Karya Tulis
1181 Hits

Bab 7 Hukum Najis dan Buang Angin di Masjid


1. Hukum Memasukkan Barang Najis ke dalam Masjid

Diharamkan memasukkan barang najis ke dalam masjid. Najis dibagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya;

(1) Seseorang yang di badannya terdapat najis, makanya perlu dirinci. Jika dikhawatirkan akan mengotori masjid, tentunya tidak boleh masuk ke dalamnya. Tetapi jika diprediksi tidak mengotori masjid maka boleh dia masuk ke dalamnya.

(2) Seseorang yang melakukan bekam di masjid, kalau tidak menggunakan baskom. Tetapi jika membawa baskom dan memasukkan darah ke dalam baskom, maka boleh namun makruh, sebaiknya tidak melakukan bekam di dalam masjid.

(3) Kencing di dalam masjid menggunakan kateter, atau plastik, atau pispot atau semacamnya, maka sebagian besar ulama cenderung mengatakan haram. Kencing ini berbeda dengan darah bekam karena lebih menjijikkan.

Sebagian ulama mengatakan boleh tapi makruh, berdasarkan hadits dalam Shahih Bukhari bahwasanya Aisyah radhiyallahu ‘anha,

اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ مُسْتَحَاضَةٌ فَكَانَتْ تَرَى الْحُمْرَةَ وَالصُّفْرَةَ فَرُبَّمَا وَضَعْنَا الطَّسْتَ تَحْتَهَا وَهِيَ تُصَلِّ

“Ada seorang dari istri-istri beliau yang ikut beri'tikaf bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan mengalami istihadhah. 'Aisyah radliallahu 'anha melihat ada darah berwarna merah dan kekuningan sedangkan di bawahnya diletakkan baskom sementara dia mengerjakan shalat.” (HR. al-Bukhari, 1896)

Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya i’tikaf wanita yang mustahadhah. Sebagian membolehkan dengan dasar hadits di atas. Hal itu karena wanita mustahadhah dibolehkan shalat, puasa, dan digauli oleh suaminya. Oleh karena itu dibolehkan juga beri’tikaf dengan syarat menggunakan pembalut atau baskom sebagaimana hadits di atas, agar darah tidak bercecer di dalam masjid.

Hukum i’tikaf bagi wanita mustahadhah di atas berlaku juga untuk orang yang beser (kencingnya keluar terus) atau terus-menerus keluar darinya madzi dan wadzi. Begitu juga yang mempunyai luka yang terus mengalir. Semua disyaratkan tidak mengotori masjid.

2. Hukum Buang Angin (Kentut) di dalam Masjid

Dibolehkan mengeluarkan angin di masjid, tetapi sebaiknya dihindari. Ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ و قَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa makan bawang merah dan putih serta bawang bakung- janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang juga manusia merasa tersakiti (disebabkan baunya).” (HR. Muslim, 876)

Hadits di atas menunjukkan bahwa malaikat terganggu dengan bau mulut seseorang yang memakan bawang. Jika bau bawang saja membuat malaikat terganggu, apalagi bau kentut.

3. Hukum Meludah di dalam Masjid

Haram hukumnya meludah di dalam masjid, sebagaimana hadits Anas radhiyallau ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْبُصَاقُ فِى الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

“Meludah dalam masjid adalah suatu kesalahan, maka untuk menebus (dendanya) ialah menimbunnya (menutupnya) dengan tanah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pelajaran dari hadist di atas;

(1) Meludah dalam masjid adalah suatu kesalahan, maksudnya adalah suatu dosa. Makanya tidak boleh dilakukan dengan sengaja. Walaupun ini dosa kecil, kalau dilakukan terus-menerus secara sengaja bisa menjadi dosa besar karena perbuatan itu dianggap sebagai penghinaan terhadap masjid kecuali dalam keadaan terpaksa. Sebagaimana seseorang sedang shalat kemudian terasa harus meludah, hendaknya jangan meludah di lantai masjid, tetapi ditampung di tangannya atau syal atau untuk zaman sekarang dengan menggunakan tisu yang diletakkan di kantongnya.

(2) Lantai masjid kadang berupa ubin, dalam hal ini tidak boleh meludah di atasnya. Kadang lantainya berupa tanah, jika dia meludah hendaknya ditutup dengan tanah, agar tidak mengganggu yang lain. Karena kalau dibiarkan tetap di atas tanah akan mengenai orang lain. Berkata Zarkasyi di dalam I’lam as-Sajid hal. 308, “Para ulama berbeda pendapat tentang maksud mengubur ludah. Mayoritas ulama berpendapat, maksudnya adalah mengubur (ludah) dengan tanah yang ada dalam masjid, batu-batuan dan kerikil-kerikilnya, ini jika (tanahnya -penulis) tersedia di dalam masjid. Tetapi jika lantai masjid bukan tanah, hendaknya ludah tersebut dibuang keluar atau ludah dibersihkan dengan kain.”

(3) Ludah yang keluar dari mulut tidaklah najis tetapi jijik untuk dilihat. Selama tidak kelihatan maka tidak apa-apa. Begitu juga ingus yang keluar hidung tidaklah najis tetapi jijik untuk dilihat. Selama tidak kelihatan maka tidak apa-apa. Sedangkan dahak yang keluar dari dada atau tenggorokan itu adalah najis. Setelah menyebutkan hadits di atas, al-Qaffal di dalam Fatawa-nya mengatakan bahwa hadits di atas hanya berlaku untuk ludah yang berasal dari mulut. Adapun yang berasal tenggorokan yang berupa dahak, hukumnya najis, tidak boleh dipendam di dalam masjid.

(4) Berkata Imam an-Nawawi, “Perintah untuk meludah di sebelah kiri atau di bawah kaki, maksudnya adalah jika tidak di masjid. Adapun jika di masjid, tidak boleh meludah kecuali di bajunya.”

(5) Meludah itu adalah sebuah kesalahan atau maksiat, selama tidak ditutupi dengan tanah atau tidak dibersihkan. Tetapi jika ada keinginan untuk menutupinya dengan tanah atau membersihkannya, maka itu telah menjadi tebusan atas kesalahan tersebut.

 

***

KARYA TULIS