Karya Tulis
22729 Hits

Keutamaan Ilmu dan Penuntutnya (bag. 2)

Kesepuluh: Ilmu Adalah Amalan Yang Tidak Terputus Pahalanya Walaupun Pemiliknya Meninggal Dunia.

Ini sesuai hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

   إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia meninggal maka semua amalannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim)

Ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang memulai untuk memberi contoh kebaikan (dalam Islam) maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu sampai hari Kiamat” (HR. Muslim)

Bahkan al-Mutanabi, seorang penyair yang sangat terkenal, menyebutkan bahwa jasa-jasa orang yang sudah meninggal adalah umur keduanya, yang kemudian diungkapkan kembali oleh Ahmad Syuqi dalam salah satu syairnya:

دَقَاتُ قَلْبِ الْمَرْءِ قَائِلَةً لَهُ إِنَّ الْحَيَاةَ دَقَائِقُ وَثَوَانِ

فَارْفَعْ لِنَفْسِكَ بَعْدَ مَوْتِكَ ذِكْرَهَا فَالذِّكْرُ لِلْإِنْسَانِ عُمْرُ ثَانٍ

“Ketukan-ketukan hati seseorang mengatakan kepadanya :“ Sesungguhnya hidup ini hanyalah terdiri dari menit-menit dan detik-detik.”

“Maka, angkatlah nama dirimu (dengan amal perbuatan) setelah kematianmu, karena terangkatnya nama merupakan umur kedua bagi manusia.”  

 Kesebelas : Menuntut Ilmu Merupakan Jalan Menuju Surga.

Tersebut di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

         وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ َيتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

         “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke syurga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al Qur'an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.” ( HR. Muslim : 4867)

         Pelajaran dari Hadits :

        (1) Menuntut ilmu adalah salah satu jalan yang menyebabkan seseorang masuk syurga, karena dengan ilmu dia mengetahui halal dan haram, sehingga menjauhi sesuatu yang haram. Dan dengan ilmu, dia mengetahui amalan-amalan yang mengantarkannya menuju syurga sehingga dia mengikutinya.

 

        Bahkan amal-amal sholeh lain yang disebutkan sebelumnya di dalam hadist, seperti menolong orang lain, memudahkan kesusahannya dan lain-lainnya tidak akan bisa dilakukan kalau seseorang tidak mempunyai ilmu. Atau kita katakan bahwa amal-amal sholeh yang disebutkan sebelumnya memang bermanfaat bagi orang lain, tetapi menuntut ilmu manfaatnya lebih banyak dan lebih luas dibanding amal-amal sholeh lainnya.

         (2 ) Menuntut ilmu yang menyebabkan masuk surga adalah jika hal itu diniatkan ikhlas karena Allah, bukan karena mencari ijazah, atau mencari jabatan, atau agar dikatakan seorang alim, atau agar mendapatkan pengikut yang banyak.

Berkata an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim ( 17/22 )  :

         فضل المشى فى طلب العلم ويلزم من ذلك الاشتغال بالعلم الشرعى بشرط أن يقصد به وجه الله تعالى وان كان هذا شرطا فى كل عبادة لكن عادة العلماء يقيدون هذه المسألة به لكونه قد يتساهل فيه بعض الناس ويغفل عنه بعض المبتدئين و ونحوهم

         “ Di dalam hadist tersebut terdapat keutamaan menuntut ilmu dan secara otomatis menunjukkan keutamaan menyibukkan diri dengan ilmu syar’i, tetapi syaratnya harus diniatkan karena Allah. Syarat ini walaupun berlaku dalam seluruh ibadah, tetapi sebagai kebiasaan para ulama menekankan secara khusus keikhlasan di dalam menuntut ilmu, karena sebagian masyarakat menganggap remeh hal ini dan para penuntut ilmu yang pemula seringkali lengah dalam masalah ini. “

         (3) Salah satu cara menuntut ilmu adalah berkumpul dalam majlis untuk membaca dan mempelajari serta mentadabburi al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa belajar secara bersama baik dalam bentuk halaqah-halaqah ilmu, maupun dalam bentuk majlis-majlis ilmu sangatlah membantu di dalam  menuntut ilmu. Karena seseorang jika di suatu majlis maka dia tertuntut untuk bersungguh-sungguh dan memperhatikan apa yang disampaikan oleh seorang alim atau guru, dia bisa menahan dirinya untuk tidak berbuat sesuka hatinya karena gerak-geriknya akan menjadi perhatian orang banyak.

        Berbeda jika dia belajar sendiri, maka tidak ada orang lain yang mengawasinya, maka dia akan berbuat seenaknya sendiri dan cenderung akan mengikuti segala keinginannya, sehingga susah untuk fokus dan konsentrasi pada ilmu. Dalam keadaan seperti ini, biasanya syetan mulai menggoda dan berusaha menjauhkannya dari menuntut ilmu. Selain itu, belajar sendiri tanpa guru cenderung banyak salahnya, karena banyak istilah-istilah dalam bidang - bidang tertentu yang tidak bisa dipahami dengan baik kecuali melalui keterangan guru yang sudah menguasainya. 

         ( 4 ) Majlis ilmu tidak terbatas di masjid saja, tetapi bisa di tempat lain, seperti di ruang sekolah, aula pertemuan dan tempat-tempat lainnya. Adapun maksud baitullah di dalam hadist di atas, bukan terbatas pada masjid.

        Berkata an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim ( 17/22 )  :

        ويلحق بالمسجد فى تحصيل هذه الفضيلة الاجتماع فى مدرسة ورباط ونحوهما ان شاء الله تعالى ويدل عليه الحديث الذى بعده فإنه مطلق يتناول جميع المواضع ويكون التقييد فى الحديث الأول خرج على الغالب لا سيما فى ذلك الزمان فلا يكون له مفهوم يعمل به

        “ Selain di masjid, untuk mendapatkan keutamaan berkumpul untuk mencari ilmu, juga bisa di dapat di tempat lain seperti sekolah, pesantren dan sejenisnya insya Allah. Yang menunjukkan hal itu adalah hadits sesudahnya yang menerangkan tentang cakupan semua tempat. Oleh karena sebutan tempat tertentu (masjid) pada hadits pertama hanya menunjukkan kebiasaan, khususnya pada zaman itu, sehingga tidak ada mafhum yang diamalkan. “   

        ( 5 ) Di dalam hadist di atas terdapat empat keutamaan yang akan di dapat orang-orang yang sering hadir dalam majlis-majlis ilmu, yaitu sebagai berikut :

        Keutamaan Ke- 1 : نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ ( Mendapatkan Ketenangan Hati )

        As-Sakinah di dalam hadist di atas artinya ath-Thuma’ninah wa al-Waqar ( Ketenangan dan Keteguhan). Mereka akan merasakan ketenangan yang terus menerus, karena mereka berada di atas petunjuk Allah.  Allah berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

        “ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.  Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” ( Qs. ar-Ro’du : 28 )

        Keutamaan Ke- 2 : وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ  ( Diselimuti Rahmat Allah ). Yaitu bahwa orang-orang yang hadir di majlis-majlis ilmu akan mendapatkan rahmat dan kasih-sayang dari Allah. 

        Keutamaan Ke-3 : وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ ( Dikelilingi para Malaikat ). Berkata  Syekh Athiyah Salim di dalam Syarah Arba’in an-Nawawiyah ( 19/ 11 ) :

        فالملائكة تحفهم بأجنحتها إما رأفة بهم، وإما إعجاباً بهم، وإما تطييباً لخواطرهم

        “ Malaikat mengelilingi mereka dengan sayap-sayapnya karena sayang kepada mereka, atau kagum dengan perbuatan mereka atau ingin menyenangkan hati mereka. “

        Berkata Shaleh Ali Syekh di Syarah Arba’in an-Nawawiyah (hadist: 37/6 ):

يعني أنهم أحدقوا بهم من جميع الجهات، وتراصوا بحيث كانوا حافين بهم، وهذا يدل على أن هؤلاء تعرضوا لفضل عظيم، لا يتسلط عليهم وهم إذْ ذاك شيطان إلا ما كان من هوى أنفسهم والقرين.

        “Maksudnya bahwa Para Malaikat menutupi mereka dari segala penjuru dan mereka berbaris rapat mengelilingi mereka. Dan ini menunjukkan bahwa mereka mendapatkan kemuliaan yang besar. Maka mereka tidak akan dikuasai syetan dalam keadaan seperti ini, kecuali dari dalam diri mereka sendiri. “

        Keutamaan Ke-4: وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (Allah menyebut-nyebut mereka kepada makhluq yang berada di sisi-Nya ).

        Maksudnya bahwa Allah akan menyebut-nyebut mereka di depan para Malaikat yang berada di sisi-Nya dengan memuji mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar. Yang disisi Allah adalah Para Malaikat, sebagaimana  firman Allah :

        وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ

        “  Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” ( Qs. al-Anbiya’ : 19 )

        Berkata al-Mubarakfuri di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi ( 9/ 226 ) :

وذكرهم الله فيمن عنده أي ذكرهم الله مباهاة وافتخارا بهم بالثناء الجميل عليهم وبوعد الجزاء الجزيل لهم

        “ Allah akan menyebut-nyebut mereka di depan siapa yang ada di sisi-Nya, yaitu menyebut mereka dengan memamerkan dan membanggakan mereka dengan memberikan pujian yang baik dan dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar. “

Keduabelas : Diperbolehkan Hasad kepada Orang yang Berilmu.

       Ini sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ أَتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ أَتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

”Tidak boleh hasad kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap orang yang Allah berikan kepadanya harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran dan orang yang Allah berkan kepadanya i hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya,” (HR. al-Bukhari )

Ketigabelas : Malaikat akan Membentangkan Sayap Terhadap Penuntut Ilmu.

       Ini sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

        مَنْ سَلَكَ طَرِيقاً يَبْتَغِي فِيهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَريقاً إِلَى الجَنَّةِ، وَإنَّ المَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ العِلْمِ رِضاً بِمَا يَصْنَعُ ، وَإنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّماوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ حَتَّى الحيتَانُ في المَاءِ ، وَفضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ عَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ ، وَإنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأنْبِيَاءِ ، وَإنَّ الأنْبِيَاءَ لَمْ يَوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً وَإنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بحَظٍّ وَافِرٍ

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka  Allah akan memudahkan  baginya jalan menuju ke surga. Sesungguhnya malaikat akan meletakan sayap-sayap mereka kepada penuntut ilmu sebagai bentuk keridhaan terhadap apa yang dia perbuat. Sesungguhnya semua yang ada di langit dan di bumi memintakan ampun untuk seorang yang berilmu sampai ikan yang ada di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan purnama terhadap semua bintang. Dan sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil bagian ilmu maka sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak.” ( HR. At-Tirmidzi,  3643. Hadist ini Hasan sebagaimana dalam Misykatu al-Mashabih, 212 )

Keempatbelas : Ilmu Lebih Dibutuhkan Dari Makanan Dan Minuman.

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu:

الناس محتاجون إلى العلم أكثر من حاجتهم إلى الطعام والشراب، لأن الطعام والشراب يحتاج إليه في اليوم مرة أو مرتين، والعلم يحتاج إليه في عدد الأنفاس

“Manusia sangat membutuhkan kepada ilmu melebihi kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali saja. Sedangkan ilmu dibutuhkan sebanyak bilangan nafas seseorang.”

Kelimabelas : Menuntut Ilmu adalah Berjihad di Jalan Allah

Menuntut ilmu sebanding dan setara dengan berjihad di jalan Allah, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah bagian berjihad di jalan Allah. Adapun dalil-dalilnya sebagai berikut :

Pertama : Firman Allah :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“ Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” ( Qs. at-Taubah : 122)

Berkata Syekh al-‘Utsaimin di dalam Liqaat al-Bab al-Maftuh ( 3/211 ) “

“ Allah menjadikan ilmu setara dengan berjihad di jalan-Nya, sebagaimana di dalam firman-Nya (Qs. at-Taubah : 122) ... Jika engkau telah mengetahui bahwa menuntut ilmu setara dengan jihad fi sabilillah, maka ketahuilah bahwa menuntut ilmu itu sendiri merupakan jihad di jalan Allah. Bahkan di sebagian keadaan tidak mungkin berjihad kepada mereka kecuali dengan ilmu, seperti halnya kepada orang-orang  munafik, maka tidak mungkin berjihad kepada mereka dengan senjata. “  

       Kedua : Hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ لِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ

“ Siapa yang mendatangi masjid kami, untuk belajar sesuatu yang baik atau mengajarkannya, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Jika tujuannya tidak seperti itu, maka ia hanyalah seperti orang yang meneliti barang yang bukan miliknya.” (HR. Ibnu Majah no. 227 dan Ahmad, 8603, al-Hakim (1/91), Ibnu Hibban, 87. Berkata Syu’aib al-Arnauth : Sanadnya Hasan )

       Ketiga : Hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ في طَلَبِ العِلْمِ فَهُوَ في سَبيلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ

“ Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai pulang “ ( HR. at-Tirmidzi, 2647 dan beliau mengatakan : “ Hadist ini Hasan Gharib “. Hadist ini didhoifkan di dalam Misykatu al-Mashabih, 220 . Hadist ini mempunyai syahid dalam hadits Abu Hurairah di atas )

Keempat : Hadist Mauquf dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :

مَنْ رَأَى الْغُدُوَّ وَالرَّوَاحَ إِلَى الْعِلْمِ لَيْسَ بِجِهَادٍ فَقَدْ نَقَصَ عَقْلُهُ وَرَأْيُهُ

“ Barang siapa yang menyangka bahwa pergi pagi dan sore untuk menuntut ilmu bukan termasuk jihad, maka akal dan pendapatnya ada yang kurang. “ ( HR. Ibnu Abdi al-Barr di dalam Jami’ Bayan ilmi wa fadhlihi, 124 )

Keenambelas : Menuntut Ilmu Lebih Utama Dari Berjihad Di Jalan Allah.

  Menuntut ilmu lebih utama dari berjihad di jalan Allah, karena untuk berjihad dibutuhkan ilmu dan pengetahuan, agar jihadnya sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama : Firman Allah :

وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)

Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar” (Qs. al-Furqon: 51-52).

Berkata Ibnu al-Qayyim dalam Miftah Dar as-Sa’adah ( 1/271 ) :

ولهذا كان الجهاد نوعين : جهادٌ بِاليَدِ والسِّنَانِ ، وهذا المُشَارِكُ فيه كَثِيرٌ !والثاني : الجِهَادُ بِالحُجَّةِ وَالبَيَانِ ، وهذا جِهَادُ الخاصَّةِ مِنْ أتْبَاعِ الرُّسُلِ وَهْوَ جِهَادُ الأَئِمَّةِ ، وَهْوَ أَفْضَلُ الجِهَادَيْن لِعِظَمِ مَنْفَعَتِهِ ، وَشِدَّةِ مُؤْنَتِهِ ، وَكَثْرَةِ أَعْدَائِهِ، قَال الله تعالى في «سُورة الفرقان» وهي مكية : ﴿ ولو شئنا لبعثنا في كلِّ قريةٍ نذيراً * فلا تُطِعِ الكافرين وجاهدهم به جهاداً كبيراً ﴾ . فهذا جِهَادٌ لهم بالقرآن وهو أكبرُ الجِهَادَيْن»

“ Oleh karena itu jihad ada dua bentuk pertama  : Jihad dengan tangan dan senjata. Yang ini pengikutnya banyak. Kedua : Jihad dengan hujjah dan keterangan. Ini bentuk jihad khusus para pengikut para rasul, inilah jihad para imam. Jihad dalam bentuk ini lebih utama dari yang lain, karena besar manfaatnya, keras jalannya, dan banyak musuhnya. Allah berfirman di dalam (Qs. al-Furqon: 51-52) ini surat Makkiyah.  Inilah jihad dengan al-Qur’an dan inilah jihad yang paling besar. “

Kedua : Di dalam suatu atsar disebutkan :

          يُوزَنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِدَادُ الْعُلَمَاءِ وَدَمُ الشُّهَدَاءِ ، فَيَرْجَحُ مِدَادُ الْعُلَمَاءِ عَلَى دَمِ الشُّهَدَاءِ

“ Pada hari kiamat akan ditimbang tinta para ulama dan darah para syuhada, maka tinta para ulama lebih berat dibanding darah para syuhada’ ( Hadits ini disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi di dalam al-‘ilal al-Mutanahiyah dari Nu’man bin Basyir dengan sanad-sanad yang lemah, tetapi satu yang lainnya saling menguatkan, sebagaimana di dalam at-Taisir bi Syarhi al-Jami’ ash-Shaghir karya al-Munawi (2/982).  Dan dinyatakan Maudhu’ oleh al-Albani di dalam Shahih wa Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir, hal. 1459)

Berkata Mula ali al-Qari di dalam al-Asrar al-Marfu’ah fi al-Akhbar al-Maudhu’ah, hal (313 ) :

قلت: ومعناه صحيح لأن نفع دم الشهيد قاصر ونفع قلم العالم متعد حاضر

 “ Makna hadist di atas shahih, karena manfaat darah syahid terbatas, sebaliknya manfaat tinta seorang alim luas dan langsung. “ 

Berkata al-Munawi dalam Faidhu al-Qadir ( 6/469 ) :

          هذا الحديث خرج مخرج ضرب المثل بما يفيد أفضلية العلماء على المجاهدين وبعد ما بين درجتهما لأنه إذا كان مداد العلماء أفضل من دم الشهداء وأعظم ما عند المجاهد دمه وأهون ما عند العالم مداده فما ظنك بأشرف ما عند العالم من المعارف والتفكر في آلاء الله وتحقيق الحق وبيان الأحكام وهداية الخلق

          “ Hadits ini memberikan permitsalan yang menunjukkan tentang keutamaan ulama diatas para mujahidin serta jauhnya jarak derajat keduanya. Karena jika tinta para ulama lebih utama dari darah para mujahidin, padahal sesuatu yang paling berharga bagi para mujahidin adalah darahnya dan yang paling rendah bagi para ulama adalah tintanya, maka bagaimana perbandingannya dengan sesuatu yang paling mulia bagi para ulama, yaitu berupa pengetahuan-pengetahuan, perenungan terhadap nikmat-nikmat Allah, pembuktian tentang kebenaran dan penjelasan tentang hukum-hukum serta petunjuk bagi manusia ? “

          Ketiga : Imam az-Zarkasyi di dalam at-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytahirah ( 168 ) menyebutkan perkataan al-Hasan al-Bashri dalam masalah ini :

مداد العلماء أفضل من دم الشهداء

          “ Tinta para ulama lebih utama dari darah para syuhada’ “ ( lihat juga as-Sakhawi di dalam al-Maqashid al-Hasanah fima Isytahara ‘ala al-alsinah (959 ))  

          Keempat: Salah seorang penyair menulis :

يا طالبي علم النبي محمد    ما أنتم وسواكم بسواء 

فمداد ما تجري به أقلامكم     أزكى وأرجح من دم الشهداء

          “ Wahai para penuntut ilmu nabi Muhammad...kalian tidaklah sama dengan yang lainnya

          Tinta yang dengannya pena kalian menulis ...lebih suci dan berat dari darah para syuhada. “  

Kelima : Menuntut ilmu hukumnya fardhu ‘ain sedangkan jihad fi sabilillah hukumnya fadhu kifayah. Bahkan orang yang berjihadpun harus menuntut ilmu terlebih dahulu.

Sebagian ulama membuat perincian tentang perbandingan antara tinta ulama dan darah syuhada, diantaranya adalah: al-Munawi dan Ibnu al-Qayyim.

Berkata Imam al-Munawi di dalam Faidhu al-Qadir (6/603  ) :

"      وينبغي أن يعتبر حال العالم وثمرة علمه وماذا عليه ، وحال الشهيد وثمرة شهادته وما أحدث عليه ، فيقع التفضيل بحسب الأعمال والفوائد ، فكم من شهيد وعالم هون أهوالا ، وفرج شدائد ، وعلى هذا فقد يتجه أن الشهيد الواحد أفضل من جماعة من العلماء ، والعالم الواحد أفضل من كثير من الشهداء ، كل بحسب حاله وما ترتب على علومه وأعماله " انتهى.

          “ Hendaknya dilihat dulu keadaan seorang alim serta pengaruh ilmunya, dan dilihat juga keadaan syahid dan pengaruh kesyahidannya. Maka keutamaan dilihat dari itu semuanya sesuai dengan amal perbuatan dan pengaruhnya. Betapa banyak seorang syahid dan seorang ‘alim bisa membuat teduh dari keguncangan dan memberikan solusi dari banyak problematika. Dari sini, bisa dikatakan seorang syahid lebih utama dari jama’ah para ulama, dan sebaliknya seorang ‘alim bisa lebih utama dari banyak para syahid. Masing-masing sesuai dengan keadaannya dan betapa besar pengaruh ilmu dan amal perbuatannya. “

          Berkata Ibnu al-Qayyim di dalam Miftah Dar as-Sa’adah ( 1/81-82 ):

والمقصود انه ذكر فيها المراتب الاربعة الرسالة والصديقية والشهادة والولاية فأعلى هذه المراتب النبوة والرسالة ، ويليها الصديقية ، فالصديقون هم أئمة أتباع الرسل ، ودرجتهم أعلى الدرجات بعد النبوة .فإن جرى قلم العالم بالصديقية ، وسال مداده بها ، كان أفضل من دم الشهيد الذي لم يلحقه في رتبة الصديقية
وإن سال دم الشهيد بالصديقية وقطر عليها كان أفضل من مداد العالم الذي قصر عنها. فأفضلهما صِدِّيقهما .
فإن استويا في الصديقية استويا في المرتبة ، والله اعلم .والصديقية : هي كمال الإيمان بما جاء به الرسول علما وتصديقا وقياما ، فهي راجعة إلى نفس العلم ، فكل من كان أعلم بما جاء به الرسول ، وأكمل تصديقا له : كان أتم صديقية. فالصديقية شجرة ، أصولها العلم ، وفروعها التصديق ، وثمرتها العمل .
فهذه كلمات جامعة في مسألة العالم والشهيد ، وأيهما أفضل ؟!

“ Maksudnya bahwa Allah menyebutkan pada ayat di atas (Qs. an-Nisa: 69) empat tingkatan : Risalah, Siddiqiyah, Syahadah, Wilayah. Maka yang paling tinggi tingkatakannya adalah Kenabian dan Risalah, kemudian Siddiqiyah. Orang-orang Siddiq adalah mereka para imam pengikut para Rasul. Derajat mereka paling tinggi setelah Kenabian. Jika pena ulama bisa berjalan dengan sifat Siddiq, dan tintanya mengalir dengan sifat tersebut, maka ini lebih utama dibanding dengan darah syahid yang belum sampai derajat Siddiq. Tetapi jika darah syahid mengalir dengan sifat Siddiq dan menetes dengan sifat tersebut, maka ini lebih utama dari tinta ulama yang tidak disertai sifat Siddiq. Intinya yang paling utama adalah orang yang paling mendekati sifat Siddiq. Jika sifat Siddiqnya sama, maka derajatnyapun sama.

Adapun yang dimaksud dengan sifat Siddiq adalah kesempurnaan iman seseorang kepada apa yang dibawa oleh Rasul secara keilmuan, pembenaraan, dan pelaksanaan. Ini semua kembali kepada ilmu itu sendiri. Maka siapa saja yang lebih mengetahui tentang apa yang dibawa Rasul dan lebih sempurna pembenaran kepadanya, maka sifat Siddiqnya lebih sempurna. Sifat Siddiq bagaikan sebuah pohon, akarnya berupa ilmu, cabangnya berupa pembenaran, dan buahnya adalah amal perbuatan. Inilah pernyataan yang cakupannya luas di dalam masalah perbandingan seorang ‘alim atau syahid, mana yang lebih utama. “

Ketujuhbelas : Meminta Ilmu didahulukan daripada Meminta Rezeki

Ini sesuai dengan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

          “ Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selepas mengucapkan salam selesai shalat subuh, beliau membaca (do’a): “ Wahai Allah, sesungguhnya saya meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan rezeki yang baik, serta amal perbuatan yang diterima “ ( HR. Ibnu Majah, 925, an-Nasai, 9850, Ahmad, 26521, al-Hakim 1/472. Hadist ini Shahih sebagaimana di dalam Shahih Ibnu Majah 753)

          Pelajaran dari Hadist di atas :

(1) Doa  diatas dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap habis sholat subuh. Karena Sholat Subuh adalah awal dari aktivitas manusia di siang hari, maka sangat tepat kalau beliau meminta tiga hal yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, ketiga hal tersebut adalah ilmu yang bermanfaat, rezeki  yang baik dan amal yang diterima.

(2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengawali dengan memohon kepada Allah agar dikarunia ilmu yang bermanfaat sebelum meminta yang lain, karena suatu amal yang tidak didasari ilmu yang benar tidak akan diterima oleh Allah. Dan rezeki yang baik tidak akan bisa didapat kalau tidak dibekali dengan ilmu tentang halal dan haram.

(3) Hadist di atas juga memberikan isyarat kepada kita bahwa ilmu ada dua macam ; ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat. Ini sesuai dengan hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 سَلُوا اللهَ عِلْمًا نَافِعًا ، وَتَعَوَّذُوا بِاللهِ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ.

          “ Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat “ ( HR. Ibnu Majah, 3843, al-Baihaqi di Syu’abi al-Iman 3/276, Ibnu Abi Syaibah, 27248. Hadist ini Hasan sebagaimana di dalam ash-Shahihah, 1511)

          (4) Berkata al-Hasan al-Bashri :

العلم علمان، علم باللسان، وعلم بالقلب، فعلم القلب هو العلم النافع، وعلم اللسان هو حجة اللَّه على ابن آدم

“ Ilmu ada dua ; ilmu di lisan dan ilmu di hati. Ilmu di hati adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu di lisan adalah hujjah Allah atas anak Adam. “ ( lihat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf ( 13/235 )       

Ilmu yang bermanfaat sebagaimana disebutkan oleh al-Hasan al-Bashri adalah ilmu yang masuk dalam hati yang menyebabkan hati menjadi tenang dan khusu’, sehingga takut kepada Allah. Jika hal itu tidak terjadi, maka ilmu tersebut tidak bermanfaat dan menjadi hujjah atas pemiliknya.

Kedelapanbelas : Orang-orang berilmu adalah orang-orang yang dikehendaki Allah menjadi orang-orang yang baik.

Ini sesuai dengan hadist Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah akan mengajarkannya ilmu agama.” (HR. Bukhari, 71  dan Muslim, 1037 )

Berkata al-‘Aini di dalam ‘Umdatu al-Qari ( 2/42 ) :

          قَوْله : (يفقهه) أَي : يفهمهُ ، إِذْ الْفِقْه فِي اللُّغَة الْفَهم . قَالَ تَعَالَى : ( يفقهوا قولي ) أَي : يفهموا قولي ، من فقه يفقه ، ثمَّ خُص بِهِ علم الشَّرِيعَة ، والعالم بِهِ يُسمى فَقِيها

          “ Perkataan ( yufaqihhu ) artinya dipahamkan, karena fiqh secara bahasa adalah faham. Allah berfirman ( Qs.Thoha: 28 ) : “ yafqahu qauli “, yaitu mereka memahami perkataanku. Kemudian istilah ini digunakan secara khusus untuk ilmu syariah. Maka orang yang memahami ilmu syariah disebut orang yang Faqih “

          Berkata Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubra ( 6/171 ) :

          الْفِقْهُ فِي الدِّينِ : فَهْمُ مَعَانِي الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ ، لِيَسْتَبْصِرَ الْإِنْسَانُ فِي دِينِه ِ، أَلَا تَرَى قَوْله تَعَالَى (لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ) فَقَرَنَ الْإِنْذَارَ بِالْفِقْهِ ؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْفِقْهَ مَا وَزَعَ عَنْ مُحَرَّمٍ ، أَوْ دَعَا إلَى وَاجِبٍ ، وَخَوَّفَ النُّفُوسَ مَوَاقِعَهُ الْمَحْظُورَةَ 

          “ Bertafaqquh fiddin adalah memahami arti perintah dan larangan, agar seseorang mengerti tentang agamanya, apakah anda tidak memperhatikan firman  Allah : “...untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” ( Qs. at-Taubah : 122 ) , maka Allah menggandengkan antara perintah untuk memberikan peringatan dengan perintah untuk bertafaqquh fiddin, hal ini menunjukkan bahwa paham adalah dengan menjauhi dari sesuatu yang haram, atau mengajak kepada suatu kewajiban, serta memberikan peringatan kepada jiwa-jiwa agar tidak mendekati hal-hal yang dilarang ( agama ) “

          Berkata Imam an-Nawawi Syareh Shahih Muslim ( 7/128 ) :

فِيهِ فَضِيلَةُ الْعِلْمِ ، وَالتَّفَقُّهِ فِي الدِّينِ ، وَالْحَثِّ عَلَيْهِ ؛ وَسَبَبُهُ : أَنَّهُ قَائِدٌ إِلَى تَقْوَى اللَّهُ تَعَالَى

“ Di dalamnya terdapat keutamaan ilmu dan keutamaan bertafaqquh fiddin ( belajar agama), serta motivasi untuk melakukan hal tersebut, karena hal itu akan menyebabkan seseorang menjadi bertaqwa kepada Allah “ 

KARYA TULIS