Karya Tulis
2157 Hits

Perdamaian dalam Keluarga


Keluarga Sakinah

Perdamaian dalam Keluarga

Tadabbur Surah An-Nisa Ayat 128

[DR. AHMAD ZAIN ANNAJAH, MA.]

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَاِنِ امۡرَاَةٌ خَافَتۡ مِنۡۢ بَعۡلِهَا نُشُوۡزًا اَوۡ اِعۡرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۤ اَنۡ يُّصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحًا‌ ؕ وَالصُّلۡحُ خَيۡرٌ‌ ؕ وَاُحۡضِرَتِ الۡاَنۡفُسُ الشُّحَّ‌ ؕ وَاِنۡ تُحۡسِنُوۡا وَتَتَّقُوۡا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِيۡرًا‏ ﴿۱۲۸﴾

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa, 4: 128)

Pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat di atas:

Ada sebuah kisah dimana seorang suami yang memiliki fisik nyaris sempurna dan juga kaya tertarik kepada wanita tetangga. Nasehat istrinya diabaikannya. Akhirnya sang istri mengambil keputusan untuk mengizinkan suaminya menikah lagi dengan wanita yang disukainya daripada melihat suaminya terjerumus dalam zina. Inilah yang disebut perdamaian dalam keluarga.

Jika seorang istri khawatir terhadap suaminya وَاِنِ امۡرَاَةٌ خَافَتۡ maka ingatlah kembali bahwa hidup di dunia itu cuma sebentar, kita mencari ridha Allah bukan ridha suami. Suami itu makhluk juga, yang tidak lepas dari kesalahan. Suami dan istri itu bukan siapa-siapa, oleh karena itu jangan terlalu cinta. Itu tidak boleh. Cinta kita hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Cinta kita hanya kepada akhirat. Dunia itu hanya sementara. Seandainya suami selingkuh maka segera bertaubat. Seandainya suami menikah lagi, silakan saja sebab dunia ini tidak akan lama. Seberapa lama kita akan mencintai suami? Mungkin hanya sampai ajal menjemput, tidak mungkin sehidup semati (mati bersamaan).

Di India ada fenomena suami istri yang cinta sehidup semati, ketika suaminya meninggal dunia dan hendak dikuburkan, maka istrinya yang masih hidup juga dimasukkan ke dalam liang kubur bersama jenazah suaminya. Na’udzubillah min dzalik. Ini yang dinamakan cinta yang berlebihan. Kalau kita umat Islam, cinta suami-istri itu sekedarnya, cinta tertinggi kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Suami istri itu bisa langgeng atau berpisah; bahkan dengan berpisah boleh jadi menyelesaikan masalah.

Jika seorang istri khawatir terhadap suaminya وَاِنِ امۡرَاَةٌ خَافَتۡ مِنۡۢ بَعۡلِهَا, kekhawatiran istri ada dua, yaitu: (1) Nusyuz, artinya tinggi. Nuzyus terbagi dua dari wanita (QS 4: 34-35) dan laki-laki (QS 4: 128-130); (2) i'radh (berpaling atau tidak perhatian lagi terhadap istrinya).

Ada sebuah realita, seorang suami berselingkuh dengan rekan sekantornya. Ini sangat mungkin terjadi sebab wiwiting tresno jalaran soko kulino. Artinya cinta akan tumbuh karena kebersamaan, akibat sering pulang bersama, sering bertemu dan berinteraksi di kantor daripada bersama istrinya di rumah. Terkadang suami selingkuh itu akibat ketidakpedulian istri terhadap suami di rumah dan mendapatkan perhatian dari wanita lain di luar rumah. Jadi perlunya seorang istri memperbaiki diri dalam melayani suami di rumah.

Ada lagi sebuah realita, bahwa terjadi fenomena pernikahan safar atau pernikahan status, yakni seorang janda yang dinikahi sebagai istri kedua dan tinggal di kota yang berbeda dengan suaminya, hanya untuk mendapatkan status istri. Sebenarnya wanita tersebut sudah mapan dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri namun hanya karena alasan sosialisasi di masyarakat, dia memerlukan status sebagai istri. Suami hanya mengunjungi selama tiga hari dalam setiap bulan. Dalam fiqh, ini diperbolehkan jika memang kedua belah pihak saling meridhai.

Pernikahan safar adalah nikah dimana suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin karena ridha atau keinginan istrinya, sebab nafkah lahir dan batin itu adalah hak istri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa nikah safar ini diperbolehkan. Salah satu ciri keluarga sakinah adalah istri yang tidak banyak meminta. Jika diberi akan bersyukur, jika tidak diberi pun tidak meminta.

Ciri wanita yang nusyuz ada empat: (1) sering pergi tanpa izin, (2) sering belanja tanpa izin suami, (3) bepergian dengan lelaki lain, dan (4) suara tinggi terhadap suaminya. Bisa dilihat dalam surah An-Nisaa ayat 34 dan ada cara penanganan wanita yang melakukan nusyuz.

Jika seorang suami ingin menikah lagi itu sebenarnya tidak termasuk nusyuz sebab itu halal dilakukan. Di dalam Al-Qur’an, ada yang disebut i’radh artinya berpaling, sudah tidak menyukai istrinya atau tidak perhatian terhadap istrinya lagi. Contoh suami yang melakukan nusyuz adalah (1) melakukan kekerasan dalam rumah tangga, (2) sering marah-marah tanpa sebab, (3) tidak memberikan nafkah lahir dan batin. Terkait dengan nafkah, nafkah lahir disesuaikan kemampuan suami dan nafkah batin minimal empat bulan sekali. Jika seorang suami tidak memberikan nafkah batin lebih dari empat bulan, maka sudah dikatakan nusyuz dan seorang istri berhak menggugat terhadap suaminya.

Dalilnya adalah kisah ronda malam Khalifah Umar bin Khaththab mendengar syair seorang wanita yang sendirian. Syairnya kurang lebih berbunyi: “Kalau bukan karena takut kepada Allah, niscaya tempat tidur ini bergoyang.” Khalifah Umar segera menemui putrinya Hafshah dan menanyakan berapa lama kuatnya seorang istri ditinggal suaminya. Lalu Ummul Mukminin Hafshah menjawab selama empat bulan, jika lebih dari empat bulan maka para wanita menjadi gelisah dan tidak tenang hidupnya. Sehingga kalau ada istri yang gelisah dan suka marah-marah, itu indikasi istri merindukan suaminya.

Akhirnya Khalifah Umar menetapkan peraturan negara bahwa maksimal tugas laki-laki berjihad di medan perang adalah selama empat bulan. Setelah empat bulan harus pulang kembali kepada istrinya. Sedemikian detail Khalifah memperhatikan kebutuhan dan kemaslahatan rakyatnya, hingga urusan hubungan suami istri. Sebab jika tidak diatur dalam peraturan negara dapat mengakibatkan efek kerusakan yang sangat besar dalam tataran sosial, yaitu terjadi perzinahan dalam masyarakat.

Jika seorang wanita merasa khawatir dua hal terhadap suaminya yaitu suaminya melakukan nusyuz dan i’radh وَاِنِ امۡرَاَةٌ خَافَتۡ مِنۡۢ بَعۡلِهَا نُشُوۡزًا اَوۡ اِعۡرَاضًا apa solusinya dalam Al-Qur’an? فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۤ اَنۡ يُّصۡلِحَا maka berdamai saja, sebab perdamaian itu lebih baik وَالصُّلۡحُ خَيۡرٌ daripada bercerai.

Contoh kasus, seorang suami terkena PHK lalu selama dua pekan belum mendapatkan pekerjaan pengganti. Akhirnya istrinya meminta cerai. Kasus dimana perceraian diminta oleh istri itu sangat banyak, di Pengadilan Agama Bekasi 70% perceraian berasal dari gugatan cerai dan rata-rata masalah finansial. Jadi sebenarnya berdamai antara pihak suami dan istri itu lebih baik daripada bercerai.

Ayat ini (QS. An-Nisa ayat 128) turun pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Ibunda Khadijah wafat meninggalkan empat orang anak yang masih kecil-kecil. Kemudian Rasulullah menikah dengan Saudah, seorang janda yang pandai merawat anak-anak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah berhijrah dan selanjutnya menikah dengan Aisyah, Hafshah, Juwairiyah, Shofiyah, dan istri lainnya. Semua istri Rasulullah adalah wanita muslimah shalihah yang cantik-cantik dan lebih muda daripada Saudah. Saudah merasa tidak diperhatikan oleh Rasulullah, lalu beredar isu bahwa Rasulullah hendak menceraikannya. Saudah menemui Rasulullah dan menyampaikan bahwa daripada diceraikan oleh Rasulullah maka lebih baik berdamai. Kemudian turunlah ayat ini (QS. An-Nisa ayat 128).

Bagaimana kondisi berdamainya? Damai itu kedua belah pihak itu saling mengalah. Saudah memberikan jatah bermalam kepada Aisyah dan Rasulullah tetap mempertahankan Saudah sebagainya istrinya. Berdamai ini bukan hanya untuk kasus berat seperti perceraian; juga dapat diterapkan pada masalah-masalah ringan dalam rumah tangga, seperti contohnya sering pulang terlambat, atau pindah rumah, dan lainnya.

Ada contoh kasus lain, pasangan suami istri yang memiliki kehidupan sangat mapan. Istrinya menjadi dosen di sebuah universitas internasional di Malaysia. Sedangkan suaminya mendapatkan tawaran pekerjaan baru di Brunei dengan gaji besar. Suami bersikukuh untuk menerima tawaran bekerja di Brunei, akan tetapi istrinya tidak mau meninggalkan pekerjaannya mengajar di Malaysia. Akhirnya keduanya bercerai. Seharusnya keadaan ini bisa dihindari dengan perdamaian, misalnya dengan mengambil jalan keluar bahwa suaminya bisa pulang dan bertemu dengan istrinya setiap bulan sekali atau hal-hal teknis lainnya yang bisa disepakatai bersama.

Ada kasus lagi yaitu seorang istri di Depok dan suaminya bekerja di perusahaan tambang di Irian Jaya. Suaminya hanya memiliki libur dari perusahaan selama tiga pekan per tahun. Kemudian keduanya bercerai. Suami tersebut tidak menikah lagi sebab pekerjaannya yang sangat ketat, akhirnya meninggal akibat sakit diabetes. Sedangkan istrinya juga tak kunjung menikah.

Kondisi perceraian itu sangat tidak enak. Jadi lebih baik berdamai (dengan keadaan). وَاُحۡضِرَتِ الۡاَنۡفُسُ الشُّحَّ‌ yaitu tabiat manusia itu bakhil, dalam artian di sini adalah egois. Kedua belah pihak, yaitu suami dan istri seringkali sama-sama egois dalam mencari penyelesaian masalah rumah tangga. وَاِنۡ تُحۡسِنُوۡا وَتَتَّقُوۡا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِيۡرًا‏ jika kamu ingin berbuat baik dan bertaqwa insyaAllah akan terjadi kebaikan melalui perdamaian itu. Jadi ada kata تُحۡسِنُوۡا yaitu ihsan yaitu mau memperbaiki dan وَتَتَّقُوۡا bertaqwa, intinya dalam keluarga harus melakukan kebaikan dan ketaqwaan, maka sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.

Wallahu a’lam.

 

{Transkrip ditulis di Al-Quds, 21/02/2019}

KARYA TULIS