Karya Tulis
10599 Hits

Adab dan Tata Cara Penyembelihan Qurban


Bab 9

Adab dan Tata Cara Penyembelihan

          Ada beberapa adab dan tata cara yang harus diperhatikan setiap yang ingin berqurban dan menyembelih hewan qurban supaya ibadah qurbannya sesuai dengan tuntunan Islam. Diantara adab-adab dan tata cara tersebut adalah sebagai berikut :

           Pertama :  Berniat qurban ketika membeli hewan ternak.

          Ketika membeli hewan hendaknya diniatkankan bahwa dia membelinya untuk berqurban. Hal itu karena berqurban adalah bagian dari ibadah dan ibadah tidak sah kecuali dengan niat.

          Kedua : Mengikat hewan sebelum disembelih.

          Sebagian ulama menganjurkan agar hewan qurban diikat dulu di suatu tempat beberapa hari sebelum disembelih, karena itu menunjukkan persiapan dan kesungguhan bahwa dia benar-benar ingin menyembelih hewan qurban untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Hal ini termasuk dalam katagori mengagungkan syiar Islam, sebagaimana firman Allah :

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

          “ Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”  ( Qs. al-Hajj : 32 )

          Ketiga : Menggiring hewan qurban ke tempat penyembelihan dengan baik.

          Disunnahkan sebelum menyembelih untuk menggiring hewan qurban ke tempat penyembelihan dengan baik dan pelan, dan tidak boleh dengan cara kasar dan menyakiti hewan.

فقد روى عبد الرزاق بسنده عن محمد بن سيرين قال رأى عمر بن الخطاب – رضي الله عنه - رجلاً يسحب شاة برجلها ليذبحها فقال له : ويلك ! قدها إلى الموت قوداً جميلاً

          “ Diriwayatkan oleh Abdurozaq dari Ibnu Sirin yang berkata Umar radhiyallahu ‘anhu melihat seseorang menyeret kambing dengan menarik kakinya dengan tujuan untuk disembelih, maka Umar berkata kepadanya : “ Celaka kamu,  giring hewan ini menuju kematian dengan cara yang baik. ( AR. Abdurozaq di dalam al-Mushannaf 4/ 493, al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra (9/281 )) 

          Kempat: Hendaknya menyembelih dengan tangannya sendiri

          Disunnahkan yang ingin berqurban hendaknya menyembelihnya dengan tangannya sendiri jika dia mampu. Sebagaimana di dalam hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :

 ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua domba yang berwarna putih yang ada hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas kening kambing. “ ( HR. al-Bukhari (5558) dan Muslim (1966 ))

          Diriwayatkan juga dari hadits Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih 63 unta dengan tangannya sendiri, kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abu Thalib untuk disembelihnya.

          Disebutkan oleh Imam al-Bukhari di dalam Shahih-nya  bahwa Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu memerintahkan anak-anak perempuannya untuk menyembelih hewan qurban dengan tangan mereka sendiri. ( Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari( 12/114-115 ) mengatakan bahwa al-Hakim di dalam al- Mustadrak meriwayatkan yang serupa dengan sanad yang bersambung ) 

          Kelima : Jika dia tidak mampu menyembelih sendiri, maka dianjurkan untuk datang ikut menyaksikan ritual penyembelihan hewan qurban tersebut.

          Ini berdasarkan hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fatimah :

قومي إلى أضحيتك فاشهديها فانه بأول قطرة من دمها يغفر لك ما سلف من ذنبك

          “ Wahai Aisyah berdirilah dan saksikan hewan qurbanmu, sesungguhnya dengan darah pertama yang jatuh dari hewan qurban tadi, maka akan diampuni dosamu yang telah berlalu “ ( HR. al-Hakim di dalam al-Mustadrak ( 4/247 , no 7525 ), beliau berkata : hadist ini sanadnya shahih. Dan diriwayatkan juga oleh Abi Hatim di dalam al-‘Ilal  ( 2/38, no 1596 ), beliau berkata : saya mendengar bapak-ku mengatakan bahwa hadist ini adalah hadits mungkar. ) Dan diriwayatkan oleh al-Haitsami di dalam al-Majma’ ( 4/17 ), beliau berkata : “ Hadist ini diriwayatkan oleh al-Bazzar ( 1202 ), di dalamnya terdapat ‘Athiyah bin Qais banyak diperbincangkan dan sudah ditsiqahkan. )

           Sebagaimana dalam keterangan di atas bahwa hadist ini diperselisihkan oleh ulama hadist tentang keshahihannya, tetapi walaupun demikian, sebagian ulama menyebutkan hadist ini di dalam buku mereka sebagai penguat tentang dianjurkannya orang yang berqurban untuk menyaksikan qurbannya saat disembelih, diantaranya Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 11/ 117 ), Syekh Sayid Sabiq di dalam Fiqh as- Sunnah ( 3/324), dan Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam di dalam Taudhih al-Ahkam min Bulughu al-Maram ( 4/ 367 ) .

          Keenam : Dianjurkan ketika menyembelih untuk menggunakan pisau tajam, karena itu bisa mempercepat kematian hewan qurban.

          Ini termasuk berbuat baik kepada hewan qurban, sebagaimana di dalam hadist Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

          إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

          “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan baik, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan baik.  Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).

          Ini dikuatkan dengan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa :

      أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ, يَطَأُ فِي سَوَادٍ, وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ, وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ لِيُضَحِّيَ بِهِ, فَقَالَ: اِشْحَذِي اَلْمُدْيَةَ , ثُمَّ أَخَذَهَا, فَأَضْجَعَهُ, ثُمَّ ذَبَحَهُ, وَقَالَ: بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ

          " Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh dibawakan dua ekor kambing kibas bertanduk yang ( berwarna putih ) tapi kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Maka dibawakanlah hewan itu kepada beliau. Beliau bersabda kepada Aisyah: "Wahai Aisyah, ambillah pisau, dan asahlah dengan batu.". Setelah itu beliau mengambil pisau dan membaringkan kambing, dan menyembelihnya seraya berdo’a: "Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (qurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan umatnya."  ( HR. Muslim ( 1967 ))

          Ketujuh : Hendaknya tidak mengasah pisau dihadapan hewan qurban, karena hal itu akan menyebabkan hewan tersebut ketakutan dan stress sebelum disembelih, hal ini sesuai dengan hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau berkata :

          أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ

          “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, dan untuk tidak memperlihatkan pisau tersebut kepada hewan.” (HR. Ahmad ( 5830), Ibnu Majah (3172 ) .

          Kedelapan :   Hewan qurban yang hendak disembelih hendaknya dihadapkan ke kiblat, yaitu tempat yang disembelih( lehernya).

          Berkata Imam an-Nawawi  di dalam al-Majmu’ ( 8/408 ) :

استقبال الذابح القبلة وتوجيه الذبيحة إليها وهذا مستحب في كل ذبيحة لكنه في الهدى والاضحية اشد استحبابا لان الاستقبال في العبادات مستحب وفي بعضها واجب وفي كيفية توجيهها ثلاثة أوجه حكاها الرافعي (أصحها) يوجه مذبحها إلى القبلة ولا يوجه وجهها ليمكنه هو ايضا الاستقبال

          “ ( Disunnahkan ) orang yang menyembelih untuk menghadap qiblat, dan hendaknya dia juga mengarahkan hewan qurban agar menghadap qiblat. Hal ini disunnahkan untuk semua sembelihan, tetapi khusus untuk hewan hadyu dan qurban lebih ditekankan lagi, karena menghadap qiblat dalam ibadah adalah dianjurkan, bahkan sebagiannya diwajibkan. Adapun cara menghadapkan hewan qurban ke arah qiblat ada tiga pendapat, yang paling benar adalah menghadapkan tempat disembelihnya  hewan tersebut (yaitu lehernya ) ke arah kiblat dan tidak menghadapkan wajah hewan tersebut, supaya penyembelihnya juga bisa menghadap kiblat. “ 

           Sehingga posisi yang tepat yaitu meletakkan kepala atau bagian atas hewan di arah Selatan dan bagian belakang hewan di arah Utara, sedangkan kaki, perut, leher dan kepala menghadap ke arah kiblat ( Barat Laut). Ini khusus untuk wilayah Indonesia dan sekitarnya.

          Kesembilan :  Membaringkan hewan di atas lambung sebelah kiri.

          Dianjurkan ketika menyembelih hewan qurban untuk membaringkannya di atas lambung kiri hewan tersebut. Hal itu akan memudahkan di dalam proses penyembelihan.  Berkata Syekh Zakariya al-Anshari di dalam Asna al-Mathalib fi Syarhi Raudhi ath-Thalib (  1/541 ) :

على جَنْبِهَا الْأَيْسَرِلِأَنَّهُ أَسْهَلُ على الذَّابِحِ في أَخْذِ السِّكِّينِ بِالْيَمِينِ وَإِمْسَاكِ رَأْسِهَا بِالْيَسَارِ

          “ Hendaknya hewan qurban dibaringkan di atas lambung kiri, karena hal itu lebih mudah bagi penyembelih untuk memegang pisau dengan tangan kanan, dan memegang  kepala hewan dengan tangan kiri “

          Kesepuluh : Sebagian ulama menganjurkan agar membiarkan kaki kanan bergerak, sehingga hewan lebih leluasa dan nyaman. Berkata Imam an-Nawawi di dalam Raudhatu ath-Thalibin ( 3/207 )

وتترك رجلها اليمنى وتشد قوائمها الثلاث

          “ Hendaknya kaki kanannya dibiarkan, sedangkan tiga kaki yang lainnya diikat ( dipegang ) “

          Kesebelas : Menginjakkan kaki di bagian samping hewan.

          Dianjurkan untuk menginjakkan kaki di bagian  samping hewan, sebagaimana disebutkan dalam hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :

    ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua domba yang berwarna putih yang ada hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di bagian samping kambing. “ ( HR. al-Bukhari (5558) dan Muslim (1966 ))

          Keduabelas : Menyebut Nama Allah dan Membaca Takbir

          Menyebut nama Allah dengan mengucapkan : “ Bismillah “ ketika menyembelih hukumnya wajib menurut mayoritas ulama. Ini berdasarkan firman Allah :

          وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ..

          “ Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”  (QS. Al-An’am: 121).

Ini dikuatkan dengan hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :

    ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua domba yang berwarna putih yang ada hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas leher kambing. “ ( HR. al-Bukhari (5558) dan Muslim (1966 ))

Ini dikuatkan juga dengan hadist Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum menyembelih hewan qurban beliau berdo’a :

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“ Dengan nama Allah, Ya Allah terimalah qurban ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad, dan  dari umat Muhammad” ( HR. Muslim (1967))

          Berkata Abdullah al-Bassam di dalam Taudhih al-Ahkam (  4/ 367 ) : “ Yang disyariatkan ketika menyembelih adalah mencukupkan membaca “ Bismillah“, karena menyebutkan sifat ar-Rahman ( Maha Pengasih dan Penyayang ) tidak tepat untuk saat penyembelihan yang membutuhkan kekuatan dan penumpahan darah. “

          Dianjurkan untuk membaca takbir (Allahu akbar) setelah membaca basmalah ini berdasarkan firman Allah :

          كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

          “Demikianlah Kami menundukkannya (binatang qurban) tersebut untuk kalian, agar kalian bertakbir ( mengagungkan nama Allah ) atas hidayah yang diberikan kepada kalian,dan berikan kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. “ ( Qs. al-Hajj : 37 )

          Ini dikuatkan oleh hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :

           ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua domba yang berwarna putih yang ada hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas leher kambing. “ ( HR. al-Bukhari (5558) dan Muslim (1966 ))

          Ketigabelas :  Setelah itu dianjurkan juga untuk membaca : “ Allahumma hadza minka wa laka. ( Ya Allah qurban ini Ini dari-Mu dan untuk-Mu), maksudnya : bahwa hewan ini adalah rizqi yang Engkau berikan kepadaku, maka sekarang saya qurbankan untuk mendekatkan diri kepada-Mu, ini saya lakukan hanya mencari ridha-Mu, bukan karena riya’ dan pamer.  Ini sesuai dengan hadist Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiyallahu ‘anhu :

          أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ يَوْمَ الْعِيدِ كَبْشَيْنِ ثُمَّ قَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ

           “ Bahwa Rasulullah  menyembelih dua domba pada hari  ‘Ied Adha, kemudian berdoa setelah menghadapkannya ke kiblat (  Saya hadapkan wajahku kepada Yang Menciptakan langit-langit dan bumi secara lurus dan pasrah, dan saya bukan termasuk orang-orang yang mensekutukan Allah. sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah. Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu dari Muhammad dan umat-nya “ ( HR. Ahmad (15022) dan Ibnu Huzaimah (2899) Berkata Syekh Mushthofa al-A’dhami : sanadnya shahih )

          Keempatbelas : Pada saat menyembelih dianjurkan menyebut nama orang yang berqurban atau yang diwakilinya, seperti perkataan : “ hadza min Muhammadin wa min Ali Muhammad ( Qurban ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad ).

          Ini sesuai dengan hadist Aisyah  radhiyallahu ‘anha  yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan kambing  untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Sebelum menyembelih beliau berdo’a :

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ »

“ Dengan nama Allah, Ya Allah terimalah qurban ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad, dan  dari umat Muhammad” ( HR. Muslim (1967))

          Kelimabelas : Dianjurkan untuk menyembelih dengan cepat dan kuat, agar hewan qurban segera mati dan hal itu akan meringankan sakit hewan kurban.

          Keenambelas : Ketika menyembelih hendaknya dipastikan empat hal yang harus putus :

          Pertama : al-Hulqum (tenggorokan / leher bagian atas) adalah tempat saluran pernafasan. 

          Kedua : al-Mari’ (kerongkongan/leher bagian bawah ) adalah tempat lalu lintas makanan dan minuman.

          Ketiga dan Keempat : al-wadjani (dua urat leher ) adalah dua urat tebal tempat mengalirnya darah, terletak di leher mengiringi al-Hulqum dan al-Mari’.

 Keempat urat ini disebut dengan empat urat al-Audaj. 

Para ulama sepakat jika empat urat dari binatang yang disembelih tersebut sudah terputus, maka hukumnya halal dimakan. Tetapi mereka berbeda pendapat jika salah satu dari empat urat tersebut tidak terputus. Adapun rinciannya sebagai berikut :

Pendapat Pertama : mengatakan kalau salah satu dari empat urat tersebut  tidak putus, maka tidak sah untuk dimakan. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari keduanya .

Mereka berdalil dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa  beliau berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ شَرِيطَةِ الشَّيْطَانِ، وَهِىَ الَّتِى تُذْبَحُ فَيُقْطَعُ الْجِلْدُ وَلاَ تُفْرَى الأَوْدَاجُ ثُمَّ تُتْرَكُ حَتَّى تَمُوتَ.

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk memakan hasil sayatan syetan, yaitu binatang yang disembelih dengan cara memotong kulit, tetapi tidak memotong urat-urat di tenggorakan, kemudian dibiarkan sampai mati. “ ( HR Abu Daud, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, al-Hakim, di dalam sanadnya ada Amru bin Abdullah bin al-Aswar al-Yamani, berkata al-Mundziri : “ Para ulama banyak yang mempemasalahkannya.” Berkata Syuaib al-Arnauth : Isnadnya lemah. Imam al-Hakim menshahihkan isnadnya dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi)   

Syarithatu asy-Syaithan adalah sayatan syetan. Maksudnya bahwa unta dan sejenisnya sering disayat di tenggorakannya dengan pisau, sehingga meninggalkan bekas sedikit, sebagaimana dalam sayatan bekam. Tetapi hal itu belum sampai memotong dua urat saluran darah, bahkan tidak ada darah yang mengalir sama sekali.

Ini adalah kebiasaan orang-orang jahiliyah pada zaman dahulu, mereka mengerjakan hal itu karena mengikuti bisikan syetan, makanya perbuatan ini disebut dengan sayatan syetan, karena berasal dari bisikan syetan. 

Pendapat Kedua : mengatakan cukup yang putus sebagian dari empat urat tersebut. Ini adalah pendapat mayoritas ulama diantaranya Imam Abu Hanifah,  Imam asy-Syafi’I, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam riwayat lain. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ

“ Apa-apa ( dari sembelihan ) jika darahnya mengalir dan disebut nama Allah, maka makanlah oleh kalian. “ ( HR Bukhari dan Muslim ) 

Ulama yang mengatakan cukup putus sebagian dari empat urat di atas, berbeda pendapat juga diantara mereka tentang mana dari urat – urat tersebut yang harus terputus dan mana yang boleh tidak terputus ?

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang harus terputus adalah salah satu dari tiga urat tanpa ditentukan, seperti dua al-wadjan dan salah satu dari al-hulqum atau al-mari’, bisa juga satu al-wadjan, al-hulqum dan al-mari’.

Pendapat inilah yang lebih kuat, karena dengan terputus salah satu dari tiga di atas, maka darah akan cepat mengalir dan nyawa akan cepat melayang.

Abu Yusuf, salah satu sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa  yang terputus harus tiga ; al-hulqum, al-mari’ dan salah satu al-wadju.

Imam Malik  dalam riwayat yang masyhur berpendapat bahwa yang terputus harus tiga ; dua al-wadjan dan al-hulqum.  

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang terputus cukup dua ; al-hulqum dan al-mari’

Ketujuhbelas : Tidak boleh menyembelih sampai putus lehernya dengan sengaja tanpa ada keperluan.

Mayoritas ulama, termasuk di dalamnya Ibnu al-Qasim dari Malikiyah, berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya makruh, tetapi dagingnya tetap halal, walaupun pelakunya melakukannya dengan sengaja.

Makruh, karena perbuatan tersebut termasuk menyiksa binatang dan perbuatan yang  berlebih-lebihan dan melampaui batas. Halal dagingnya, karena sembelihan tersebut telah memenuhi syarat-syarat penyembelihan. 

Di dalam Tabyin al-Haqaiq (5/292) disebutkan :  

قَالَ الْكَرْخِيُّ فِي مُخْتَصَرِهِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إنْ ضَرَبَ عُنُقَ جَزُورٍ بِسَيْفٍ فَأَبَانَهَا وَسَمَّى فَإِنْ كَانَ ضَرْبًا مِنْ قِبَلِ الْحُلْقُومِ فَإِنَّهُ يُؤْكَلُ وَقَدْ أَسَاءَ

“ Berkata al-Karkhi di dalam Mukhtasornya : “ Dan berkata Abu Hanifah : “ Jika seseorang menyabet leher unta dengan pedang  sampai putus, tetapi dia sudah membaca basmalah, maka jika dia menyabetnya dari arah tenggorakan, maka dagingnya boleh dimakan, tetapi pelakunya telah berbuat dosa.

Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 11/ 44 ) :

وَلَوْ ضَرَبَ عُنُقَهَا بِالسَيْفِ فَأَطَارَ رَأْسَهَا حَلّتْ بِذلِكَ نَصّ عَليْه أَحْمَدُ

“ Seandainya seseorang menyabet leher binatang dengan pedang sampai terbang kepalanya, maka halal dagingnya. Hukum ini telah dinyatakan oleh Imam Ahmad. “

 Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

Pertama : Riwayat Bukhari yang menyebutkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :

إِذَا قُطِعَ الرَأْسُ فَلَا بِأْسَ

“ Jika kepalanya terputus, maka tidaklah mengapa. ( untuk dimakan ) “    

Kedua : Di dalam Mushannaf Abdurrozaq disebutkan :

عن جعفر عن عوف قال ضرب رجل عنق بعير بالسيف فأبانه فسأل عنه علي بن أبي طالب فقال ذَكَاة وَحِيّة

 

“ Dari Ja’far dari Auf, dia berkata : “ Seorang laki-laki menyabet leher unta dengan pedang, sampai terputus, kemudian hal itu ditanyakan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau menjawab : “ Itu adalah penyembelihan ( yang sah ) dan hiyyah ( mempercepat kematiannya) "

 Ketiga : Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari ( 9/642 ) :

أنَّ جَزَّارَا لِأَنَس ذَبَحَ دَجَاجَةً فاضطَرَبَتْ فذبحهَا مِنْ قَفَاهَا فأطَارَ رَأسها فأرادُوا طرحَها فأمَرهُمْ أنس بأكلها    

“ Bahwa para jagal yang dimiliki Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu suatu ketika dia menyembelih seekor ayam, tetapi ayam tersebut meronta-ronta, maka dia menyembelih dari tengkuknya sampai terbang kepalanya. Mereka ingin membuang ayam tersebut, tetapi justru Anas bin Malik menyuruh untuk memakannya.” ( lihat juga Ibnu Hazm dalam al Muhalla :6/129)

Kesimpulan :

          Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa menyembelih binatang sampai terputus kepalanya adalah perbuatan yang melampaui batas yang dilarang oleh Islam, karena masuk dalam katagori menyiksa binatang.

          Kalau hal itu dilakukan dengan sengaja, maka sebagian ulama mengharamkan dagingnya. Tetapi menurut pendapat mayoritas ulama bahwa dagingnya halal untuk dimakan, walaupun hal itu dilakukan dengan sengaja, karena masuk dalam katagori penyembelihan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Perbuatan maksiat pelakunya tidak serta merta menyebabkan daging binatang itu menjadi haram.

          Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 11/ 44 ) :

والصحيح أنها مباحة لأنه اجتمع قطع ما تبقى الحياة معه مع الذبح فأبيح كما ذكرنا مع قول من ذكرنا قوله من الصحابة من غير مخالف

 “ Pendapat yang benar, bahwa hal itu adalah mubah ( dibolehkan ), karena ( memukul kepala binatang dari tengkuk sampai terlepas kepalanya ) terkumpul di dalamnya memotong sesuatu dari binatang yang masih hidup dan  penyembelihan, maka dibolehkan, sebagaimana telah kita sebutkan juga perkataan beberapa sahabat tanpa ada yang menentangnya. “

          Berkata Ibnu al-Mundzir :

ولا حجة لمن منع أكلها ؛ لأن القياس أنها حلال بعد الذكاة

" Tidak ada hujjah bagi yang melarang untuk memakannya (binatang yang disembelih sampai putus kepalanya), karena analoginya bahwa hal itu halal setelah selesai menyembelihnya. " ( Ibnu al Bathal di dalam Syarh Shahih al-Bukhari : 5/ 426 ) 

          Wallahu A’lam,

KARYA TULIS