Karya Tulis
1159 Hits

Bab 10 Hukum Terkait Shalat Berjama’ah di Masjid


Masalah Pertama: Hukum Shalat di antara Tiang di Masjid

Dasar hukum shalat di antara tiang masjid adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di bawah ini;

عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ مَحْمُودٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَدُفِعْنَا إِلَى السَّوَارِي فَتَقَدَّمْنَا وَتَأَخَّرْنَا فَقَالَ أَنَسٌ كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Abdul Hamid bin Mahmud, dia berkata; Saya pernah shalat di belakang Anas bin Malik pada Hari Jum'at, kami didorong untuk tidak shalat di antara kedua tiang hingga ada di antara kami yang maju ke depan dan ada yang mundur ke belakang. Lalu [Anas] berkata; Kami pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dahulu menghindari tempat (tiang) tersebut ketika shalat.” (HR. Abu Daud, 576, at-Tirmidzi, 212, an-Nasa’i, 812, al-Hakim (1/218), beliau menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dishahihkan juga oleh al-Albani di dalam Shahih Abi Daud (1/149))

Hukum shalat di antara tiang-tiang masjid harus dirinci terlebih dahulu.

Pertama, jika dia shalat sendiri maka dibolehkan untuk shalat di antara tiang masjid.

Kedua, jika dia seorang imam sedang mengimami jama’ah di belakangnya, maka dibolehkan untuk berdiri di antara tiang-tiang masjid.

Adapun dalil dibolehkannya shalat di antara tiang masjid jika sendiri atau menjadi imam adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau berkata,

فَأَقْبَلْتُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَرَجَ وَأَجِدُ بِلَالًا قَائِمًا بَيْنَ الْبَابَيْنِ فَسَأَلْتُ بِلَالًا فَقُلْتُ أَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْكَعْبَةِ قَالَ نَعَمْ رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ اللَّتَيْنِ عَلَى يَسَارِهِ إِذَا دَخَلْتَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فِي وَجْهِ الْكَعْبَةِ رَكْعَتَيْنِ

"Aku lalu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun beliau telah keluar, dan aku mendapati Bilal sedang berdiri di antara dua pintu. Aku lalu bertanya kepada Bilal, "Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di dalam Ka'bah? Bilal menjawab, "Ya, dua rakaat antara dua sisi dua tiang sebelah kiri dari arah kamu masuk, lalu beliau keluar dan shalat menghadap Ka'bah dua rakaat." (HR. al-Bukhari, 382)

Ketiga, jika dia seorang makmum lebih dari dua maka dimakruhkan untuk berdiri di antara tiang-tiang masjid, jika hal itu bisa memutuskan shaf. Sedangkan masjid masjid masih luas. Adapun jika masjid penuh dan tidak tersisa tempat shalat kecuali di antara tiang-tiang masjid, maka dibolehkan dan tidak makruh.

Berkata Ibnu Hajar, “Berkata al-Muhib at-Thabari, ‘Sebagian ulama memakruhkan berdiri di shaf antara tiang-tiang masjid karena ada hadits yang melarang hal itu. Kemakruhan ini berlaku jika masjid tempatnya luas.”

Artinya jika masjidnya sempit dan shafnya sangat terbatas, maka boleh shalat di antara tiang masjid dan tidak makruh.

Berkata Ibnu Muflih di dalam al-Furu’ (2/39), “Dimakruhkan bagi makmum untuk berdiri di antara tiang-tiang (masjid). Berkata Imam Ahmad, ‘Hal itu karena memutuskan shaf’.”

Larangan ini dikuatkan dengan hadits dari Mu’awiyah bin Qurrah radhiyallahu ‘anhu, dari Bapaknya, ia berkata,

 كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا

“Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kami dilarang membuat shaf antara tiang-tiang, maka kami pun meninggalkannya.” (HR. Ibnu Majah, 992. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim (1/218) dan al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah (1/298))

Sebagian ulama berpendapat tidak makruh selama ada teman shaf di antara tiang-tiang masjid. Berkata ar-Ramli di dalam Fatawa ar-Ramli (1/232) ketika ditanya apakah makruh seseorang shalat di antara tiang-tiang masjid, maka beliau menjawab, “Tidak makruh shalat di antara tiang-tiang masjid, baik dia shalat sendirian atau sebagai imam maupun sebagai makmum, kecuali kalau shalat jama’ah dan berdiri di antara tiang-tiang masjid secara sendiri.”

Pendapat ini dikuatkan oleh Muhammad Sirin, yang mengatakan, “Tidak apa-apa shalat di antara tiang-tiang masjid, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/222).”

Masalah Kedua: Hukum Shalat Berjama’ah di Masjid Bagi yang Makan Bawang

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum  bagi yang memakan bawang putih atau sejenisnya seperti rokok, untuk pergi ke masjid dan shalat di dalamnya;

Pendapat Pertama, mengatakan makruh hukumnya bagi yang memakan bawang putih atau bawang merah untuk pergi ke masjid. Ini pendapat mayoritas ulama. Dalil mereka adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ و قَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa makan bawang merah dan putih serta bawang bakung, janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang juga manusia merasa tersakiti (disebabkan baunya).” (HR. Muslim, 876)

Disebutkan di dalam Mathalib Uli an-Nuha (1/699), “Dimakruhkan mendatangi masjid dan shalat berjama’ah di dalamnya bagi yang memakan bawang, lobak, daun bawang atau sejenisnya yang mempunyai bau yang tidak sedap sampai hilang baunya. Ini berdasarkan hadits di atas, karena hal itu mengganggu orang lain. Bahkan walaupun di dalam masjid tidak ada orang tetap dilarang karena mengganggu malaikat.”

Pendapat Kedua, mengatakan haram hukumnya bagi yang memakan bawang putih atau bawang merah untuk pergi ke masjid. Ini adalah pendapat adh-Dhahiriyah (al-Muhalla 2/367), Ibnu Jarir (disebutkan oleh Ibnu Rajab di dalam Fathu al-Bari 5/240).

Dalil (1), adalah hadits yang disebutkan oleh kelompok pertama. Hanya saja mereka mengatakan bahwa larangan dalam hadits tersebut menunjukkan keharaman bukan kemakruhan.

Dalil (2), adalah atsar ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata,

أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا

Wahai manusia telah memakan dua pohon yang aku memandangnya sebagai pohon yang busuk yaitu bawang merah dan putih. Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mendapatkan baunya dari seorang laki-laki di masjid niscaya dia menyuruh pergi, lalu dia dikeluarkan ke al-Baqi'. Barangsiapa yang memakan keduanya, hendaklah dia menghilangkan baunya dengan cara dimasak".” (HR. Muslim, 879)

Atsar di atas menunjukkan larangan tegas terhadap orang yang makan bawang untuk masuk masjid bahkan sampai diperintahkan untuk keluar darinya menuju al-Baqi’. dan ini menunjukkan keharaman.

Dalil (3), bahwa shalat berjama’ah hukumnya wajib, tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan makan bawang. Maka meninggalkan untuk makan bawang hukumnya wajib.

Jika setelah makan bawang dan sejenisnya mempunyai bau yang tidak sedap kemudian dihilangkan dengan minum na’na’ (daun mint), al-baqdunis (petersely atau seledri), al-hil (kapulaga Arab), al-’ilk (permen), maka hukumnya berubah menjadi boleh.  

Walaupun terjadi perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini, mereka sepakat bahwa orang yang memakan bawang kemudian datang ke masjid untuk melakukan shalat, maka shalatnya tetap sah.

Masalah Ketiga: Hukum Shalat Berjama’ah Dua Kali di dalam Satu Masjid

Sering terjadi shalat berjama’ah dua kali di beberapa masjid, bagaimana hukumnya? Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah merinci masalah ini sebagai berikut;

Pertama, Masjid yang berada di pinggir jalan besar,  atau di rest area atau di tempat-tempat wisata serta tempat-tempat umum lainnya, yang tidak memiliki imam dan jama’ah tetap.

Di masjid seperti ini, boleh dilaksanakan shalat berjama’ah dua kali, karena banyak orang yang terus datang bergantian ke masjid ini. Yang demikian ini lebih baik daripada mereka shalat sendiri-sendiri. Dalilnya adalah hadits-hadist tentang keutamaan shalat berjama’ah.

Kedua, Masjid tersebut memiliki imam dan jama’ah tetap, seperti masjid-masjid di kota dan perumahan.

Di masjid seperti ini, boleh dilaksanakan shalat berjama’ah dua kali, dengan beberapa syarat, diantaranya;

(1) Shalat berjama’ah kedua dilaksanakan setelah selesai shalat berjama’ah pertama. Jika shalat berjama’ah kedua dilakukan sebelum ditegakkan shalat berjama’ah pertama, maka hukumnya makruh, bahkan bisa menjadi haram. Karena akan menyebabkan perpecahan dan perselisihan, serta fitnah diantara jama’ah masjid, kecuali jika imam masjid mengizinkannya karena alasan tertentu

(2) Orang-orang yang melaksanakan shalat berjama’ah kedua benar-benar terlambat, tanpa ada kesengajaan dan tidak ada kesepakatan sebelumnya diantara mereka.

Dalil-dalil pendapat ini sebagai berikut;

Pertama; Dalil diperbolehkan mengadakan shalat jama’ah kedua setelah selesainya shalat berjama’ah pertama adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ

“Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melihat seorang laki laki sedang mengerjakan shalat sendirian, maka beliau bersabda: "Adakah seseorang yang mau bersedekah kepada orang ini dengan mengerjakan shalat bersamanya?” (HR. Abu Daud, 487. Berkata al-Haitsami di dalam Majma’u az-Zawaid (2/45) perawinya adalah perawi yang terpercaya.)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya melaksanakan shalat berjama’ah kedua setelah shalat berjama’ah pertama selesai.

Kedua, Dalil larangan mengadakan shalat berjama’ah kedua sebelum pelaksanaan shalat berjama’ah yang pertama dan utama adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدَ نَاسًا فِي بَعْضِ الصَّلَوَاتِ فَقَالَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْهَا فَآمُرَ بِهِمْ فَيُحَرِّقُوا عَلَيْهِمْ بِحُزَمِ الْحَطَبِ بُيُوتَهُمْ وَلَوْ عَلِمَ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَظْمًا سَمِينًا لَشَهِدَهَا يَعْنِي صَلَاةَ الْعِشَاءِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjumpai beberapa orang dalam beberapa shalat, maka komentar beliau "Sungguh aku berkeinginan kuat menyuruh seseorang untuk mengimami orang-orang, kemudian aku pergi untuk menemui orang-orang yang tidak menghadirinya dan kusuruh mereka untuk membakari rumah-rumah mereka dengan sebongkah kayu. Kalaulah seorang dari mereka tahu bahwa akan mereka dapatkan unta yang gemuk, niscaya akan mereka hadiri shalat Isya`." (HR. Muslim, 1040)

Hadits di atas menunjukkan kewajiban mendatangi shalat berjama’ah pertama, karena jika dibolehkan shalat berjama’ah pada periode kedua tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengancam untuk membakar rumah-rumah mereka, karena ada kemungkinan mereka akan ikut shalat berjama’ah kedua.

Dalil kedua, hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِي الْمَدِينَةِ يُرِيدُ الصَّلَاةَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ». رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ وَالْأَوْسَطِ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ.

“Dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari luar kota menuju masjidnya tetapi mendapatkan manusia sudah selesai shalat berjama’ah maka beliau langsung balik ke rumahnya dan mengumpulkan keluarganya serta shalat berjama’ah bersama mereka.” (HR. at-Thabrani di dalam al-Kabir wa al-Ausath, para perawinya terpercaya. Berkata al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawaid (2/45) no. hadits 375)

Hadits di atas menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melakukan shalat berjama’ah bersama keluarganya di rumah, padahal beliau bisa mendirikan shalat berjama’ah di masjid setelah shalat berjama’ah pertama selesai. Namun hal itu tidak dilakukannya.

Masalah Keempat: Hukum Pengajian Sebelum Shalat Jum’at

Pada bab ini akan dijelaskan tiga masalah yang terkait dengan kegiatan yang sering dilaksanakan sebelum shalat Jum’at, yaitu pengajian dan pengumuman keuangan, serta menyetel murattal di masjid. Di bawah ini akan dibahas satu persatu;

(a) Hukum Pengajian sebelum Khutbah Jum’at

   Di beberapa masjid di Indonesia sering diadakan pengajian sebelum pelaksanaan shalat Jum’at, tujuan agar jama’ah mendapatkan pencerahan agama sambil menunggu naiknya khatib ke atas mimbar. Bagaimana hukumnya ?  

Jawabannya, bahwa pengajian atau pelajaran  agama yang disampaikan di masjid adalah sesuatu yang dianjurkan dalam Islam, agar kaum muslimin memahami ajaran agama mereka dengan baik.

Adapun jika pengajian atau pelajaran tersebut dilaksanakan sebelum khatib naik mimbar, maka hukumnya dirinci terlebih dahulu;

Pertama: Jika hal itu diniatkan semata-mata ingin menyampaikan ilmu yang bermanfaat kepada jama’ah yang datang, dan bukan karena hari jum’atnya, maka dibolehkan, selama tidak menganggu orang yang sedang shalat, membaca al-Qur’an atau berdoa. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mengadakan halaqah ilmu (pengajian) sebelum shalat Jum’at.

Kedua: Jika hal itu diniatkan, karena hari Jum’at, atau menyakini bahwa pengajian sebelum shalat Jum’at mempunyai keutamaan, maka hukumnya tidak boleh, karena keutamaan pengajian sebelum Jum’at tidak pernah diucapkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Terdapat hadits yang menyebutkan larangan mengadakan halaqah sebelum shalat Jum’at, yaitu  hadist ‘Amru bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata,

وَنَهَى عَنْ التَّحَلُّقِ قَبْلَ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘laihi wa sallam melarang untuk membuat halaqah (ilmu) sebelum shalat Jum’at“ (HR. Abu Daud,1079, at-Tirmidzi,322, an-Nasa’i,707)

Tetapi larangan itu berlaku jika halaqah ilmu tersebut memalingkan orang dari mendengar khutbah Jum’at, atau membuatnya tidak semangat untuk mendengarnya.

Berkata Badruddin al-‘Aini di dalam Syarah Sunan Abu Daud, “Dimakruhkan untuk membuat halaqah ilmu dan dzikir sebelum shalat Jum’at, karena ada perintah untuk menyibukkan diri dengan shalat serta diam untuk mendengar khutbah dan dzikir. Jika selesai darinya, maka dibolehkan untuk berkumpul dalam halaqah ilmu.”  

Di dalam al-Mudawanah Imam Malik disebutkan , “Berkata Ibnu Qasim, “Pada waktu imam shalat sedang duduk di atas mimbar, saya melihat Imam Malik sedang berhalaqah dengan murid-muridnya sebelum datangnya imam, bahkan setelah datang imampun beliau masih meneruskan pembicaraan dan tidak menghentikan pembicaraan tersebut, bahkan tidak menghadap wajahnya kepada imam. Tetapi tetap fokus pada pembicaraan mereka, sehingga muadzin berhenti. Ketika muadzin sudah berhenti (mengumandangkan adzan) dan imam mulai berdiri untuk menyampaikan khutbahnya, maka Imam Malik mulai memutar arah dan menghadap wajahnya kepada khatib, begitu juga murid-muridnya. Berkata Ibnu al-Qasim. “Saya diberitahu Imam Malik bahwa sebagian ulama terdahulu juga pernah mengadakan halaqah sebelum Khutbah Jum’at. Kemudian saya bertanya, kapan waktunya seseorang harus menghadap khatib pada hari Jum’at? Beliau menjawab, “Ketika imam akan memulai khutbahnya, bukan ketika imam datang. “

Kesimpulan: 

Dibolehkan mengadakan pengajian sebelum khutbah Jum’at dengan beberapa syarat:

(1) Tidak menyakini bahwa pengajian sebelum Jum’at mempunyai keutamaan secara khusus.

(2) Terdapat maslahat yang ingin dicapai.

(3) Tidak mengganggu jama’ah masjid yang sedang melaksanakan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikr. Syarat ini sangat sulit diwujudkan jika suaranya keras, apalagi menggunakan speaker. Berbeda dengan apa yang dilakukan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Imam Malik, mereka membuat halaqah ilmu (pengajian) dalam kelompok orang yang sangat terbatas dan suaranya hanya sampai kepada kelompok tersebut tanpa mengganggu jama’ah lain.

(4) Tidak menyebabkan jama’ah kelelahan atau tersedot fokusnya kepada pengajian, sehingga ketika waktu khutbah Jum’at tiba, mereka sudah tidak bersemangat lagi.

(5) Tidak dijadikan acara rutin setiap Jum’at, karena khawatir masyarakat menyangka kegiatan seperti adalah suatu keharusan.

(b) Hukum mengadakan Pengumuman sebelum Jum’at

Di Indonesia banyak masjid yang mengadakan pengumuman tentang laporan keuangan masjid dan laporan para petugas Jum’at; khatib, imam, muadzin. Bagaimana hukumnya?

Jawabannya bahwa menyampaikan pengumuman yang terkait dengan masjid di depan jama’ah sebelum pelaksanaan shalat Jum’at hukumnya boleh. Namun harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut ;

(1) Hendaknya mengumumkan hal yang dianggap penting saja.

(2) Tidak mengambil waktu yang panjang

(3) Memperhatikan kenyamanan jama’ah yang sedang shalat, dzikir dan membaca al-Qur’an

(4) Sebaiknya untuk laporan keuangan cukup ditempel di dinding pengumuman masjid. Begitu juga petugas khatib, imam dan muadzin, sehingga jama’ah tetap khusu’ di dalam menjalankan ibadah mereka.

(c) Hukum Menyetel Murattal di Masjid sebelum shalat Jum’at

Untuk masalah ini, sudah dibahas pada bab sebelumnya yaitu hukum mengeraskan suara di dalam masjid.

 

***

 

 

 

 

KARYA TULIS