Karya Tulis
5687 Hits

Makna Jama’ah (bag. 1)

          Jama’ah secara bahasa adalah berasal dari jama’a- yajma’u-jama’atan, yang berarti mengumpulkan. Kemudian diartikan sebagai kumpulan dua orang atau lebih. Shalat Jama’ah adalah sholat yang dilakukan dua orang atau lebih. Jadi al-Jama’ah secara bahasa adalah sekelompok orang (dua orang atau lebih ) yang berkumpul untuk satu tujuan.

Adapun makna al-Jama’ah secara istilah para ulama berbeda pendapat di dalam mengartikannya. Dalam masalah ini tulisan Imam ath-Thabari yang dinukil oleh Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari dan Imam asy-Syatibi di dalam kitab al-I’tishom ( 2/ 22-24 ) sering menjadi rujukan utamanya. Secara ringkas, al-Jama’ah bisa diterangkan menjadi lima makna :

          Makna Pertama : Al-Jama’ah maksudnya adalah Para Sahabat.

          Makna al-Jama’ah yang disebut dalam beberapa hadits adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ini adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz. Berkata asy-Syatibi di dalam al-I’tisham (2/24) :  

والثالث : الجماعة هي الصَّحابة على الخصوص، فإنَّهم الذين أقاموا عمادَ الدين، وأَرْسَوا أوتادَه، وهم الذين لا يَجتمعون على ضلالةٍ أصلاً

 “ Makna Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat secara khusus, karena merekalah yang menegakkan tiang agama Islam dan membangun pondasinya. Merekalah generasi yang jika berkumpul tidak pernah berada di atas kesesatan. “

 Diantara dalil bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah para sahabat adalah sebagai berikut :

 Pertama : Firman Allah :   

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

          Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. at-Taubah :100)

          Kedua : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwasanya  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

          “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian orang-orang yang datang sesudahnya (masa para Tabi’in), kemudian orang-orang yang datang sesudahnya (masa para Tabi’ut Tabi’in).” ( HR. Bukhari dan Muslim )

          Berkata al-Kalabadzi di dalam Bahru al-Fawaid (1/485) :

 « خير الناس قرني » خاصا في قوم منهم دون جميعهم ، كما قال ابن عمر ، رضي الله عنه : كنا نقول على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم : أبو بكر ، وعمر ، وعثمان رضي الله عنهم ، ثم لا نفضل أحدا أو كلاما هذا معناه ، فأخبر أنهم كانوا يبدون بين أصحابه دون المسلمين .

           “ Yang dimaksud dengan (Sebaik-sebaik manusia adalah orang-orang yang hidup di masaku ) adalah orang-orang khusus di masa itu,  bukan semua manusia (pada zamannya). Ini sebagaimana yang dikatakan Ibnu Umar . “ Dahulu kami mengatakan pada zaman Rasulullah ; Abu Bakar, Umar, Utsman, kemudian setelah itu kami tidak mengutamakan seseorang atas yang lainnya”,  atau perkataan yang semakna dengan itu. Beliau mengabarkan tentang beberapa sahabatnya saja tanpa menyebutkan kaum muslimin lainnya. “

           Apa yang disampaikan oleh al-Kalabidzi di atas benar adanya, karena sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa tidaklah semua yang hidup pada zaman nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang baik semuanya, karena di dalamnya terdapat Abu Jahal, Abu Lahab, Umayah bin Khalaf, Musailamah al-Kadzab, Kharijah al-Asadi. Bahkan dua orang terakhir yang disebut mengaku dirinya sebagai nabi.

          Maka, bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud zamanku pada hadits di atas adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam an-Nawawi berkata di dalam Syarh Shahih Muslim (3/138) :

معناه خير الناس قرني أى السابقون الأولون من المهاجرين والأنصار ومن سلك مسلكهم فهؤلاء أفضل الأمة وهم المرادون بالحديث

  “ Yang dimaksud dengan sebaik-baik zaman adalah zamanku adalah mereka orang-orang yang pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka merekalah sebaik-baik umat, dan merekalah yang dimaksudkan dalam hadits di atas.”   

 Hal itu dikuatkan oleh pernyataan al-Mubarakfuri di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi (6/389):

قال النووي الصحيح أن قرنه صلى الله عليه و سلم والصحابة والثاني التابعون والثالث تابعوهم

 “ Berkata an-Nawawi : “ Yang benar bahwa yang dimaksud dengan zamannya nabi Muhammad adalah para sahabat, kemudian zaman kedua adalah Para Tabi’in, kemudian zaman ketiga adalah para Tabi’u at-Tabi’in.“

 Al-Mubarakfuri juga menyebutkan bahwa antara waktu diutusnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalnya akhir generasi para sahabat sekitar 120-an tahun. Hal itu belum bisa dipastikan karena perbedaan ahli sejarah di dalam menentukan waktu meninggalnya Abu Thufail. Tetapi jika generasi sahabat tersebut dihitung dari kematian nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka umur generasi tersebut sekitar 100-an tahun, atau 90-an tahun atau 97-an tahun. Adapun umur generasi berikutnya, yaitu generasi Tabi’in sekitar 70 atau 80-an tahun. Dan generasi sesudahnya, yaitu generasi Tabi’u at-Tabi’in sekitar 50 -an tahun.

Dari situ bisa diketahui bahwa umur setiap generasi berbeda satu dengan yang lainnya tergantung pada umur setiap generasi itu sendiri. Para ulama sepakat bahwa akhir masa Tabi’u at-Tabi’in adalah mereka yang hidup sampai tahun 220-an.

Ketiga : hadist Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

          إِنَّ بني إسرائيلَ تفرقَتْ على ثنتينِ وسبعينَ مِلَّةً ، وتفْتَرِقُ أمتي على ثلاثٍ وسبعينَ ملَّةً كلُّهم في النارِ إلَّا ملَّةً واحدَةً ، قال من هِيَ يا رسولَ اللهِ ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي 

          "Sesungguhnya Bani Israel telah berpecah kepada 72 golongan, manakala umatku pula akan berpecah kepada 73 golongan. Kesemua mereka di neraka kecuali satu golongan sahaja. (Para sahabat) bertanya, "Siapakah (golongan yang tersebut) wahai  Rasulullah? Rasulullah menjawab, "golongan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya" (Hadist Hasan, HR. Tirmidzi, 2641)

           Makna Kedua : Al-Jama’ah maksudnya adalah Para Ulama Secara Umum.

Al-Jama’ah juga bisa diartikan jama’ah para ulama secara umum. Ini sesuai dengan firman Allah  :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( Qs. an-Nisa ‘: 59 )

 

Di dalam tafsir Abdurrozaq bin Hammam ash-Shon’ani ( 1/166 ) disebutkan bahwa yang dimaksud “ Ulil Amri “ pada ayat di atas menurut al-Hasan al-Bashri adalah para ulama, dan menurut Mujahid adalah Ahli Fiqh dan Ahli Ilmi.

 

Berkata Imam al-Bukhari : “ Bab : ( ﴿وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا “ Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat penengah “ (Qs. al-Baqarah : 143 ) dan apa-apa yang diperintah Nabi  untuk berada pada al-Jama’ah, yaitu mereka para ulama. “

          Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (13/316) : “ Oleh karena telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan kriteria di atas adalah mereka para ulama syariah. “ 

Kemudian Ibnu Hajar sendiri di dalam Fathu al-Bari (13/37) juga menyebutkan perkataan ath-Thabari : “ Berkata sebagian ulama : bahwa yang dimaksud adalah para ulama, hal itu dikarenakan Allah menjadikan mereka hujjah atas manusia ini, sedangkan manusia awam mengikuti mereka di dalam urusan agama.”   

 

KARYA TULIS