Karya Tulis
19543 Hits

Hukum Menjual Barang Yang Tidak Dimiliki


Salah satu bentuk jual beli yang dilarang dalam Islam adalah seseorang yang menjual barang yang bukan miliknya.  Larangan ini meliputi tiga hal :

Pertama: Larangan Menjual Sesuatu Yang Bukan Miliknya

Larangan ini berdasarkan hadist Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku seraya meminta kepadaku agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan cara terlebih dahulu aku membelinya untuknya dari pasar?” Rasulullah menjawab : “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu .” (Shahih, HR Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)

Begitu juga, jika seseorang diamanati harta anak yatim untuk dikembangkan, maka dibolehkan baginya untuk melakukan transaksi jual beli demi kemaslahatan anak yatim.

Bagaimana hukum menjual barang kredit?

Orang yang membeli barang secara kredit dan belum lunas, mempunyai dua keadaan,

Keadaan Pertama: dia mempunyai komitmen dan mampu  membayar utangnya dan mempunyai jaminan atas hal itu, maka dibolehkan baginya menjual barang yang dibelinya dengan cara kredit tersebut.

Inilah yang dilakukan kebanyakan para pedagang di pasar-pasar, dimana mereka menjual barang-barang yang dibelinya dari pihak lain, dan biasanya pembayarannya belum lunas. Ini sudah berlaku di masyarakat selama ini dan para ulama tidak mempermasalahkannya.

Keadaan Kedua: dia tidak mampu membayar utangnya dan barang tersebut sebagai jaminan dari penjualnya yang pertama, yaitu jika mampu membayar sampai lunas, maka  barang tersebut menjadi miliknya secara penuh, sebaliknya jika tidak mampu melunasi utang, barang tersebut sebagai jaminannya. Dalam keadaan seperti, dia tidak boleh menjual barang tersebut, karena terkait dengan utang yang belum dibayarnya.  Seperti orang yang membeli motor dengan kredit, ketika tidak bisa melunasi utangnya. dia menjual motor itu, padahal motor itu sebagai jaminan atas utangnya.  Hal ini tidak dibolehkan karena tidak memiliki motor tersebut secara penuh.

Kedua: larangan menjual barang yang belum sepenuhnya berada di tangannya

Bentuk lain dari jual beli barang yang tidak dimiliki adalah menjual barang yang belum sepenuhnya berada di tangan kita, walaupun barang itu telah kita beli dan lunas, tetapi barang tersebut masih dalam proses pengiriman atau masih dalam perjalanan.

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

     مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

“Barangsiapa yang membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia mendapatkannya secara sempurna ( sampai di tangannya)”  (HR. Bukhari dan Muslim ).

Di dalam riwayat lain disebutkan:

    وعَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (نَهَى أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ طَعَامًا حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ). قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ ؟ قَالَ : ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ.

“ Dari Thowus, dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual makanan sampai dia mendapatkannya secara sempurna.( sampai di tangannya). Saya bertanya pada Ibnu Abbas:“ Bagaimana hal itu (bisa dilarang) ? Dia berkata : “ Yang demikian itu seakan-akan dia membeli uang dirham dengan uang dirham lainnya, sedangkan makanannya terundur kedatangannya(tidak ada)”(HR Bukhari dan Muslim)

Berkata Ibnu Hajar al-Astqalani di dalam Fathu al-Bari ( 4/ 349 ) menerangkan masalah di atas :  

“ Maksud dari hadist di atas bahwa Thowus bertanya tentang sebab larangan ini, maka Ibnu Abbas menjawabnya bahwa jika pembeli itu menjual makanan  tersebut sebelum memegangnya, sedangkan makanan yang dijual tersebut masih masih di tangan penjual (pertama), maka seakan-akan dia menjual sejumlah uang dirham dengan mendapatkan sejumlah uang  dirham lain.  

Hal itu diterangkan oleh riwayat Sufyan dari Ibnu Thowus di dalam Shohih Muslim, Thowus berkata, ‘Aku berkata pada Ibnu Abbas : “ Kenapa dilarang ?” Beliau menjawab, “ Tidakkah kamu melihat mereka telah melakukan jual beli dinar dengan dinar ( uang dengan uang ), padahal makanan terlambat  kedatangannya ( tidak ada ), maksudnya  jika seseorang membeli makanan dengan 100 dinar umpamanya, dan uang tersebut telah diserahkan kepada penjual, sedangkan dia belum menerima makanan tersebut, kemudian dia (sang pembeli) menjual kembali makanan tersebut kepada orang lain dengan harga 120 dinar, dan dia sudah menerima uangnya sebesar itu, sedangkan makanan  tersebut masih di tangan penjual (pertama), maka hal  itu  seakan-akan dia menjual 100 dinar dengan 120 dinar.

Berdasarkan penafsiran diatas, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada jual-beli makanan saja. Oleh karena itu, Ibnu Abbas mengatakan,  “ Saya tidak mengira segala sesuatu ( yang dijual-belikan ) kecuali hukumnya seperti itu “.

Hal ini dipertegas oleh hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata  :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رحالهم

 “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang menjual barang yang dibeli hingga para pedagang menempatkan barang tersebut di kendaraan-kendaraan mereka.” (HR. Abu Daud dan dishohihkan  Ibnu Hibban ) “

Ini dikuatkanjuga dengan hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu , bahwasanya beliau berkata :

         وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ

“Kami dahulu membeli makanan dari orang yang berkendaraan secara borongan (tanpa ditimbang), kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya” (HR. Muslim ) .

Dalam riwayat lain, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu  juga mengatakan :

         كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.

“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan, lalu beliau mengutus seseorang yang memerintahkan kami agar memindahkan makanan yang sudah kami beli di tempat tersebut ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim).

Ketiga: larangan menjual air yang berlebih

Jika seseorang mempunyai air yang berlebih, sedang tetangganya sangat membutuhkannya, maka dia tidak boleh menjual air tersebut kepadanya. Hal ini berdasarkan hadist Jabir bin Abdullah bahwanya ia berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ فَضْلِ المَاء.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual air yang berlebihan. “ (HR Muslim)

Air adalah ciptaan Allah untuk keperluan manusia dan hewan, maka tidak boleh seseorang memonopolinya sendiri dan menjualnya kepada orang lain. Ini berlaku jika air itu berada di tanah umum.

Adapun jika seseorang mengambil air dari tempat umum dengan ember dan dibawa ke rumahnya, maka air tersebut telah menjadi miliknya, dibolehkan baginya menjualnya kepada orang lain.

Oleh karena itu dibolehkan menjual air dalam kemasan, karena dia telah mengambilnya dari sumber air, kemudian mengolahkannya dan mengemasnya dalam suatu wadah. Ini semuanya memerlukan biaya, maka dibolehkan baginya untuk menjualnya. 

Berkata Imam Muslim di dalam Syarh Shahih Muslim:

أمَّا إِذَا أَخْذَ الْمَاءَ فِي إِنَاءٍ مِنَ الْمَاءِ الْمُبَاحِ فَإِنَّهُ يَمْلِكُهُ ، هَذَا هُوَ الصَّوَابُ

“ Adapun jika ia mengambil air dengan panci dari tempat umum, maka itu menjadi miliknya. Inilah pendapat yang benar “.

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA  

Jati Warna, 4 Rabi’ul Tsani 1435 H/4 Pebruari 2014 M

KARYA TULIS