Karya Tulis
13214 Hits

( Bab II ) Arti, Sejarah, dan Perkembangan Nasionalisme

Nasionalisme adalah sebuah faham yang membentuk loyalitas berdasarkan kesatuan tanah air, budaya dan suku.

Pengertian ini diperjelas kembali oleh Dr. Ali Nafi’ di dalam bukunya “Ahammiyatul Jihad”, beliau menulis: “Nasionalisme merupakan bentuk pengkultusan kepada suatu bangsa ( tanah air ) yang diaplikasikan dengan memberikan kecintaan dan kebencian kepada seseorang berdasarkan pengkultusan tersebut, ia berperang dan mengorbankan hartanya demi membela tanah  air belaka ( walaupun dalam posisi salah ), yang secara otomatis akan menyebabkan lemahnya loyalitas kepada agama yang dianutnya, bahkan menjadi loyalitas tersebut bisa hilang sama sekali”. (Dr. Ali Yafi’, Ahammiyatul Jihad, hal. 411)

Lain halnya dengan Prof. Hans Kohn, pakar sejarah terkemuka abad ini, yang menyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang tumbuh dalam masyarakat dan mempunyai empat ciri:

1. Kesetiaan tertinggi individu diserahkan kepada Negara kebangsaan.

2. Dengan perasaan yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya.

3. Perasaan yang mendalam dengan tradisi-tradisi setempat, dan

4. Kesetiaan dengan pemerintah yang resmi.

(Gatra, 11 Nopember 1995, hal 76)

Perasaan ingin berkumpul dengan yang lainnya adalah sebuah fitrah yang tidak bisa dipungkiri oleh setiap orang. Karena manusia adalah makhluk ijtima’i. Islampun tidak melarang bahkan mewajibkan umatnya untuk bersatu dan berkumpul, bekerja sama di dalam menjalakan kewajibannya sehari-hari.

Tabi’at dienul Islam sendiri adalah tabi’at kebersamaan. Bahkan sebagian ajarannya tidak bisa dilaksanakan kecuali secara bersama-sama. Tapi dari segi lain, Islampun meletakkan batas-batas tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh umat manusia, karena akibatnya akan fatal.

Paham Nasionalisme akan berkembang di kalangan umat Islam, manakala batasan-batasan yang baku itu di terjang. Perasaan fanatisme golongan, mungkin sekali-kali timbul pada diri setiap orang, bersamaan dengan timbul-tenggelamnya ke-imanannya.

Munculnya faham nasionalisme berawal dari munculnya fanatik golongan, fanatik ini  muncul bersamaan dengan munculnya makhluk yang bernama manusia. Mungkin fenomena tersebut belum begitu nampak pada keluarga “Adam” alaihissalam, yang merupakan cikal bakal umat manusia. Karena jumlah keturunannya yang masih sedikit waktu itu. Walaupun begitu, isyarat akan menambah wabah “fanatik golongan” di anak keturunannya nampak jelas ketika terjadi percekcokan antara dua putra Adam yang mengakibatkan tumpahnya darah manusia pertama kali di bumi persada ini, sebagaimana yang telah digambarkan Allah di dalam surat al-Maidah ayat: 27-31.

Perselisihan antar anggota keluarga itu terulang kembali di dalam skala yang lebih besar, yaitu ketika adanya suatu usaha pembunuhan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf. Sejarah yang diabadikan al Quran di dalam satu surat tersebut, menggambarkan bagaimana bahaya sebuah kedengkian yang muncul dari perasaan bangga terhadap sebuah kelompok. Hanya karena berbeda ibu, mereka menyimpan kebencian yang sangat kepada saudaranya yang tidak berdosa itu. Api perselisihan di lingkungan keluarga itu akhirnya membesar dan berpindah kepada tingkat kesukuan dan kebangsaan.

Fir’aun dan bala tentaranya yang berusaha untuk memusnahkan etnis Bani Israel dari bumi Mesir adalah salah satu contoh dari drama kehidupan masyarakat yang terjebak didalam fanatik kelompok dan kesukuan. Setiap bayi laki-laki yang lahir tidak diberinya kesempatan untuk bernafas lebih lama di negara lembah Niel tersebut. Peristiwa tragedi kemanusiaan tersebut mewarnai banyak lembaran-lembaran di dalam al qur’an. Permusuhan itu tak kunjung padam sampai diutusnya Nabi Musa As untuk merubah pertarungan etnis tersebut menjadi pertarungan antara al haq dan al bathil.

Kefanatikan kadang-kadang membuat seseorang kehilangan akal, membabi buta, mengumbar hawa nafsu bahkan mengantarnya pada derajat kebinatangan. Sifat inilah yang akhirnya mendominasi kehidupan bangsa Arab pada masa jahiliyah. Salah satu buktinya seperti yang diungkapkan ibnu Katsir di dalam bukunya “Bidayah wa Nihayah”, tentang terjadinya peperangan antara bani Khoza’ah dan Jarhamiyin yang tak pernah kunjung padam di dalam memperebutkan ka’bah. (Ibnu Katsir, Bidayah wa Nihayah, Juz: 2, hal. 20)

Sementara itu di Yatsrib –al Madinah an Nabawiyah-, Auz dan Khozroj yang merupakan dua kabilah besar tak pernah berhenti berperang. Beratus-ratus jiwa berjatuhan setiap saat, sampai datangnya Islam menyatukan mereka kembali. Allah berfirman:

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمة الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكمنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم أياته لعلكم تهتدون

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, bahwa ayat ini diturunkan kepada Auz dan Khozroj, ketika seorang yahudi berusaha mengobarkan api kedengkian dan perpecahan antara dua kabilah tersebut, dengan mengungkit-ungkit masalah-masalah yang telah silam pada waktu jahiliyah. Tatkala berita itu sampai pada Rosulullah saw. saw, bergegaslah beliau menuju tempat bertemunya dua kelompok tersebut untuk memadamkan api perpecahan itu, sebelum berubah menjadi pertumpahan darah seraya berseru: “Apakah kalian akan mengobarkan faham Jahiliyah, padahal  saya masih berada diantara kalian?”. Kemudian Rosulullah saw. saw. Membaca ayat tersebut. (Ibnu Katsir, Tafsirul Quranul Adhim, ( Beirut, Alam al-Kutub), juz: 1, hal. 347)

Tidak menutup kemungkinan, perasaan bangga terhadap kesukuan tersebut, suatu saat akan timbul didalam kehidupan para sahabat, baik ketika Rosulullah saw. saw. masih berada di tengah-tengah mereka, seperti kejadian diatas maupun setelah wafatnya Rosulullah saw. saw, seperti pada peristiwa di Saqifa Bani Sa’ad, ketika terjadi klies antara Muhajirin dan Anshor di dalam menentukan kholifah pengganti Rosulullah saw. saw. (Ibnu al Aroby, al Awashim minal Qowashim, hal. 56, 61)

Namun pemahaman jahiliyah tersebut cepat hilang lagi, manakala mereka diingatkan lagi kepada kebenaran. Dengan demikian nasionalisme tidak sempat berkembang di kalangan sahabat, sebuah potret masyarakat yang telah ditempa di madrasah Rosulullah saw. saw.

Namun sangat disayangkan sekali, keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Faham nasionalisme itu mulai berkembang lagi pada generasi sesudahnya, tepatnya sejak berakhirnya Khulafaur Rosyidin, kemudian semakin hari semakin bertambah. Dan prosentasinya memuncak pada hari ini. Penyakit inilah yang akhirnya mengantarkan pada runtuhnya daulah Umamiyah dan Daulah Abasiyah, yang di kemudian hari akan menyebabkan ambruknya khilafah Islamiyah pada abad XX.

Rahasia keruntuhan Khilafah-khilafah Islamiyah tersebut pernah ditulis Abul A’la Al Maududi di dalam bukunya “Islamul Yaum”. Tokoh pemikir Islam yang produktif tersebut mengatakan :

Bahwa penyakit kronis ini menyebabkan hancurnya Daulah Umawiyah dan menjadi pemicu perpecahan antara kabilah-kabilah Arab waktu itu, dan karenanya pula runtuhlah pondasi Daulah Umawiyah yang berada di Andalus begitu juga yang menyebablan rontoknya wilayah Islamiysh Haidar Abad di India.” (Abul A’la Al Maududi, Islamul Yaum, hal 35)

KARYA TULIS