Karya Tulis
940 Hits

Bab 9 Hukum Menghiasi Masjid


1. Hukum Menghiasi Masjid

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menghiasi masjid dengan emas, perak, ukiran, tulisan, kaligrafi yang mengganggu konsentrasi orang shalat, hukumnya makruh. Dan diantara dalil-dalilnya sebagai berikut;

Dalil Pertama, hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

“Saya tidaklah diperintahkan untuk menghiasi masjid-masjid." Ibnu Abbas berkata; Sungguh kalian akan menghiasi masjid-masjid sebagaimana orang-orang yahudi dan nasrani menghiasi (tempat ibadah mereka).” (HR. Abu Daud, 378. Berkata Ibnu Hajar di dalam Bulughul Maram, “Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban.”)

Disebutkan di dalam Aunul Ma’bud (1/483) bahwa al-Khattabi berkata (التَّشْيِيد) artinya meninggikan bangunan dan memperluasnya. Sedangkan makna (الزَّخْرَفَة) adalah menghiasi. Asal lafadz (الزُّخْرُف) adalah emas, kemudian lafadz ini digunakan untuk menyebut sesuatu yang manusia berhias dengannya.

Maksud dari hadits di atas adalah larangan menghiasi masjid dengan emas dan sejenisnya. Mulla Ali Qari mengatakan, “Menghiasi masjid adalah bid’ah karena tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan ini menyerupai kebiasaan Ahli Kitab.”

Dalil Kedua, hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ

“Tidak akan tiba Hari Kiamat sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid.” (HR. Abu Daud, 379)

Di dalam Aunu al-Ma’bud (1/484) disebutkan bahwa maksud hadits di atas adalah manusia saling berbangga-bangga dengan bangunan masjid, dan mengatakan, “Ini masjidku lebih tinggi, lebih megah, lebih luas,” dan perkataan sejenisnya.

Berkata Ibnu Ruslan, “Hadits ini terdapat mukjizat yang jelas terhadap kebenaran apa yang disampaikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang, yaitu banyaknya para raja dan penguasa yang akan menghiasi dan berbangga-bangga dengan masjid yang mereka bangun. Ini terjadi pada saat ini di Kairo, Syam bahkan di Baitul Maqdis. Para raja dan penguasa tersebut memungut harta rakyat secara zhalim, kemudian digunakan untuk menghiasi masjid dan sekolah-sekolah dengan hiasan yang sangat indah. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesehatan.”

Dalil Ketiga, hadist Anas bin Malik radhiyallau ‘anhu berkata,

كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ قَدْ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمِيطِي قِرَامَكِ هَذَا عَنِّي فَإِنَّهُ لَا يَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ لِي فِي صَلَاتِي

“'Aisyah mempunyai kain penutup untuk menutupi rumahnya lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ambillah penutupmu itu, sungguh gambarnya telah mengganggu shalatku.” (HR. Ahmad, 13511)

Hadits di atas menunjukkan bahwa kain penutup bergambar milik ‘Aisyah yang dipasang di dinding rumahnya, diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dilepas dengan alasan mengganggu kekhusyu’an shalat. Jika demikian, maka tulisan-tulisan kaligrafi di dinding masjid yang bisa mengganggu kekhusyu’an orang shalat sebaiknya dilepas atau dihapus.

Dalil Keempat, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya,

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي خَمِيصَةٍ ذَاتِ أَعْلَامٍ فَنَظَرَ إِلَى عَلَمِهَا فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ قَالَ اذْهَبُوا بِهَذِهِ الْخَمِيصَةِ إِلَى أَبِي جَهْمِ بْنِ حُذَيْفَةَ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيِّهِ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا فِي صَلَاتِي

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdiri untuk shalat di kain yang bermotif, lalu beliau melihat kepada motif tersebut. Setelah selesai shalat, maka beliau bersabda, 'Bawalah kain  ini kepada Abu Jahm bin Hudzaifah, dan bawakanlah untukku baju yang polos. Karena baju itu melalaikanku (dari kekhusyu'an) shalatku barusan'.” (HR. Muslim, 864)

Hadits di atas menunjukkan bahwa kain yang bermotif bisa mengganggu kekhusyu’an shalat seseorang, baik berbentuk sajadah, pakaian yang diletakkan di dinding, maupun di tempat yang bisa dilihat oleh orang yang sedang shalat. Dan kita diperintahkan untuk menggantikannya dengan yang polos sehingga tidak mengganggu kekhusyu’an shalat.

Dalil Kelima, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih nya bahwa ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk membangun masjid dan berpesan sebagai berikut, “Jadikanlah masjid ini sebagai tempat berteduh masyarakat dari guyuran hujan dan jangan sekali-kali kalian hiasi sehingga menjadi fitnah bagi masyarakat.”

Dalil Keenam, berkata Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, “Jika kalian memperindah mushaf-mushaf al-Qur’an dan menghiasi masjid kalian, maka celakalah kalian.” (HR. at-Tirmidzi dan Hakim. Sanadnya Hasan) Karena hal itu membuat orang-orang yang shalat terganggu ketika melihatnya dan menjadi tidak khusyu’. dan ini termasuk tanda-tanda hari kiamat.

Adapun menghamparkan karpet yang bagus untuk masjid dan memberikan penerangan yang cukup sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat maka ini dibolehkan, selama tidak sampai berlebihan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. al-A’raf: 31)

 

 

Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Qs. al-Isra’: 26-27)

2. Hukum Menulis Kaligrafi di Masjid

Berkata Ibnu al-Hajj di dalam al-Madkhal (2/215), “Suatu ketika Imam Malik ditanya tentang masjid, ‘Apakah dimakruhkan menulis di sekitar mihrab ayat-ayat al-Qur’an seperti ayat Kursi, surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas?’ Beliau menjawab, ‘Saya tidak menyukai di dalam mihrab masjid dan sekitarnya ditulis sesuatu dari ayat al-Qur’an. Karena hal itu akan mengganggu konsentrasi orang-orang yang shalat.’

Oleh karena itu hendaknya (para pengurus masjid) melepas tulisan kaligrafi dan potongan kiswah Ka’bah yang sudah mereka tempelkan di mihrab, tiang-tiang dan dinding-dinding masjid. Karena itu termasuk perbuatan bid’ah yang belum pernah dilakukan orang-orang dahulu.

Berkata an-Nawawi di dalam at-Tibyan fi Adabi Hamalati al-Qur’an (hal. 110), “Tidak boleh menulis al-Qur’an dengan sesuatu yang najis, dan dimakruhkan untuk ditulis di tembok-tembok menurut madzhab kami.”

Berkata Ibnu al-Himam di dalam Fathu al-Qadir (1/310), “Dimakruhkan menulis al-Qur’an dan Asma-u al-Husna di atas kepingan dirham, mihrab-mihrab, tembok-tembok, serta karpet.”

3. Hukum Memasang Gambar di dalam Masjid

Masjid itu milik Allah, maka tidak boleh memasang gambar apapun dalam masjid termasuk gambar pendirinya, gambar ulama atau tokoh, begitu juga tidak boleh dipasang gambar presiden atau wakil presiden. Karena itu akan mengesankan bahwa gambar-gambar tersebut harus dimuliakan, sebagaimana mereka memuliakan Allah, dan ini bisa menyeret para jamaa’ah kepada kesyirikan secara tidak sadar. Untuk menjaga itu semua, maka dilarang memasang gambar mereka.

Pertanyaannya, apakah boleh memasang lafadz Allah di dalam masjid? Dan apakah boleh dipasang di samping lafadz Muhammad? Apakah kalau lafadz Allah disejajarkan tidak mengesankan menyamakan Allah dengan Nabi Muhammad?

Jawabannya, dibolehkan memasang lafadz Allah di dalam masjid, tetapi letaknya harus jauh dari pandangan orang yang shalat agar tidak menganggu kekhusyu’an shalat.

Begitu juga dibolehkan memasang lafadz Allah sejajar dengan lafadz Muhammad, sebagaimana nama Muhammad sering disebut bersamaan dengan nama Allah di dalam syahadatain, di dalam adzan, iqamah, dan di dalam pembukaan khutbah atau ceramah.

Pesannya bahwa Allah mengutus nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul-Nya kepada umat manusia untuk menyampaikan risalah-Nya, bukan bermaksud untuk menamakan kedudukannya dengan Allah, apalagi hanya meletakkan dua lafadz itu secara sejajar. Bukankah di dalam al-Qur’an lafadz Allah kadang sejajar dengan lafadz-lafadz lainnya dalam satu tulisan, dan itu tidak mengesankan menyamakan Allah dengan lainnya.

 

***

KARYA TULIS