Hukum Darah Yang Tersisa Di Tulang Dan Daging
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ , فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ , وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
"Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa . “
Ketika hari raya korban, biasanya banyak daging yang dibagikan kepada masyarakat, hanyasaja sebagian dari mereka masih menanyakan kebolehan memakan daging yang masih terdapat sisa darah ataupun darah yang masih menempel di tulang, bagaimana syariat Islam memandang masalah ini ?
Para ulama dalam masalah ini berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : mengatakan bahwa darah yang tersisa dari sembelihan dan masih menyangkut pada daging dan tulang tidaklah najis, maka boleh dimakan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“ Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah ” ( Qs al- An’am : 145 )
Berkata Qatadah : “ Yang diharamkan dari darah adalah yang mengalir, adapun daging yang tercampur dengan darah maka tidak apa-apa. “ ( Tafsir Ibnu Katsir : 3/352 )
Berkata Ibnu Juraij : “ al-Masfuh adalah darah yang dialirkan ( ketika disembelih ), adapun yang masih tersisa di urat-urat, maka tidak apa-apa “
Kedua : Atsar Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ , فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ , وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
"Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa “ ( Atsar di atas diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Daruqutni dan Hakim. Berkata Ibnu Hajar : Atsar ini dikatagorikan hadits marfu’)
Diriwayatkan dari Ikramah bahwa suatu ketika seorang laki-laki mendatangai Ibnu Abbas dan bertanya : “ Bolehkah aku memakan limpa ? Ibnu Abbas menjawab : boleh. Laki-laki bertanya lagi : “ bukankah limpa itu kandungannya adalah darah ? Ibnu Abbas menjawab : “ Sesungguhnya yang diharamkan adalah darah yang mengalir “ ( Atsar ini disebutkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah )
Ketiga : Para sahabat dahulu dan orang-orang sesudahnya secara turun temurun biasa memakan daging kambing atau unta dengan cara dibakar tanpa dicuci terlebih dahulu, hal ini menunjukkan kebolehannya. Begitu juga menunjukkan bahwa agama Islam itu mudah dan tidak sulit.
Keempat : Berkata Syekh Utsaimin di dalam fatwanya : “ Darah mengalir yang dilarang untuk dimakan adalah darah yang keluar dari binatang ketika masih hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah dulu, ketika salah satu dari mereka lapar, langsung melukai untanya kemudian meminum darahnya. Inilah darah yang diharamkan. Begitu juga darah yang keluar ketika penyembelihan sebelum binatang itu mati. ( islamfeqh.com )
Pendapat Kedua : mengatakan bahwa darah yang tersisa dari sembelihan dan masih menyangkut pada daging dan tulang adalah najis, tetapi hal itu dimaafkan dan boleh dimakan karena susah untuk dihindari. Ini adalah pendapat beberapa ulama madzhab Syafi’i.
Dalil mereka adalah sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” ( Qs al-Maidah : 3 )
Ayat di atas masih bersifat mutlak sehingga seluruh darah dianggap najis. Adapun perbedaan antara darah yang mengalir dan tidak mengalir adalah bahwa darah yang mengalir ( al-masfuh ) ini dianggap banyak sedangkan yang tidak mengalir dianggap sedikit, tetapi semuanya tetap najis. Hanyasaja najis yang sedikit dimaafkan, sehingga boleh untuk dimakan. ( Bidayat al-Mujtahid : 1/80 )
Jawaban :
Mayoritas ulama menjawab dalil pendapat kedua dengan mengatakan bahwa darah yang diharamkan pada ayat di atas sifatnya masih mutlak, yaitu belum ada penjelasan secara rinci, kemudian dijelaskan pada ayat lain, yaitu pada Qs Al-An’am : 145, bahwa maksud darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir waktu disembelih, bukan semua darah.
Kesimpulan :
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa darah yang masih tersisa setelah penyembelihan, dan yang masih menempel dalam daging, tulang maupun urat, hukumnya halal untu dimakan, karena yang diharamkan hanyalah darah yang mengalir karena sembelihan, dan bukan darah yang menempel. Ini menurut pendapat mayoritas ulama. Adapun ulama Syafi’iah – walaupun berpendapat darah tersebut najis - karena dianggap hanya sedikit, dan susah untuk dihindari, sehingga mereka membolehkan seseorang untuk boleh dimakan. Wallahu A’la.
DR. Ahmad Zain An Najah, MA
Bekasi, 14 Shofar 1434 H/ 28 Desember 2012
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »