Karya Tulis
12594 Hits

Bab II Miqat Haji dan Umrah

Di dalamnya terdapat lima pembahasan :

Pembahasan Pertama : Waktu Haji Dan Umrah

Umrah boleh dilakukan  kapan saja sepanjang tahun, baik pada musim haji, maupun pada waktu lainnya, lebih ditekankan lagi pada bulan Ramadhan, karena pahalanya seperti pahala haji bersama nabi Muhammad. Sebagaimana dalam hadist :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ لَمَّا رَجَعَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ حَجَّتِهِ قَالَ لأُمِّ سِنَانٍ الأَنْصَارِيَّةِ رضي الله عنها: َإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِى حَجَّةً مَعِى

“Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pulang dari hajinya, beliau berkata kepada Ummu Sinan Al Anshariyyah: “Sesungguhnya berumrah di bulan Ramadhan senilai haji bersamaku”. (HR. Muslim)

Begitu juga dianjurkan untuk melakukan umrah pada musim haji, karena nabi melakukannya.

Dan dibolehkan mengulangi ibadah umrah, seperti yang pernah dilakukan oleh Aisyah ketika melakukan umrah dua kali pada bulan Dzulhijjah, dan hal itu dilakukan oleh beberapa sahabat juga.

Barang siapa yang hendak melaksanakan ibadah haji, hendaknya dia berniat ihram  sesudah bulan Syawal, hal ini berdasarkan firman Allah :

الْحَجُّ أَشْهُرُ مَّعْلُومَاتُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang-siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan menger-jakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (QS. Al-Baqarah: 197)

Maksud dari bulan-bulan haji adalah Syawal, Dulqa’dah dan Dzulhijjah, demikianlah yang ditafsirkan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Jika dia berniat ihram untuk haji sebelum bulan Syawal, maka hal itu tidak dianjurkan, akan tetapi hajinya tetap sah.

Pembahasan Kedua : Miqat Makani untuk Ihram

Miqat Makani ada lima, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ دُونَهُنَّ فَمُهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَاكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّونَ مِنْهَا

“Dari Ibnu 'Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut bila datang melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan umrah. Sedangkan bagi orang-orang selain itu, maka mereka memulai dari tempat tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuannya sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiah) dari (rumah mereka) di Makkah" ( HR Bukhari dan Muslim )

Dan dalam hadist Aisyah  :

“ Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wassalam menjadikan untuk penduduk Iraq Dzatu Irqin sebagai miqat mereka. “ (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Jika seorang yang sedang menunaikan ibadah haji atau umrah melalui jalan yang menuju ke salah satu dari lima tempat tersebut, maka itu adalah miqatnya, baik dia termasuk orang yang mempunyai miqat tempat itu, maupun tidak.  Dan barang siapa yang melalui jalan yang tidak menuju kepada salah satu miqat tersebut, maka jika dia melewati jalan yang mendekati salah satu miqat tersebut, dia bisa melakukan ihram dan mulai memasuki ibadah haji. Hal ini sesuai dengan perkataan Umar bin Khattab : “ Lihatlah yang sejajar dengan jalan yang kalian tempuh “ (HR Bukhari)

Maka barang siapa yang -umpamanya- naik pesawat terbang, maka hendaknya berihram ketika pesawat tersebut melewat di atas salah satu miqat yang lima tersebut atau lewat sejajar dengan salah satu miqat. Jika  hal tersebut tidak bisa diketahui, maka sebagai bentuk kehati-hatian, hendaknya dia melakukan ihram sebelum miqat tersebut, karena memang dibolehkan berihram sebelum melewati miqat jika memang dibutuhkan. Tetapi jika tidak ada kebutuhan, maka disunnahkan untuk melakukan ihram di miqat tersebut sebagaimana yang dikerjakan oleh nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.

 

Pembahasan Ketiga : Miqat Penduduk Mekkah Dan Yang Rumahnya Berada di dalam Miqat.

Barang siapa yang rumahnya lebih dekat dengan Mekkah dari pada miqat-miqat tersebut, maka hendaknya berihram dari rumahnya.  Jika dia ingin melaksanakan ibadah haji, padahal dia tinggal di Mekkah, maka hendaknya dia berihram untuk haji dari Mekkah, hal ini sesuai dengan hadist :

حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّونَ مِنْهَا

“ Sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiah) dari (rumah mereka) di Makkah".

Adapun orang yang ingin melaksanakan umrah, maka dia harus keluar ke perbatasan Haram, dan berihram dari luar Haram, seperti al-Ju’ranah atau at-Tan’im, karena Nabi saw memerintahkan Aisyah ra ketika hendak melakukanumrah dan dia berada di Makkah untuk keluar menuju Tan’im.

Pembahasan Keempat : Ihram Dari Jeddah

Seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji tidak boleh berihram dari Jeddah , karena dia sudah melewati miqat-miqat yang sudah ditentukan oleh nabi Muhammada saw, maka wajib baginya untuk berihram dari tempat-tempat tersebut atau yang sejajar dengannya. Permasalahannya bukan karena Jeddah termasuk tempat yang berada di dalam Miqat atau di luar Miqat, tetapi jika dia datang dari arah Sawakin -salah satu kota yang berada di Sudan- maka boleh baginya untuk berihram dari Jeddah, karena dalam keadaan seperti ini secara khusus dia tidak melewati miqat-miqat tersebut dan tidak pula melewati tempat-tempat yang sejajar dengannya, maka ihram dari Jeddah menjadi sah.

Pembahasan Kelima : Hukum Masuk Mekkah Tanpa Berniat Untuk Melakukan Ibadah Haji

Barang siapa yang datang  dari kota tempat tinggalnya untuk bekerja di Mekkah atau yang dekat dengannya, sedangkan dia tidak berniat untuk melaksanakan ibadah haji atau  dia masih bimbang apakah mau melaksanakan ibadah haji atau umrah, kemudian baru ada kepastian untuk melakukan ibadah haji setelah masuk Mekkah, maka statusnya seperti status penduduk Mekkah, yaitu dia hendaknya berihram untuk haji dari Mekkah dan berihram untuk Umrah dari luar Mekkah. 

Adapun yang sudah berniat untuk melakukan ibadah haji sebelum sampai Mekkah, maka dia harus kembali ke Miqat untuk melakukan ihram haji, jika tidak, maka wajib baginya untuk menyembelih kambing untuk dibagikan kepada orang-orang miskin yang ada di Haram. 

     Barang siapa yang melewati miqat dengan berniat untuk melakukan ibadah haji, tetapi belum melakukan ihram, maka dia wajib kembali ke Miqat untuk melakukan ihram, jika tidak kembali ke Miqat, maka dia berihram dari tempatnya dan harus menyembelih kambing untuk dibagikan kepada orang-orang faqir yang ada di Haram, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas : “ Barang siapa yang meninggalkan salah satu kewajiban ibadah haji, maka wajib baginya untuk membayar dam (menyembelih hewan kurban )“

KARYA TULIS