap dalam satu majlis, sehingga transaksi tersebut menjadi sah ?  Dalam hal ini, Majma’ al Fiqh telah menetapkan hukum penggunakan ponsel, hp, dan internet di dalam melakukan transaksi, yang isinya sebagai berikut : “ Jika transaksi antara kedua pihak berlangsung dalam satu waktu, sedangkan mereka berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan  telpun, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak yang bertemu dalam satu majlis.” ( Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke – 6 ( no : 2/1256 )

 

Syarat Kedua : pernikahan tersebut harus disaksikan oleh dua orang atau lebih.

Pertanyaannya adalah dua saksi pernikahan tersebut tidak bisa menyaksikan secara langsung akad pernikahan tersebut, mereka berdua hanya bisa mendengar suara akad pernikahan dari kedua belah pihak melalui telpun atau internet, apakah persaksian keduanya telah dianggap sah atau tidak ?

Masalah di atas mirip dengan  masalah persaksian orang buta yang mendengar sebuah transaksi antara dua belah pihak, apakah  persaksian orang buta tersebut sah ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama menyatakan bahwa persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.

Berkata al Kasani : “ Persaksian orang buta tidak diterima dalam semua hal. Karena dia tidak bisa membedakan antara kedua belah pihak. “ ( Badai’ Shonai’ 3/243 )

Berkata Imam Syafi’I : “ Jika seseorang memberikan persaksian, sedangkan dia buta dan mengatakan : saya menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala sesuatu dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya, begitu juga  rabaan mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya “ ( Al Umm : 7/46 )

Pendapat Kedua menyatakan bahwa persaksian orang buta bisa diterima selama dia menyakini suara tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah.

Tersebut di dalam buku al Mudawanah al Kubra ( 5/ 43 ) : “ Apakah dibolehkan seorang buta memberikan persaksian di dalam masalah perceraian ? Berkata Imam Malik : “ Iya, dibolehkan jika ia mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu al Qasim : Aku bertanya kepada Imam Malik: “ Seorang laki-laki mendengar tetangganya dari balik tembok sementara dia tidak melihatnya, ia mendengar tetangga tersebut mencerai istrinya, kemudian dia menjadi saksi atasnya berdasarkan suara yang dia kenal ? Imam Malik menjawab : persaksiannya diperbolehkan.”

Di dalam kitab Ad Dzakhirah ( 10/164 ) disebutkan : “ Kesaksian orang buta terhadap pembicaraan diperkenankan ( dianggap sah ) “

Di dalam kitab Mukhtashor al Khiraqi  ( hlm : 145 ) disebutkan : “ Diperbolehkan persaksian orang buta jika dia yakin dengan suara tersebut “

Pendapat kedua ini berdalil dengan beberapa hadist, diantaranya adalah :

 

1/Hadist Abdullah bin Umar ra, bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda : “ Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai terdengar adzan Ibnu Maktum “ ( HR Bukhari )

Hadist di atas menunjukkan bahwa adzan Ibnu Maktum ( beliau adalah seorang yang buta ) merupakan persaksian darinya terhadap masuknya waktu sholat. Seandainya persaksian orang buta tertolak, tentunya adzannya juga tidak sah.  Begitu juga yang mendengar adzan digolongkan orang yang buta, karena hanya mendengar suara muadzin tanpa melihat secara langsung fisik dari muadzin tersebut, dan itupun dianggap sah.  ( Ibnu Abdul Barr, Tamhid : 10/61, An Nawawi, Syarh Muslim : 7/202, Ibnu Hajar, Fathul Bari : 5/ 265)

2/ Dari Aisyah berkata : “ Pada suatu ketika Rasulullah saw sholat tahajud di rumahku, dan beliau mendengar suara Ubad yang sedang sholat di masjid, beliau bertanya “ Wahai Aisyah apakah itu suara Ubad?, saya menjawab : “ Benar“, beliau langsung berdo’a : “ Ya Allah berilah kasih sayang kepada Ubad “ ( HR Bukhari )

Dua hadist di atas menunjukkan secara kuat bahwa persaksian orang buta dibolehkan dan dianggap sah di dalam ibadah dan mua’malah.

Jika demikian halnya, bagaimana hukum persaksian dua orang di dalam akad pernikahan lewat telpun maupun internet, apakah dianggap sah ?

Orang yang menikah lewat telpun dan internet tidak lepas dari dua keadaan :

Keadaan Pertama : Salah satu pihak yang melakukan akad serta dua orang saksi tidak yakin dengan suara pihak kedua. Maka dalam hal ini, pernikahan lewat telpun dan internet hukumnya tidak sah.

Inilah yang diputuskan oleh  Lajnah Daimah li al Ifta’ ketika ditanya masalah tersebut, mereka memutuskan sebagai berikut :

“ Dengan pertimbangan bahwa pada hari-hari ini banyak penipuan dan manipulasi, serta canggihnya orang untuk meniru pembicaraan dan suara orang lain, bahkan diantara mereka ada yang bisa meniru suara sekelompok laki-laki dan perempuan baik yang dewasa maupun yang masih anak-anak, dia meniru suara dan bahasa mereka yang bermacam-macam sehingga bisa menyakinkan orang yang mendengar bahwa yang bicara tersebut adalah orang banyak, padahal sebenarnya hanya satu orang.

Begitu juga mempertimbangkan bahwa Syariat Islam sangat menjaga kemaluan dan kehormatan, dan agar berhati-hati dalam masalah tersebut lebih dari masalah lainnya seperti muamalah. Oleh karenanya, Lajnah memandang bahwa seharusnya tidak menyandarkan secara penuh akad pernikahan ijab dan qabul serta perwakilannya dengan menggunakan alat telpun, agar tujuan Syariat bisa teralisir serta  lebih menekankan kepada penjagaan terhadap kemaluan dan kehormatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang jahat untuk bermain-main dalam masalah ini dengan manipulasi dan penipuan. Wabillahi at Taufiq. “

Keadaan Kedua : kedua belah pihak yang melakukan akad sangat mengenal suara antara satu dengan yang lain, begitu juga dua orang saksi yakin bahwa itu suara dari pihak kedua yang melakukan akad. Pada kondisi seperti ini, persaksian atas pernikahan tersebut dianggap sah, dan pernikahannya sah juga. Khususnya dengan kemajuan teknologi sehingga seseorang bisa bicara langsung dengan pihak kedua melalui gambar dan suara, sebagaimana yang terdapat dalam teleconference.

Dalam hal ini Syekh Bin Baz, mufti Negara Saudi ketika ditanya oleh seseorang yang menikah lewat telpun dan mereka saling mengenal suara masing-masing pihak, beliau menyatakan bahwa pernikahaannya sah.

Tetapi walaupun demikian tidak dianjurkan bagi orang yang ingin menikah untuk menggunakan alat teknologi seperti yang diterangkan di atas kecuali dalam keadaan terpaksa dan darurat, hal itu untuk sifat kehati-hatian di dalam melakukan pernikahan karena berhubungan dengan kehormatan seseorang. Wallahu A’lam.

Jakarta, 1 Shafar 1431/ 16 Januari 2010 M

KARYA TULIS