Karya Tulis
1962 Hits

Bab 2 Tauhid dan Baldatun Thayyibatun


 

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

 

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.  (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".

(Qs. Saba :15)

 

Pelajaran (1): Negeri Saba’ yang Indah

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka.”

(1) Saba’ pada awalnya adalah nama seorang laki-laki, yaitu: Saba’ bin Yasyjib bin Ya’rib bin Qahthan bin Hud. Dia adalah raja pertama yang memerintah Negeri Yaman. Kemudian menjadi nama sebuah kabilah yang tinggal di kota Ma’rib yang terletak tiga hari perjalanan dari kota Shan’a, Yaman. (Sayyid Thantawi, Tafsir al-Wasith: 1/3468)

Allah memberikan contoh Negeri Saba' ini,  sebagai negeri yang aman, sentosa, rezeki melimpah ruah, gemah ripah, loh jinawi, ijo royo-royo. Ini digambarkan dengan kata (جَنَّتَانِ), yaitu dua kebun, (عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ), yang berada pada sisi kanan dan kiri dari sebuah lembah yang mengalir di dalamnya air yang jernih dan berlimpah. Sampai-sampai mereka bisa membangun bendungan besar untuk menampung air tersebut. Kemudian mengalirkannya ke arah dua kebun tersebut sehingga dua kebun yang luas tersebut menjadi tumbuh subur, dipenuhi pohon-pohon yang rindang, serta menghasilkan buah-buahan dengan segala macam dan bentuknya. 

(2) Potret Negeri Saba' sebagaimana yang digambarkan di atas, adalah (آيَةٌ) salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah, berkata al-Baghawi di dalam Ma’alimu at -Tanzil (6/393): “(آيَةٌ) artinya Negeri Saba’ sebagai tanda Ke-Esaan Kami dan Kemampuan Kami.”

Ini sekaligus sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah yang begitu luas kepada manusia. Dan ini salah satu makna sifat Ar-Rahman, yaitu Yang Maha Pengasih kepada seluruh alam, kepada seluruh makhluk ciptaan Allah. Maha Pengasih-Nya tidak terbatas kepada orang-orang beriman saja, tetapi mencakup manusia yang kafir kepada Allah,  munafik, fasik, bahkan orang musyrik sekalipun mendapatkan limpahan rezeki dari Allah. Inilah sifat ar-Rahman. Berbeda dengan sifat (Ar-Rahim), Maha Penyayang yang hanya diberikan kepada orang-orang beriman yang taat kepada-Nya saja. 

(3) (فِي مَسْكَنِهِم), yaitu tempat tinggal di mana mereka hidup. Allah menggambarkan sebuah masyarakat yang hidup penuh dengan kenikmatan dan kemudahan di dalam menempati tempat tinggal mereka. Karena sudah menjadi tabiat manusia, cenderung ingin hidup bahagia di dunia ini. Biasanya kebahagiaan manusia secara materi diukur dengan tiga hal, yaitu; cukup sandang, cukup pakan, dan cukup papan. Itu semua terwujud di dalam Negeri Saba'. 

Pelajaran (2): Tiga Tips Hidup Bahagia

Agar kebahagiaan hidup yang berkecukupan sandang, pangan dan papan tersebut berlangsung terus, langgeng dan tidak hilang, maka Allah memerintahkan setiap muslim untuk melaksanakan tiga tips atau tiga langkah di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai berikut:

(Tips Pertama): Makan Dan Minum dengan Cara yang Halal dan Baik.

كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ

Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu.”

Firman Allah (كُلُوا) pada ayat di atas, menunjukkan perintah  untuk makan dan minum dengan cara yang halal dan baik, tidak memakan harta orang lain tanpa hak misalnya dengan mencuri, membegal, merampok, korupsi, manipulasi, menipu, memakan riba dan mengurangi takaran dan timbangan dalam jual beli, dan sejenisnya. Allah berfirman,

ولَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ. 

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 188)

Allah juga berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa: 19) 

(Tips Kedua): Menyakini bahwa Allah adalah Satu-Satunya Dzat yang Mampu Memberikan Rezeki kepada Makhluk-Nya.

مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ

“Dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu.”

Firman Allah (مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ) pada ayat di atas menunjukkan bahwa rezeki itu berasal dari Tuhan. Artinya harus menyakini bahwa Allah adalah satu-satu Dzat yang mampu memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, maka harus meminta rezeki hanya kepada-Nya saja, bukan kepada yang lain. Inilah hakikat ‘Tauhid Ibadah’; yaitu beribadah hanya kepada-Nya saja dan meminta rezeki hanya kepada-Nya saja.

Diantara dalil-dalil yang bisa menguatkan pernyataan di atas adalah sebagai berikut;

(Dalil Pertama): Allah berfirman,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Qs. al-Fatihah: 4) 

Ayat di atas memberikan pesan sebagai berikut;

(a). Inti hidup ini adalah beribadah kepada Allah dan meminta bantuan kepada-Nya,

(b). Beribadah tidaklah sempurna tanpa meminta bantuan kepada-Nya, karena hakikat ibadah adalah ketundukan dan kepasrahan mutlak, merasa diri ini lemah, tiada daya dan upaya kecuali hanya milik Allah, maka harus meminta bantuan kepada-Nya setiap saat.

Berkata as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/39): “Allah menyebut (al-Isti’anah) setelah (al-‘Ibadah) padahal al-Isti’anah sudah masuk di dalam keumuman kategori al-‘Ibadah, karena seorang hamba di dalam seluruh ibadahnya sangat membutuhkan ‘bantuan‘ dari Allah. Jika Allah tidak ‘membantunya’, maka tidak akan terwujud apa yang diinginkannya untuk melaksanakan perintah Allah atau meninggalkan larangan-Nya.”

(c). Meminta bantuan kepada-Nya adalah inti dari ibadah itu sendiri.

(d). Sebaik-baik permintaan bantuan kepada-Nya adalah meminta agar bisa beribadah secara maksimal.

(Dalil Kedua): Ini sesuai dengan hadist Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam pernah menasehatinya untuk tidak meninggalkan doa di setiap akhir shalat dengan doa,  

اللَّهُمَّ أعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Wahai Allah tolonglah aku untuk bisa selalu meningat-Mu, mensyukuri-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan baik.(HR. Bukhari di dalam Adab al-Mufrad; Ahmad, Abu Daud, Nasai, Hakim. Beliau shahihkan dan disetujui oleh adz-Dzahabi)

(Dalil Ketiga): Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta.  Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu akan dikembalikan.” (Qs. al-'Ankabut: 17)

Ayat di atas menjelaskan kepada kita beberapa poin:

(a). Orang-orang yang menyembah selain Allah adalah orang yang mengada-ada, karena sesembahan selain Allah tidak bisa memberikan rezeki. Kalau begitu kenapa harus menyembah mereka?

(b). Rezeki hanya di tangan Allah semata, maka mintalah  rezeki kepada Allah. Firman-Nya “Carilah di sisi Allah rezeki” di sini didahulukan penyebutan nama Allah sebelum rezeki, menunjukkan bahwa rezeki hanya di tangan Allah, tidak di tangan yang lainnya, di dalam Bahasa Arab disebut dengan ‘al-Hashr” (pembatasan). Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (6/269): “Carilah di sisi Allah Rezeki dalam ayat ini ada pembatasan yang sangat mendalam, sebagaimana firman-Nya, “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.”

Ini sebenarnya hakikat menyembah Allah. Jadi menyembah Allah tidak terbatas pada gerakan badan dalam ritual shalat, yang kadang tanpa perenungan dan penghayatan. Justru kualitas shalat seseorang bisa diukur dengan keyakinannya bahwa rezeki hanya di tangan Allah. Dan terwujud ketika bekerja, dia akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan berusaha mencari yang halal, serta menghindari yang syubhat dan haram. Dia tidak khawatir sedikitpun, karena rezeki dijamin oleh Allah.

(c). Ketika mendapatkan rezeki, baik sedikit maupun banyak, dia akan bersyukur kepada Allah. Dia juga akan selalu bersyukur karena bisa menyembah-Nya dengan cara mencari rezeki halal.  

(Dalil Keempat): Allah juga berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Saba': 24)

Ayat di atas menjelaskan barometer kebenaran dan kesesatan. Seseorang dinyatakan berada di atas kebenaran jika menyakini bahwa rezeki hanya di tangan Allah kemudian dia akan memintanya kepada Allah semata, bukan kepada yang lain-Nya. Sebaliknya, seseorang dianggap berada di atas kesesatan yang nyata, jika meminta rezeki kepada selain Allah.

(Dalil Kelima): Allah berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.(Qs. al-Mulk: 15)

Ayat di atas menunjukkan bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah, karena Dia-lah semata-mata yang menjadikan bumi ini mudah untuk dilalui, agar manusia bisa mencari rezeki Allah. Tidak ada staupun selain selain Allah yang bisa melakukan hal itu, maka jangan menyembah selain-Nya.

 (Tips Ketiga): Mensyukuri Rezeki dan Nikmat Allah

وَاشْكُرُوا لَهُ 

“Dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.

Firman Allah (وَاشْكُرُوا لَهُ) pada ayat di atas menunjukkan perintah untuk bersyukur terhadap rezeki dan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dengan terus meningkatkan ibadah kepada-Nya, memanfaatkan rezeki tersebut untuk ketaatan, menyalurkannya kepada yang membutuhkan, dan untuk berbuat baik kepada orang lain. Allah berfirman menasehati Qarun yang dikaruniai harta banyak, agar menyalurkannya untuk kepentingan orang banyak,

إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ (76) وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77)

“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. al-Qashash: 76-77)

Ayat di atas menunjukkan lima cara bersyukur atas rezeki yang Allah berikan kepada kita:

(a). (لَا تَفْرَح) Jangan bangga dengan harta yang dimilikinya, karena itu semuanya berasal dari Allah.

(b). (الدَّارَ الْآخِرَة) Menggunakannya untuk mencari pahala di akhirat.

(c). (نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا) Menggunakannya untuk keperluan hidup sehari-hari.

(d). (وَأَحْسِن) Berbuat kepada orang lain.

(e). (وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ) Jangan sampai penggunaan rezeki yang ada menyebabkan kerusakan di muka bumi, dengan memakainya secara berlebihan, atau membeli sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan membahayakan bagi diri dan orang lain. 

Pelajaran (3): Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafur

بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”

Setelah memerintahkan setiap muslim untuk melaksanakan tiga tips hidup bahagia di atas, Allah memberikan imbalan dan balasan yang baik bagi yang melaksanakan perintah Allah tersebut. Balasan tersebut mencakup dua hal yang sangat penting, yaitu: 

(Pertama) Menjadikan Negeri Mereka, Negeri yang Baldatun Tayyibah (بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ), Negeri yang Baik, yaitu Negeri yang penuh berkah dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Negeri yang penduduknya melaksanakan tiga perintah Allah, yaitu; (1) makan yang halal, (2) menyakini bahwa sumber rezeki berasal dari Allah sekaligus mencari rezeki yang halal, (3) mensyukuri seluruh nikmat Allah.

Allah mensifati Negeri dengan baik (thayyibah), bukan dengan negeri kaya (ghaniyyah), karena tidak setiap yang kaya itu baik dan bahagia, tetapi setiap yang baik dan bahagia itu pasti kaya, paling tidak kaya hati. 

Dalam al-Qur'an banyak disebut lafazh (thayyib-thayyibah), diantaranya di dalam firman Allah,

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Di sanalah Zakaria mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa". (Qs. Ali Imran: 38)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Zakariya ‘alaihi as-salam memohon kepada Allah agar diberikan keturunan yang ‘thayyibah’, yaitu keturunan yang taat kepada Allah dan berakhlak karimah, bukan keturunan yang ‘ghaniyah’ (kaya).

Berkata as-Sa’di di dalam  Taisir a-Karim (1/130), Dzurriyyah Tayyibah, yakni: “Thahirah al-Akhlaq (akhlak yang bersih), Thayyibatul al-Adab (adab atau etika yang baik), agar nikmat agama dan dunia menjadi sempurna.”

Allah juga berfirman,

وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ

“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.  Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Qs. al-A’raf: 58)

Ayat di atas menjelaskan tentang perbandingan antara tanah yang subur dan tanah yang gersang. Tanah yang subur (الْبَلَدُ الطَّيِّبُ) akan menumbuhkan pepohonan yang bermanfaat bagi manusia dengan izin Allah, sedang tanah yang tandus dan gersang (وَالَّذِي خَبُثَ) tidak akan bisa menumbuhkan apa-apa, kecuali tanaman yang rusak, cacat dan merana.  

(Kedua) Allah akan mengampuni dosa-dosa dan kesalahan mereka. Ini terungkap dalam firman-Nya (وَرَبٌّ غَفُور) Tuhan Yang Maha Pengampun.  

Kenapa setelah menyebut Baldatun Thayyibatun, ditutup dengan Wa Rabbun Ghafur? Jawabannya mencakup dua hal; 

(Jawaban Pertama) bahwa ‘Rabbun’ menunjukkan bahwa negeri yang kita tempati ini ada pemiliknya, yaitu Allah. Dialah yang menciptakan negeri tersebut pertama kali, dan Dialah yang merawat serta melindunginya dari segala mara bahaya.

Bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dan bisa merebutnya dari tangan penjajah semata-mata berkat Rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa. Sebagaimana yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 45: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Oleh karenanya, seluruh penduduk bangsa dan negeri ini, jika ingin hidup nyaman, sentosa, bahagia, sejahtera di negeri ini, hendaknya memohon dan meminta kepada pemiliknya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan memperkuat ‘Ibadah dan Tauhid.’ 

(Jawaban Kedua) Sifat  ‘Ghafur’ menunjukkan bahwa Tuhan yang memiliki negeri ini adalah Tuhan Yang Maha Pengampun terhadap dosa-dosa yang dilakukan penduduk negeri tersebut. Oleh karenanya, hendaknya mereka selalu memohon ampun kepada-Nya dan mengakui atas segala kesalahan mereka selama ini, serta berjanji untuk tidak mengulanginya. 

Istighfar (memohon ampun) kepada Allah mampu menolak bala’ dan menjadikan suatu negeri selalu aman dan terhindar dari berbagai bencana. Ini sesuai dengan firman Allah,

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Qs al-Anfal: 33)

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu ketika menafsirkan ayat di atas:

كان فيهم أمانان النبي صلى الله عليه وسلم والاستغفار فذهب النبي صلى الله عليه وسلم وبقي الاستغفار

“Dulu para sahabat mempunyai dua penolak bala’, yaitu keberadaan nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan istighfar, maka  ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam wafat, penolak bala’ itu tinggal satu, yaitu istihgfar.”

Dengan cara-cara di atas, insya Allah sebuah negeri akan menjadi makmur dan diberkahi Allah, rakyatnya bahagia, sejahtera dunia akhirat. Amien. 

KARYA TULIS