Karya Tulis
24911 Hits

Hukum Jual Beli al-‘Inah dan at-Tawaruq


Pengertian al-‘Inah           

Al-‘Inah berasal kata al-‘Ain yang berarti uang cash, karena pembeli barang untuk sementara mengambil sejumlah uang cash sebagai pengganti barang tersebut. (Abdullah al-Bassam, Taudhih al-Ahkam: 3/215)   

Al-‘Inah juga berarti pinjaman atau kredit, karena orang tersebut membeli barang dari penjual secara kredit.  

Jual Beli al-‘Inah adalah seseorang menjual barang kepada orang lain secara kredit, kemudian dia membelinya kembali dari pembelinya yang pertama secara kontan dengan harga yang lebih murah.

Sebagai contoh: Budi menjual barang kepada Bambang dengan harga  Rp. 1.000.000,- secara kredit selama tiga bulan. Kemudian Budi membeli barang tersebut dari Bambang dengan harga Rp. 750.000,- secara kontan.

Di sini seakan-akan Budi meminjam uang kepada Bambang Rp. 750.000,- dan mengembalikannya kembali setelah tiga bulan sebesar Rp. 1.000.000,- sedangkan barang hanya sebagai kedok saja.

Hukum Jual Beli al-‘Inah

Para ulama berbeda pendapat di dalam memandang jual beli al-‘Inah tersebut:

Pendapat Pertama: Jual Beli al-‘Inah hukumnya haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Hanabilah, berdasarkan hadist Abdullah bin Umar  radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya  Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian melakukan jual beli  Al-‘Inah, sibuk dengan peternakan dan terlena dengan perkebunan,  serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR  Abu Daud, berkata Ibnu Hajar di dalam Bulughu al-Maram: “ Diriwayatkan juga oleh Ahmad dari jalur ‘Atha’, dan para perawinya terpercaya serta  dishahihkan oleh Ibnu al-Qhaththan )

Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni (4/195): “(Dalam hadits) ini terdapat ancaman yang menunjukkan keharaman.“

Pendapat Kedua: Jual Beli al-‘Inah boleh. Ini pendapat madzhab asy-Syafi’I berdasarkan hadist Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيْبٍ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ قَالَ : لَا, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخَذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيْبًا

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seorang di Khaibar. Maka datanglah dia kepada beliau membawa kurma Janib (kurma yang bagus), maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini? ia menjawab : “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, kami mengganti satu sho’ dari (korma Janib) ini dengan dua sho’ (dari korma jenis lain) dan dengan tiga sho’. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Jangan kamu lakukan seperti itu, tetapi jual-lah al-jam’a (kurma campuran) dengan dirham, lalu dengan dirham itu belilah kurma Janib.”(HR Bukhari dan Muslim)

Hadist di atas membolehkan seorang menjual kurma jelek kepada seorang seseorang, kemudian dengan uang itu dia membeli kurma yang bagus dari penjual, tanpa  dirinci apakah membelinya dari orang yang sama atau dari orang lain,  maka kebolehan ini bersifat umum.

Jawabannya bahwa  keumuman ini dikhususkan dengan hadist larangan jula beli al-‘Inah di atas. ( lihat juga komentar Ibnu Hajar atas hadist di atas dalam Fathu al-Bari : 4/400) .

Kesimpulannya: Jual beli al-‘Inah hukumnya haram menurut mayoritas ulama.  

Pengertian at-Tawarruq

At-Tawarruq secara bahasa berasal dari waraq yang berarti uang perak, karena si pembeli barang tujuannya hanya ingin mendapatkan uang, bukan barang tersebut.     

Adapun secara istilah jual beli at-Tawarruq adalah seseorang  membeli barang dari seorang penjual dengan cara kredit, kemudian ia menjual barang tersebut kepada pihak ketiga dengan cara kontan dengan harga lebih murah.

Sebagai contoh, Umar membeli motor dari Khalid dengan harga Rp. 17.000.000,- secara kredit selama satu tahun, kemudian Umar menjual motor tersebut kepada Ahmad dengan harga Rp. 15.000.000,- secara kontan.

Di dalam transaksi tersebut Umar mendapatkan uang cash sebesar Rp. 15.000.000,- tetapi dia mempunyai utang kepada Khalid sebesar Rp. 17.000.000,- . Seakan-akan Umar pinjam kepada Khalid Rp. 15.000.000,- dan harus mengembalikannya kemudian dengan jumlah Rp. 17.000.000,-.

Hukum Jual Beli at-Tawarruq

Para ulama berbeda pendapat di dalamnya:

Pendapat Pertama: Jual Beli at-Tawarruq hukumnya haram. Ini pendapat Umar bin Abdul Aziz, Imam Ahmad dalam riwayat, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qoyyim. (Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh as-Sunnah: 4 /410). 

Pendapat Kedua: Jual Beli at-Tawarruq hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala :

 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

 “Dan Allah telah menghalalkan jual beli”. (Qs. al-Baqarah : 275)

Adil al-‘Azzazi di dalam Tamam al-Minnah ( 3/ 358 ) menyebutkan bahwa Syekh bin Baz membolehkan jual beli at-Tawarruq selama tidak ada kesepakatan dengan pihak ketiga (atau pembeli yang terakhir ), dengan demikian hal ini berbeda dengan jual beli al-‘Innah.       

Al-Majma’ al-Fiqh al-Islami di Rabithah al’Alam al-Islami pada sidangnya ke -15 yang diadakan di Mekkah al-Mukarramah pada tanggal 11 Rajab 1419 H / 31 Oktober 1998 memutuskan bolehnya jual beli at-Tawarruq. 

Kesimpulannya bahwa jual beli at-Tawarruq dibolehkan selama  tidak ada kesepakatan dengan pihak ketiga (atau pembeli yang terakhir). Wallahu A’lam

Pondok Gede, 18 Jumadal Ula 1435 / 20 Maret 2014 M

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

 

KARYA TULIS