Karya Tulis
763 Hits

Bab 4 Merahasiakan Nikmat

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

 

Bapaknya berkata: "Hai Anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."

(Qs. Yusuf: 5)

 

Pelajaran dari ayat di atas

 

Pelajaran (1) Kebolehan Merahasiakan Nikmat

 

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ

 

“Dia (Ya’qub) berkata, ‘Wahai anakku (Yusuf) janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu.”

 

(1) Ayat di atas menunjukkan larangan menceritakan mimpi kepada orang yang tidak berkepentingan, terlebih jika akan mendatangkan bahaya bagi dirinya.

 

(2) Ayat di atas juga menunjukkan keluasan ilmu dan pengetahuan Nabi Ya'kub, diantaranya adalah;

 

(a) Beliau memahami benar karakter  anak-anaknya dan pola komunikasi antar mereka. Dalam bahasa sekarang, beliau mengetahui ilmu psikologi, sosiologi dan ilmu komunikasi massa.  

(b) Beliau bisa memprediksi akibat dari sebuah perbuatan, dan memprediksi sebuah kejadian yang akan datang dengan tanda-tanda yang terlihat olehnya. Dalam bahasa sekarang, pengamat sosial dan politik.

 

(3) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa Nabi Ya’kub mengetahui ilmu takwil mimpi dengan bukti bahwa beliau mengkhawatirkan mimpi tersebut diceritakan kepada saudara-saudaranya. Artinya beliau mengetahui isi dan makna takwil mimpi tersebut. Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya (9/85),

 

وَفِيهَا أَيْضًا دَلِيل وَاضِح عَلَى مَعْرِفَة يَعْقُوب عَلَيْهِ السَّلَام بِتَأْوِيلِ الرُّؤْيَا ; فَإِنَّهُ عَلِمَ مِنْ تَأْوِيلهَا أَنَّهُ سَيَظْهَرُ عَلَيْهِمْ , وَلَمْ يُبَالِ بِذَلِكَ مِنْ نَفْسه ; فَإِنَّ الرَّجُل يَوَدّ أَنْ يَكُون وَلَده خَيْرًا مِنْهُ , وَالْأَخ لَا يَوَدّ ذَلِكَ لِأَخِيهِ .

 

“Ayat di atas menjadi dalil yang nyata akan pengetahuan Nabi Ya’kub terhadap takwil mimpi. Beliau mengetahui dari takwil tersebut, bahwa akan terjadi pada mereka, beliau tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, karena seorang laki-laki sangat menginginkan agar anaknya menjadi lebih baik daripada dirinya, sedangkan seorang saudara tidak menginginkan hal itu terjadi pada saudaranya yang lain.”

 

(4) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kadangkala larangan untuk mengerjakan sesuatu, bukan berarti pengekangan atau pembatasan hak asasi manusia, tetapi larangan tersebut membawa maslahat bagi orang yang dilarang. Khususnya jika larangan itu berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga jika larangan tersebut berasal dari orang tua kepada anaknya.

 

(5) Ayat di atas juga menunjukkan anjuran kepada orang tua agar menjelaskan alasan larangan yang ditujukan kepada anaknya. Dalam hal ini, Nabi Ya’kub menjelaskan alasan kenapa beliau melarang Yusuf untuk menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Beliau mengatakan bahwa hal itu bisa menimbulkan rasa cemburu dan iri hati kepada mereka, kemudian mereka akan membuat makar untuk mencelakakan Yusuf. Kekhawatiran Nabi Ya’kub tersebut, ternyata menjadi kenyataan di kemudian hari.  

 

(6) Ayat di atas juga menunjukkan anjuran merahasiakan suatu nikmat jika diprediksi akan menimbulkan fitnah dan madharat bagi pemilik nikmat, karena setiap pemilik nikmat, pasti ada yang hasad kepadanya.

 

(a) Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (2/450),

 

وَمِنْ هَذَا يُؤْخَذ الْأَمْر بِكِتْمَانِ النِّعْمَة حَتَّى تُوجَد وَتَظْهَر 

 

“Dari sini, bisa disimpulkan adanya perintah untuk menyembunyikan suatu nikmat, sampai dia datang dan nampak sendiri.”

 

(b) Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya (9/85),

 

وَفِيهَا أَيْضًا مَا يَدُلّ عَلَى جَوَاز تَرْك إِظْهَار النِّعْمَة عِنْد مَنْ تُخْشَى غَائِلَته حَسَدًا وَكَيْدًا

 

“Ayat di atas menunjukkan kebolehan merahasiakan nikmat ketika khawatir ada orang yang hasad dan merencanakan makar terhadapnya.”

 

Ini sesuai dengan hadist Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

 

  اسْتَعِينُوا عَلَى قَضَاءِ حَوَائِجِكُمْ بِالْكِتْمَانِ، فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُودٌ

 

Selesaikanlah beberapa hajat kalian, dengan cara menyembuyikannya, karena sesungguhnya setiap orang yang dapat nikmat akan ada orang yang hasad kepadanya.” (HR. ath-Thabrani. Hadist ini terdapat di dalam Silsilah ash-Shahihah 3/436)

 

Pelajaran (2) Makar dari Orang Dekat

 

 فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا

 

“Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.

 

(1) Ayat di atas menunjukkan bahwa seringkali perbuatan jahat dan makar, justru berasal dari orang-orang dekat, seperti:  saudara kandung, saudara ipar, paman, bibi, saudara sepupu, orang yang merawatnya. Maka seorang muslim dianjurkan tetap waspada terhadap tingkah laku orang-orang dekatnya, jika dirasa mencurigakan dan kelihatan tanda-tanda tidak baik pada dirinya.

 

(2) Ayat di atas juga menunjukkan kebolehan seorang muslim, mengingatkan saudaranya agar berhati-hati dengan seseorang yang terdapat tanda-tanda keburukan pada dirinya dan tingkah-lakunya yang mencurigakan. Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya (9/85),

 

   وَفِي هَذِهِ الْآيَة دَلِيل عَلَى أَنَّ مُبَاحًا أَنْ يَحْذَر الْمُسْلِم أَخَاهُ الْمُسْلِم مِمَّنْ يَخَافهُ عَلَيْهِ , وَلَا يَكُون دَاخِلًا فِي مَعْنَى الْغِيبَة 

 

“Ayat di atas sebagai dalil kebolehan seorang muslim mengingatkan saudaranya yang muslim agar berhati-hati terhadap seseorang yang ditakutkan (kejahatannya). Dan ini tidak termasuk di dalam perbuatan ghibah (yang dilarang).”

 

(3) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa saudara-saudara Yusuf bukanlah Nabi. Ini diketahui dari sifat-sifat mereka yang hasad kepada Yusuf, bahkan berencana untuk membunuhnya. Ini semua bukanlah sifat para nabi. Apalagi mereka telah durhaka kepada bapaknya yang merupakan seorang nabi, durhaka kepadanya berarti durhaka kepada seorang nabi. Semua sifat tersebut dikategorikan dosa-dosa besar.

Seorang nabi pasti dijauhi dari berbuat dosa besar, karena dia seorang maksum. Benar, seorang nabi bisa berbuat salah atau kekeliruan, tetapi biasanya dilakukan bukan karena kesengajaan, atau bermaksud baik, tetapi keliru di dalam penerapannya. Itupun pasti akan langsung diluruskan oleh Allah. Ini makna maksum. Adapun berbuat dosa besar, tidak mungkin dilakukan oleh seorang nabi. Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya (9/85),

 

 وَمِنْ هَذَا وَمِنْ فِعْلهمْ بِيُوسُف يَدُلّ عَلَى أَنَّهُمْ كَانُوا غَيْر أَنْبِيَاء فِي ذَلِكَ الْوَقْت , وَوَقَعَ فِي كِتَاب الطَّبَرِيّ لِابْنِ زَيْد أَنَّهُمْ كَانُوا أَنْبِيَاء , وَهَذَا يَرُدّهُ الْقَطْع بِعِصْمَةِ الْأَنْبِيَاء عَنْ الْحَسَد الدُّنْيَوِيّ , وَعَنْ عُقُوق الْآبَاء , وَتَعْرِيض مُؤْمِن لِلْهَلَاكِ , وَالتَّآمُر فِي قَتْله

 

“Dari sini dan dari perbuatan mereka terhadap Yusuf menunjukkan bahwa mereka bukan nabi pada waktu itu. Di dalam buku ath-Thabari disebutkan bahwa Ibnu Zaid berpendapat bahwa mereka adalah nabi. Ini terbantahkan secara tegas dengan kemaksuman para nabi dari sifat hasad duniawi dan dari sifat durhaka kepada kedua orang tua, serta menjerumuskan seorang mukmin kepada kehancuran, bahkan bersengkokol untuk membunuhnya.”

 

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (2/451),

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَقُمْ دَلِيل عَلَى نُبُوَّة إِخْوَة يُوسُف وَظَاهِر هَذَا السِّيَاق يَدُلّ عَلَى خِلَاف ذَلِكَ وَمِنْ النَّاس مَنْ يَزْعُم أَنَّهُ أُوحِيَ إِلَيْهِمْ بَعْد ذَلِكَ وَفِي هَذَا نَظَر وَيَحْتَاج مُدَّعِي ذَلِكَ إِلَى دَلِيل

“Ketahuilah bahwa tidak ada satupun dalil yang menunjukkan kenabian saudara-saudara Yusuf, urutan ayat di atas justru menunjukkan sebaliknya. Sebagian orang mengklaim bahwa mereka mendapatkan wahyu setelah peristiwa ini. Pendapat ini tidak benar dan membutuhkan dalil.”

Dalil yang sering disampaikan oleh pendapat yang mengatakan bahwa saudara-saudara Yusuf adalah nabi adalah firman Allah,  

 

قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ

 

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya.” (Qs.al-Baqarah:136)

Jawabannya bahwa ayat di atas tidak menyebutkan secara jelas bahwa saudara-saudara Yusuf adalah nabi. Yang disebutkan ayat di atas adalah lafadz (al-Asbath) yang artinya anak cucu Nabi Ya’kub. Di sini tidak dijelaskan siapa mereka, apakah saudara-saudara Yusuf termasuk di dalamnya? Tidak ada penjelasan secara rinci, karena lafadz tersebut masih bersifat umum, makanya tidak bisa dijadikan dalil sampai ada keterangan yang merincinya, dan sampai sekarang tidak ada keterangan tersebut. Sehingga bisa disimpulkan bahwa saudara-saudara Yusuf bukanlah nabi.  

 

Pelajaran (3) Syetan Musuh Manusia  

 

 إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِين

 

“Sesungguhnya syetan itu bagi manusia (adalah) musuh yang nyata.”

 

(1) Ayat di atas menunjukkan bahwa hasad dan dengki berasal dari bisikan syetan, karena syetan ingin memperkeruh suasana keluarga yang tenang, memisahkan antara suami dan istri, mengganggu hubungan orang tua dan anak. Syetan inilah musuh nyata bagi manusia, namun kebanyakan manusia tidak mengetahui.

 

Berkata Sayyid Thanthawi di dalam at-Tafsir al-Wasith (7/318),

 

وفيها إشارة إلى أن الشيطان هو الذى يغريهم بالكيد له إذا ما قص عليهم ما رآه ، وهو بذلك لا يثير فى نفسه الكراهة لإِخوته .

 

“Ayat di atas mengisyaratkan bahwa sesungguhnya syetanlah yang menjerumuskan mereka untuk berbuat makar kepada Yusuf, jika dia menceritakan mimpinya kepada mereka. Maka menceritakan mimpi itu, sebenarnya tidak dengan sendirinya menimbulkan kebencian kepada saudara-saudaranya.”

 

Ini sesuai dengan firman Allah,

 

وَجَاءَ بِكُمْ مِنَ الْبَدْوِ مِنْ بَعْدِ أَنْ نَزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

“Dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syetan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Yusuf: 100)  

 

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa yang merusak hubungan antara Yusuf dan saudara-saudaranya adalah syetan.

 

(2) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa perbuatan maksiat bisa dinisbatkan kepada syetan. Artinya bahwa tindakan makar terhadap saudaranya adalah tindakan syetan, walaupun yang melakukan adalah manusia. Berkata ar-Razi di dalam tafsirnya (8/496),

 

والسبب في هذا الكلام أنهم لو أقدموا على الكيد لكان ذلك مضافاً إلى الشيطان ونظيره قول موسى عليه السلام هذا من عمل الشيطان

 

“Sebab adanya perkataan ini, yaitu jika mereka melakukan makar, maka akan dinisbatkan perbuatan tersebut kepada syetan. Ini seperti perkataan Musa 'alaihi as-salam, ini adalah perbuatan syetan.”  

 

Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah,

 

 فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ

 

“Lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syetan sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).” (Qs. al-Qashash: 15)

 

Juga sesuai dengan firman Allah,  

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Maidah: 90)  

 

(3) Ayat di atas juga menunjukkan bahwa Yusuf tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya, karena dia sangat taat kepada bapaknya dan tidak menyelisihinya. Berkata Ibnu ‘Asyur di dalam at-Tahrir wa at-Tanwir (7/307),

 

وظاهر الآية أن يوسف عليه السّلام لم يقص رؤياه على إخوته وهو المناسب لكماله الذي يبعثه على طاعة أمْر أبيه . ووقع في الإسرائيليات أنه قصّها عليهم فحسدوه

 

“Secara lahir ayat di atas menunjukkan bahwa Yusuf tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Ini sangat sesuai dengan kesempurnaan (akalnya) sehingga mendorongnya untuk mentaati bapaknya. Adapun di dalam Israiliyat (riwayat yang berasal dari Bani Israel), bahwa Yusuf menceritakannya kepada mereka, sehingga mereka menjadi hasad terhadapnya.”

 

Pernyataan Ibnu ‘Asyur di atas dikuatkan oleh pernyataan Rasyid Ridha di dalam al-Manar (12/210),

 

 وما قصه الله هو الحق الذي روي بالتواتر القطعي ،وسفر التكوين غير مروي بالأسانيد المتصلة المتواترة ، ولا دليل على أن أصله وحي من الله تعالى ، لكنه كتاب قديم التاريخ له قيمة لا تعصمه من الخطأ

 

“Apa yang diceritakan Allah adalah yang benar, karena diriwayatkan secara mutawatir qhath’i. Sedangkan (Kitab Kejadian) diriwayatkan  dengan sanad yang tidak bersambung dan mutawatir. Tidak pula ada bukti bahwa kitab tersebut adalah wahyu dari Allah. Kitab tersebut hanyalah buku yang mempunyai sejarah lama, berbobot, tetapi tidak lepas dari kesalahan.” 

KARYA TULIS