Karya Tulis
2856 Hits

Bab Ke 12 Pemimpin dan Lingkungannya

Bab Ke 12

Pemimpin dan Lingkungannya

 

وَ صَدَّهَا مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ كَافِرِينَ (43) قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَا قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيرَ قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (44)

“Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat dlalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam". (Qs. an-Naml: 43-44)

Pelajaran dari ayat di atas:

Pelajaran Pertama:

Pengaruh Lingkungan

(  وَصَدَّهَا مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ)

“Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya),

(1). Ratu Bilqis terlambat masuk Islam, karena lingkungan yang mengelilinginya dan masyarakat di sekitarnya adalah para penyembah matahari. Barangkali dakwah Islam belum pernah sampai ke Ratu Bilqis dan Kerajaan Saba’.  Nabi Sulaimanlah yang mengawalinya dengan perantara Burung Hud-Hud, sehingga Ratu Bilqis masuk Islam beserta rakyatnya. Betapa besar peran yang dimainkan oleh Burung Hud-Hud. Seandainya dia seorang manusia atau da’i, betapa besar pahala yang akan diraihnya nanti di akhirat. 

Maka, lingkungan sangat berpengaruh pada cara berpikir seorang pemimpin, jika baik akan membawanya kepada hidayah. Jika jelek akan membawanya kepada kesesatan. Di sinilah pentingnya Bithanah Shalihah (orang dekat yang shaleh) di lingkungan istana.

(2).Orang-orang beriman dilarang untuk mengambil teman dekat yang jahat, sebagaimana di dalam firman-Nya,

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ (118)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. ( Qs. Ali Imran : 118)

Berkata an-Nuhas  di dalam Ma’ani al-Qur’an (465) : Bithanah adalah orang kepercayaan  yang mengetahui rahasia-rahasianya.

Di dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu  bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا اسْتُخْلِفَ خَلِيفَةٌ إِلاَّ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخَيْرِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ ، وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ ، وَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ. 

“Tidaklah seorang khalifah ( pemimpin ) yang diangkat, kecuali dia akan mempunyai dua  bithanah (orang kepercayaan) ; bithanah yang menyuruhnya pada kebaikan dan mendorong untuk melakukannya, dan bithanah yang menyuruhnya kepada kejelekan dan mendorong untuk melakukannya. Adapun yang terhindar dari kejahatan adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah saja.” ( HR. Bukhari )

Ini dikuatkan dengan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إذا أراد الله بالأمير خيرًا جعل له وزير صدق ، إن نسي ذكره ، وإن ذكر أعانه ، وإذا أراد الله به غير ذلك جعل له وزير سوء ، إن نسي لم يذكره ، وإن ذكر لم يعنه .

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang pemimpin, maka Allah akan memberikan kepadanya menteri yang jujur, dia akan mengingatkannya ketika lupa, dan membantunya saat dia ingat. Sebaliknya  jika Allah menghendaki lain, maka Allah akan memberikan kepadanya menteri yang buruk, dia tidak mengingatkannya ketika lupa, dan tidak membantunya ketika ingat.” (HR. Abu Daud, Nasai, dan Ahmad )

(3). Setiap orang shaleh yang mempunyai akses ke pusat pemerintahan atau kepada  pemimpin, hendaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk menasehatinya dan menunjukkannya kepada jalan yang lurus. Jika pemimpin mau mendengar nasehat para ulama, insya Allah akan membawa berkah bagi rakyatnya.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa menasehati pemimpin adalah salah satu bentuk dakwah yang paling efektif dan termasuk dalam katagori kerja cerdas dalam dunia dakwah.

Jauh-jauh sebelumnya, para nabi sudah melakukan hal itu, diantaranya ; Nabi Ibrahim mendatangi  raja Namrud, Nabi Yusuf mendatangi penguasa Mesir,  Nabi Musa mendatangi Fir’aun, Nabi Muhammad mendatangi para pembesar Qurays. Semua itu dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan pemimpin. 

Di dalam hadist Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا مَثَلُ الجليس الصالحُ والجليسُ السوءِ كحامِلِ المسك، ونافخِ الكِيْرِ فحاملُ المسك: إِما أن يُحْذِيَكَ، وإِما أن تبتاع منه، وإِمَّا أن تجِدَ منه ريحا طيِّبة، ونافخُ الكير: إِما أن يَحرقَ ثِيَابَكَ، وإِما أن تجد منه ريحا خبيثَة

”Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Penjual minyak wangi, mungkin akan memberikan hadiah minyak wangi kepadamu, atau engkau akan membeli minyak wangi darinya, atau setidak-tidaknya engkau akan mendapatkan bau semerbak wangi. Adapun bersama tukang pandai besi, engkau bisa terbakar karena apinya, atau jika tidak, engkau pasti akan mendapati bau angus.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam pepatah Arab disebutkan:

تَشَبَّهُوا بِالكرَامِ إنْ لَمْ تُكُونُوا مِثْلَهم    إِنَّ التَشَبُّهَ بِالكرَام فَلاَح

“Tirulah orang-orang yang mulia, walaupun kalian tidak bisa seperti mereka…Karena meniru mereka adalah kesuksesan.”

Di dalam hadist lain disebutkan :

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” ( HR. Bukhari dan Muslim )

Hadist di atas juga menunjukkan bahwa pada hakikatnya manusia itu fitrahnya baik, cenderung pada Islam. Tetapi lingkungannya-lah yang menjadikannya memeluk agama Yahudi, Nasrani dan Majusi. Diantara lingkungan yang berpengaruh adalah kedua orang tuanya, tetangganya, teman sekolahnya, gurunya dan tempat tinggalnya.

Ada seorang anak yang lahir dalam lingkungan keluarga kyai dan ulama, dan dibesarkan di lingkungan tersebut.  Ketika ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, dia meminta untuk sekolah di luar kota dengan mengekost. Karena salah bergaul dan mendapatkan teman-teman kost yang nakal, akhirnya dia menjadi pengedar narkoba, bahkan menjadi atheis. Na’udzubillah.

Sebaliknya, karena lingkungan juga, seorang yang berasal dari Negara Minoritas Muslim menjadi pegawai cleaning servis Masjidil Haram Mekkah, karena  seringnya mendengar bacaan al-Qur’an di waktu sholat, akhirnya dia bisa menirukan hampir semua bacaan para Imam Masjidil Haram.

Pelajaran Kedua:

Istana Pemimpin

(1)            (قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ)

Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana".

Ayat di atas menunjukkan kewajiban seorang pemimpin untuk menghormati tamu negara, sesuai dengan kedudukan dan derajatnya. Ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)

(2). (قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيرَ)

Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca"

Dibolehkan seorang pemimpin tinggal di dalam istana kerajaan yang besar, indah dan aman, demi kemaslahatan kekuasaannya, dan keamanan dirinya. Selain itu juga bertujuan untuk menghormati tamu yang berkunjung kepadanya, sesuai dengan kedudukan tamu tersebut. Begitu juga bisa menjadi sarana dalam  berdakwah, mengajak pemimpin lainnya agar kembali kepada Allah.

Pelajaran Ketiga :  

Tafakkur terhadap Ciptaan Allah

(فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَا)

“Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. “

(1). Tafakkur terhadap keindahan alam menyebabkan hadirnya  hidayah.

          Adalah Maurice Bucaille lahir pada tanggal 19 Juli 1920, seorang ahli bedah kenamaan yang berkebangsaan Perancis, pada tahun 1975-an setelah melakukan penelitian terhadap jasad Fir’aun yang tenggelam di Laut Merah,  mendapatkan bukti bahwa  jasad tersebut benar-benar tenggelam di laut karena di dalam tubuhnya mengandung banyak  garam. Tetapi kenapa jasadnya lebih awet dan utuh dibanding dengan jasad-jasad lain yang sama-sama tenggelam?

          Ada seseorang yang membisikkan kepadanya bahwa al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam  telah menceritakan peristiwa tersebut berabad-abad yang lalu sebelum penelitian yang dilakukannya. Dia merasa heran bagaimana mereka tahu, padahal jasad Fir’aun baru ditemukan 1898 M?

Ketika seorang ilmuwan muslim membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (Qs. Yunus : 92)

Maka bergetarlah hatinya, yang kemudian membuatnya berdiri dan menyatakan ke-Islamannya.

(2). Begitu juga yang dialami oleh Jacques Costeu seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka Perancis yang lahir pada tanggal 17 Juni 1910,  suatu hari ketika melakukan penyelaman di sebuah lautan, dia mendapatkan fenomena yang ganjil, yaitu adanya air tawar yang rasanya sedap di tengah-tengah air asin. Yang lebih mengherankannya lagi, dua jenis air tersebut tidak bercampur satu dengan yang lainnya, seakan-akan diantara keduanya terdapat sekat yang memisahkan keduanya.

Rasa penasarannya terjawab ketika dia bertemu dengan ilmuwan muslim yang membacakan kepadanya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

وَهُوَ الَّذِي مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَحِجْرًا مَحْجُورًا

“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (Qs. al- Furqan : 53)

Begitu juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ  بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ .

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,  antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (Qs. ar-Rahman : 19- 20)

Mendengar ayat-ayat tersebut membuat hatinya bergetar dan akhirnya dia memeluk Islam.

Pelajaran Keempat :

Pemimpin yang Berjiwa Besar

(قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي)

Berkatalah Balqis: "Ya Rabb, sesungguhnya aku telah berbuat dhalim terhadap diriku. “ 

Pemimpin berjiwa besar adalah pemimpin yang mau mengakui kesalahan dan menerima kritik dan nasehat dengan lapang dada.

Ratu Bilqis, termasuk salah satu ratu agung, yang mau menerima kritikan dan nasehat Raja Sulaiman, sehingga tersadar dari kesalahannya selama ini dan akhirnya diapun memeluk Islam, sebagai agamanya. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mau menerima saran  Khabbab bin Mundzir radhiyallahu 'anhu dalam penempatan pasukan pada Perang Badar. Beliaupun  mendengar masukan dan saran dari para sahabat, ketika beliau melarang mereka mengawinkan dua pohon, yang berakibat pohon-pohon tersebut tidak berbuah dengan baik.

Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu siap dikritik di dalam pidato kenegaraan pertama kalinya, ketika diangkat menjadi Khalifah. Beliau berkata,

أما بعد أيها الناس فإني قد وليت عليكم ولست بخيركم، فإن أحسنت فأعينوني، وإن أسأت فقوموني،

“Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya jika aku berbuat salah, luruskanlah saya.” 

Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu dikritik oleh seorang wanita di dalam menafsirkan Qs. an-Nisa’: 20 yang berbunyi,

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

 “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun.” (Qs. an-Nisa’: 20)

Pada ayat di atas, Allah membolehkan seorang wanita meminta mahar kepada calon suaminya mahar yang banyak, kenapa Umar melarangnya.  Mendengar kritikan tersebut,  maka Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berkata: “Perempuan itu benar dan Umar salah.” ( Tafsir asy-Sya’rawi (1/ 1421)

Umar bin Khattab juga ditanya oleh bawahannya, ketika mengambil dua baju sedang sahabat yang lain hanya mengambil satu baju. Tetapi beliau menjawabnya dengan lapang dada.

Khalid bin Walid, rela dicopot Umar, dan mengatakan: “Aku tidak berperang karena Umar, tapi aku berperang karena Allah.”

Senin, 07 Jumadil Akhir 1438 H / 06 Maret 2017 M.

KARYA TULIS