Karya Tulis
853 Hits

Bab 1 Doa Nabi Adam


قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. 

(Qs. al-A’raf: 23)

 

Hikmah (1): Mengakui Kesalahan

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri.”

(1) Salah satu adab dalam berdoa adalah mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Nabi Adam dan istrinya mengaku kesalahannya, yaitu memakan buah yang terlarang. Mereka berdua menyesali perbuatannya dan memohon ampun, serta bertaubat kepada Allah.

Salah satu syarat diterimanya taubat, adalah adanya rasa penyesalan dalam dirinya dan mengakui secara jujur atas segala kesalahannya.

Berkata Abu Zahrah di dalam Zahratu at-Tafasir (5/2800) bahwa (Rabbana) adalah ungkapan dari orang yang bersimpuh dan takut kepada Tuhannya.

(2) Hikmah Allah mentakdirkan dosa bagi hamba-hambaNya, adalah sebagai berikut;

(a) Menunjukkan bahwa seorang hamba adalah makhluk lemah, tidak bersih dari kekurangan dan kesalahan, walau dia seorang nabi. Tidak ada satu nabi pun kecuali pernah berbuat kesalahan. Oleh karenanya mereka diperintahkan untuk selalu beristighfar.

(b) Menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Hal itu karena jika seorang hamba berbuat salah, kemudian mengakui kesalahannya dan beristighfar, maka Allah akan mengampuninya dan mencintai hamba tersebut. Di dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ وَقَدْ أَضَلَّهُ فِي أَرْضِ فَلَاةٍ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya melebihi salah seorang dari kalian yang mendapatkan hewan tunggangannya yang telah hilang di padang yang luas’.” (HR. al-Bukhari, 5834)

Di dalam riwayat lain disebutkan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي وَاللَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ يَجِدُ ضَالَّتَهُ بِالْفَلَاةِ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ أُرَاهُ ضَالَّتَهُ وَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا فَإِذَا أَقْبَلَ إِلَيَّ يَمْشِي أَقْبَلْتُ إِلَيْهِ أُهَرْوِلُ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Allah 'azza wajalla berfirman, 'Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku akan bersamanya ketika ia mengingat-Ku', dan Allah sangat senang dengan taubat seorang hamba-Nya dari pada salah seorang di antara kalian ketika mendapatkan untanya yang hilang di padang pasir. -Abu Abdullah berkata; Aku melihat bahwa lafazh itu adalah untanya yang hilang- ‘Dan barangsiapa mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta, barangsiapa mendekatkan diri kepadaku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia menemui-Ku dengan berjalan maka Aku menemuinya dengan berlari’.” (HR. Ahmad, 10488)

(c) Menunjukkan akan ketundukan mutlak seorang hamba kepada Tuhannya.

(3) Pengakuan Nabi Adam ‘alaihi as-salam terhadap dosanya, mirip dengan pengakuan Nabi Yunus ‘alaihi as-salam terhadap dosanya, sebagaimana firman-Nya,

وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (87) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ (88

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Anbiya’: 87-88)

(4) Muhammad ‘Abdul Lathif di dalam Audhahu at-Tafasir (1/181) menjelaskan maksud penyebutan doa Nabi Adam pada ayat di atas adalah ingin mengajarkan kepada kita bahwa orang yang sombong dan merasa benar serta tidak mengakui kesalahannya akan berakhir dengan kehancuran dan kebinasaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Iblis. Sebaliknya barangsiapa yang terlanjur berbuat salah tetapi mau mengakui kesalahan dan dosanya, serta memohon ampunan dan rahmat dari Allah maka berakhir dengan keselamatan dan mendapatkan pertolongan dari Allah.

(5) Pernyataan di atas dikuatkan oleh asy-Sya’rawi di dalam tafsirnya (7/4089) yang menjelaskan perbedaan antara maksiat Iblis dan maksiat Adam yaitu maksiat Iblis diiringi dengan penolakan terhadap perintah Allah, sedangkan maksiat Adam diiringi dengan pengakuan dosa dan permohonan ampunan.

(6) Ibnu ‘Asyur di dalam at-Tahrir wa at-Tanwir (8/67) menjelaskan bahwa Nabi Adam dan Siti Hawa mengakui kesalahannya, juga mengetahui secara yakin bahwa madharat dari perbuatan maksiat akan kembali kepada mereka berdua. Oleh karenanya, mereka berdua merasa menzhalimi diri mereka sendiri.

(7) Abu Bakar al-Jazairi di dalam Aisaru at-Tafasir (2/160) menyebutkan bahwa doa Nabi Adam di atas merupakan kalimat yang Allah turunkan kepada Nabi Adam untuk dibaca ketika mereka melakukan maksiat sebagai bentuk taubat. Maka Allah menerima taubat mereka berdua.

 

 

Hikmah (2): Kekuatan Ampunan Allah

وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا

“Dan jika Engkau tidak mengampuni kami.”

Ayat di atas menunjukkan beberapa kekuatan istighfar, diantaranya;

(a) Istighfar itu menghapus dosa-dosa di masa lalu walaupun sebanyak buih di lautan. Sebagaimana dalam hadits Qudsi yang  diriwayatkan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

 يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap kepada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu apa adanya. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampun kepada-Ku tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mensyirikan-Ku dengan sesuatu, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini gharib. Hadits ini dishahihkan al-Albani)

(b) Istighfar akan meninggikan derajat seorang hamba di dunia dan di akhirat. Ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، أَنَّى لِي هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ "

“Sesungguhnya Allah telah mengangkat derajat seorang hamba sholeh di surga. Hamba tersebut bertanya kepada Allah, ‘Wahai Rabb, mengapa derajat saya jadi terangkat? Allah berfirman, ‘Itu karena anakmu memohonkan ampun atas dosa-dosamu.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi. Berkata al-Munawi: ‘Berkata adz-Dzahabi di dalam al-Muhadzab: Sanadnya kuat’. Berkata al-Haitsami: ‘Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan athThabari dengan sanad yang para perawinya adalah perawi shahih, kecuali ‘Ashim bin Bahdalah dia adalah hasan haditsnya’) 

(c) Istighfar mendatangkan rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

قَالَ يَا قَوْمِ لِمَ تَسْتَعْجِلُونَ بِالسَّيِّئَةِ قَبْلَ الْحَسَنَةِ لَوْلَا تَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dia berkata, “Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” (Qs. an-Naml: 46)

(d) Istighfar mendatangkan rezeki dan anak. Dalam surat Nuh, Allah telah menjanjikan kepada siapa saja yang mau beristighfar dan memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta'ala akan diturunkan kepadanya rezeki yang melimpah dan diberikan kepadanya keturunan yang membawa berkah, sebagaimana firman-Nya,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَارًاوَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Qs. Nuh: 10-12)

(e) Istighfar dapat menolak bala’ dan bencana. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Qs. al-Anfal: 33)

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu ketika menafsirkan ayat di atas: “Dulu para sahabat mempunyai dua penolak bala’, yaitu keberadaan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan istighfar, maka ketika Rasulullah wafat, penolak bala’ itu tinggal satu, yaitu istighfar.”

Hikmah (3): Kasih Sayang Allah

وَتَرْحَمْنَا

“Dan merahmati kami.”

(1) Kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya meliputi kasih sayang Allah di dunia dan di akhirat. Kasih sayang Allah di dunia berupa: kebahagiaan hidup, ketenangan hati, kelapangan dada, keridhaan kepada takdir, dan semangat dalam beribadah kepada-Nya. Adapun kasih sayang Allah di akhirat yang paling utama adalah surga-Nya.

(2) Dalam doa Nabi Adam di atas, istighfar didahulukan sebelum rahmat Allah, karena syarat mendapatkan rahmat Allah yang berupa surga adalah diampuni dosa-dosa seorang hamba. Ini sesuai dengan firman Allah,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Ali Imran: 133)

Ayat di atas menunjukkan bahwa ampunan Allah sangat diperlukan bagi seorang hamba, sebelum masuk ke dalam surga-Nya yang seluas langit dan bumi.

(3) Di sana ada perbedaan antara sifat Pengasih dan Penyayang dari Allah subhanahu wa ta’ala, yang tersebut di dalam firman-Nya,

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang.” (Qs. al-Fatihah: 2)

Keterangan dari ayat di atas dan perbedaan antara Ar-Rahman dan Ar-Rahim telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yang menerangkan Doa Usia 40 Tahun.

(4) Berkata Abu Zahrah di dalam Zahratu at-Tafasir (5/2800), “Mereka berdua (Adam dan Hawa) memohon ampunan dari Allah, tidak hanya itu saja mereka juga memohon agar diberikan limpahan ramhat dari-Nya.”

Hikmah (4): Kriteria Untung dan Rugi

لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.

(1) Nabi Adam ‘alaihi as-salam dalam doa ini telah memahami dengan baik bahwa untung dan rugi tidak diukur dengan banyaknya materi, tingginya jabatan, luasnya relasi, dan melimpahnya makanan. Tetapi untung dan rugi diukur dengan dapatnya ampunan dan kasih sayang Allah atau tidak. Jika seseorang yang hidup di dunia ini tidak mendapatkan ampunan dan kasih sayang Allah, maka dia adalah orang yang sangat merugi, walaupun bergelimangan dengan harta.

Sebaliknya seorang hamba yang mendapatkan ampunan dan kasih sayang Allah adalah hamba yang paling beruntung di dunia dan di akhirat, walaupun secara lahir hidupnya dalam keterbatasan.

(2) Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar (3/12) menjelaskan bahwa Nabi Adam ‘alaihi as-salam dan Siti Hawa memahami keberuntungan hakiki itu tergantung kepada ampunan secara mutlak  terhadap dosa-dosa yang dikerjakan dan dosa-dosa lainnya.

(3) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bertemu dengan Bulan Ramadhan tetapi tidak diampuni oleh Allah, bahwa dia adalah orang yang merugi dan celaka. Sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bawasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رقي المنبر فقال : آمين ، آمين ، آمين ، فقيل له : يا رسول الله ، ما كنت تصنع هذا ؟ فقال: قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بَعُدَ دخل رمضان فلم يغفر له ، فقلت : آمين ، ثم قال : رغم أنف عبدٍ أو بَعُدَ أدرك والديه أو أحدهما لم يدخله الجنة ، فقلت : آمين ، ثم قال : رغم أنف عبد أو بَعُدَ ذُكِرت عنده فلم يصل عليك ، فقلت : آمين.

Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam naik mimbar dan mengatakan, ‘Amin, amin, amin’ (semoga Allah kabulkan). Seseorang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, apa yang anda lakukan?” Beliau menjawab: “Malaikat Jibril berkata kepadaku: Semoga Allah mencelakakan seorang hamba atau menjauhkannya, (yaitu) orang yang mendapatkan bulan Ramadan, tetapi dirinya tidak mendapatkan ampunan. Maka aku pun berkata: “Amin.” Kemudian (Jibril) mengatakan: “Celakalah seorang hamba atau dijauhkan, (yaitu) orang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah salah satu dari keduanya, akan tetapi hal itu  tidak memasukkan ke surga.” Maka aku pun mengatakan, “Amin”. Kemudian (Jibril) mengatakan lagi: “Semoga Allah mencelakakan seorang hamba atau menjauhkannya, disebutkan namaku, tetapi dia tidak bershalawat kepada engkau.” Maka aku pun berkata “Amin”. (HR. Ibnu Huzaimah, 1888. Lafazh hadits berasal darinya, dan at-Tirmidzi, 3545, Ahmad, 7444, Ibnu Majah, 908)

 

***

 

 

KARYA TULIS