Karya Tulis
2258 Hits

Bab 13 Doa di Usia 40 Tahun


رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.

(Qs. al-Ahqaf: 15)

 

Hikmah (): Usia 40 Tahun

Para ulama menjelaskan bahwa doa di atas ditujukan untuk orang-orang yang memasuki usia 40 tahun. Ini dijelaskan pada firman Allah sebelumnya,

حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً

“Sampai ketika dia dewasa dan mencapai usia 40 tahun.” (Qs. al-Ahqaf: 15)

Apa rahasia di balik usia 40 tahun? 

Jawabannya sebagai berikut:

(1) Para nabi diangkat oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada usia 40 tahun. Karena pada usia tersebut jiwa seseorang sudah matang, sehingga siap menerima tugas risalah dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adhim (7/280), “Umur 40 tahun adalah umur dimana akal seseorang menjadi sempurna, pemahamannya lebih matang dan cenderung lebih bijak.”

(2) Seseorang yang sudah berumur 40 tahun, biasanya karakternya sudah tidk berubah lagi, dia akan menjadi orang yang istiqamah pada jalannya. Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adhim (7/280), “Biasanya orang yang sudah berumur 40 tahun tidak berubah lagi karakternya.”

(3) Diriwayatkan dari al-Qasim bin ‘Abdurrahman bahwa ia bertanya kepada Maruq, “Kapan seseorang dihukum karena dosa-dosanya?” Beliau berkata, “Jika anda sudah sampai umur 40 tahun, maka berhati-hatilah.”

 

 

(4) Berkata al-Hajaj bin ‘Abdullah al-Hakami, salah satu Amir bani Umayah di Damaskus, “Saya meninggalkan maksiat dan dosa selama 40 tahun karena malu kepada masyarakat. Setelah itu, saya meninggalkan maksiat dan dosa, karena malu kepada Allah.”

(5) Orang Barat menganggap usia 40 tahun sebagai permulaan hidup yang hakiki. Walter B. Pitkin mengarang buku Life Begins at Forty (Amazon, 1932).

Hikmah (): Perbandingan Dua Doa

Doa usia 40 tahun di atas mirip dengan doa Nabi Sulaiman yang tersebut dalam firman Allah,

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh".” (Qs. an-Naml: 19)

Diantara persamaan kedua doa di atas, adalah sebagai berikut:

Doa Usia 40 Tahun

No

Doa Nabi Sulaiman

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ

1.

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ

وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ

2.

وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ

وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِ

3.

وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

إِنِّي تُبْتُ إِلَيْك

4.

 

وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

5.

 

 

Hikmah (): Bagikan Rasa Syukur

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ

Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku.

(1) Doa di atas menunjukkan beberapa hal, diantaranya:

(a) (رَبِّ) mengakui Allah sebagai pencipta dan pengatur alam semesta.

(b) (أَوْزِعْنِي) menunjukkan bahwa rasa syukur itu tidak bisa didapat oleh seseorang dengan sendirinya, tetapi harus meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ini dikuatkan dengan firman Allah,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (Qs. al-Fatihah: 4)

(2) Untuk menyembah Allah, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. Tetapi harus meminta pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ini dikuatkan dengan hadits Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

اللَّهُمَّ أعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

”Ya Allah, tolong kami untuk selalu menyebut nama-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah yang baik untuk-Mu. (Hadits Shahih. HR. Abu Daud, an-Nasai, dan Ahmad)

(3) Al-Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil (4/195) menyebutkan bahwasanya Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi teman Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam ketika beliau berumur 18 tahun, sedangkan Rasulullah berumur 20 tahun. Di saat keduanya melakukan perjalanan dagang ke Negeri Syam. Ketika beliau berusia 40 tahun dan diberitahu bahwa Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi maka beliau langsung beriman kepadanya, dan berdoa kepada Allah,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ

Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku.

(1) (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ) salah satu ibadah yang utama bagi seorang muslim adalah mensyukuri nikmat Allah. Buktinya, mensyukuri nikmat banyak disebut di dalam al-Qur’an dalam bentuk positif, seperti: di dalam doa orang-orang shalih, pujian kepada yang orang yang bersyukur, celaan kepada orang yang mengkufuri nikmat, dan lain-lainnya.

(2) Diantara keutamaan bersyukur adalah sebagai berikut;

  • Hikmah yang diberikan kepada Luqman al-Hakim adalah bersyukur (Qs. 31: 12)
  • Pujian Allah kepada Nabi Nuh sebagai hamba yang bersyukur (Qs. 17: 3)
  • Pujian Allah kepada Nabi Ibrahim sebagai hamba yang bersyukur (Qs. 16: 120-128)
  • Celaan kepada orang yang mengkufuri nikmat (Qs. 14: 34)

(3) (أَنْعَمْتَ عَلَيَّ) Nikmat terbagi menjadi dua macam:

  • Nikmat dunia, berupa: harta, jabatan, anak, istri, fasilitas, popularitas, dan sebagainya.
  • Nikmat agama, seperti: Islam, iman, ihsan, ilmu, takwa, segala bentuk ketaatan, ketenangan jiwa, kepuasan batin, hidup bahagia, kedekatan dengan Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua nikmat di atas teringkas dalam firman-Nya,

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang.” (Qs. al-Fatihah: 3)

Ar-Rahman artinya Maha Pengasih, yang memberikan materi kepada seluruh makhluk, manusia, hewan dan tetumbuhan. Materi untuk manusia berupa makanan dan minuman, harta dan jabatan, serta fasilitas hidup yang lain. Ini berlaku umum bagi orang kafir dan mukmin, bagi orang baik maupun jahat. Untuk hewan, materi berupa makanan dan minuman, insting, kemampuan untuk mempertahankan diri dan reproduksi. Untuk tetumbuhan, materi berupa kemampuan berkembang dan berbuah. Proses pemberian materi kepada tiga makhluk hidup di atas, teringkas di dalam firman-Nya,

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى (1) الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى (2) وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى (3) وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى (4) فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى (5)

“Memujilah dengan nama Tuhanmu yang Maha Tinggi. Yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menetapkan segala sesuatu dan memberikan petunjuk. Yang mengeluarkan rerumputan, dan menjadikannya kering kerontang.” (Qs. al-A’la: 1-5)

Makna (فَهَدَى) pada ayat di atas adalah memberikan petunjuk kepada seluruh makhluk untuk mempertahankan diri dan berkembang biak. Setiap makhluk yang Allah ciptakan akan diberikan kemampuan untuk mencari makan sesuai dengan karakter masing-masing, dan kemampuan berkembang biak tanpa berkonsultasi ke dokter.

Adapun Ar-Rahim adalah Maha Penyayang, yang khusus menyayangi hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya. Allah berikan kepada mereka kebahagiaan hidup, ketenangan batin, kepuasan hati, kedekatan dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Ini hanya diberikan kepada orang-orang beriman.

Dalil bahwa nikmat yang lebih dominan dari kedua nikmat di atas adalah nikmat agama, yaitu firman Allah,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. an-Nisa: 69)

Ayat di atas menunjukkan bahwa yang diberikan nikmat oleh Allah ada empat golongan, yaitu: para nabi, para shidiqin, para syuhada, dan para shalihin. Sebagaimana kita ketahui mereka tidak semuanya kaya dan memiliki jabatan. Bahkan sebagian besar dari mereka hidup sederhana dan menjadi rakyat biasa. Tetapi Allah menyebutkan bahwa mereka mendapatkan nikmat, berarti yang dimaksud nikmat tersebut adalah nikmat hidayah, iman, takwa dan kebahagiaan hidup.

Hikmah (): Nikmat Orang Tua

وَعَلَى وَالِدَيَّ

“Dan kepada kedua orang tuaku.”

(1) Orang tua adalah nikmat bagi anak-anaknya. Mereka bisa lahir di dunia karena jasa kedua orang tua. Oleh karenanya, wajib bersyukur dan berbakti kepada orang tua, serta tidak boleh durhaka. Salah satu bentuk berbakti kepada kedua orang tua adalah mendoakannya dan mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepada orang tua. Karena nikmat kepada orang tua adalah nikmat kepada anak juga. Contohnya kalau orang tua mendapatkan harta maka harta itu akan mengalir kepada anaknya.

Yang paling beruntung adalah anak yang memiliki orang tua yang shalih. Sebagaimana di dalam firman-Nya,

آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا

“Bapak-bapakmu dan anak-anakmu, kalian tidak tahu siapa di antara dari mereka yang lebih bermanfaat bagimu.” (Qs. an-Nisa: 11)

(2) Berkata ar-Razi di dalam Mafatih al-Ghaib (28/20), “Jika ada yang bertanya jika seseorang diperintahkan untuk bersyukur terhadap nikmat yang Allah berikan kepadanya, bagaimana dia diperintahkan juga untuk bersyukur terhadap nikmat yang diberikan kepada kedua orang tuanya? Bukankah seseorang hanya diwajibkan mensyukuri Allah terhadap nikmat yang diberikan kepadanya saja? Maka jawaban kami bahwa setiap nikmat yang Allah berikan kepada kedua orang tuanya pasti anaknya akan ikut merasakan nikmat tersebut. Oleh karena itu Allah berwasiat kepada manusia agar bersyukur terhadap nikmat yang Allah berikan kepadanya dan kepada kedua orang tuanya.”

(3) Berkata al-Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil (4/195), “Berkata ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ayat ini diturunkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq karena kedua orang tuanya masuk Islam. Tidak ada dari kalangan Muhajirin yang kedua orang tuanya masuk Islam kecuali Abu Bakar ash-Shiddiq. Maka Allah berwasiat kepadanya agar berbakti kepada kedua orang tua’.”

Nama bapaknya Abu Bakar adalah Abi Kuhafah ‘Utsman bin ‘Amr, sedangkan ibunya bernama Ummu al-Khair Salma binti Sahr bin ‘Amr.

Hikmah (): Amal Shalih yang Diridhai Allah

وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ

“Dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai.”

(1) Salah satu bentuk kesyukuran atas nikmat Allah adalah beramal shalih yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yang penjelasannya sebagai berikut:

(a) Amal shalih tidak akan bisa dikerjakan oleh seorang muslim tanpa taufik dan hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Karena Dia-lah yang memberikan ilham, menggerakkan hati, serta memberikan dorongan jiwa kepada hamba-Nya untuk mengerjakan amal shalih. Diantara dalilnya adalah firman-Nya,

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menggerakan hati mereka untuk bertaubat, sehingga mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Qs. at-Taubah: 118)

Pada ayat di atas Allah menggerakkan hati tiga para sahabat untuk bertaubat maka Allah menerima taubat mereka. Berkata as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/354), “Maksud dari ayat di atas bahwa Allah memberikan izin dan taufiq agar mereka bertaubat. Setelah mereka bertaubat, maka Allah akan menerima taubat mereka.”

Berkata Ar-Razi di dalam Mafatih al-Ghaib (28/19), “Berkata sahabat-sahabat kami, ‘Pada ayat di atas (Qs. al-Ahqaf:15) seorang hamba meminta agar diberikan ilham untuk bersyukur terhadap nikmat-nikmat Allah.’ Ini menunjukkan bahwa tiada suatu ketaatan dan amal shalih yang sempurna kecuali atas pertolongan Allah. Seandainya seorang hamba mampu beribadah secara mandiri tanpa pertolongan Allah, tentunya permohonan pada ayat di atas tidak ada manfaatnya.”

(b) Disebut amal shalih karena amal saja tidak cukup. Banyak dari amalan manusia ditolak oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena tidak memenuhi syarat. Adapun syarat diterimanya amal dan disebut dengan amal shalih kalau memenuhi dua perkara, yaitu ikhlas dan mutaba’ah.

Yang dimaksud ikhlas adalah seseorang beramal hanya mencari pahala di sisi Allah, tidak mencari pujian dan materi dari manusia. Ikhlas secara bahasa artinya kosong atau murni. Seseorang yang berbuat ikhlas, tidak ada di dalam hatinya seorang pun kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun mutaba’ah artinya mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal, tidak mengada-ada dan merekayasa suatu amal yang tidak dalilnya dari al-Qur’an dan sunnah.

(c) Amal shalih tersebut harus diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Maksudnya adalah dalam hidup ini yang penting bagi seorang hamba adalah mendapatkan ridha dari Allah, walaupun tidak diridhai oleh manusia yang tidak ada hubungan dengan dirinya.

Di dalam pepatah Arab disebutkan tentang pentingnya mencari ridha Allah dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan murka Allah,

رضا الناس غاية لا تدرك .. ورضا الله غاية لا تترك ..فاترك مالا يدرك .. وأدرك مالا يترك .

“Mencari ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, sedang mencari ridha Allah adalah tujuan yang tidak boleh ditinggalkan. Maka tinggalkan sesuatu yang tidak bisa dicapai dan carilah sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan.” (Sebagian menisbatkan perkataan ini kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah)

Ar-Razi di dalam Mafatih al-Ghaib (28/20) menjelaskan bahwa amal shalih terbagi menjadi dua: (a) amal shalih menurut dirinya baik dan juga baik di sisi Allah, dan (b) amal shalih menurut dirinya baik tetapi sebenarnya tidak baik di sisi Allah. Oleh karena itu, seseorang diperintahkan untuk meminta amal shalih yang baik menurut dirinya, dan juga amal shalih yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

(2) Berkata al-Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil (4/195), “Berkata Ibnu ‘Abbas, ‘Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq berdoa agar bisa beramal shalih yang diridhai oleh Allah maka Allah mengabulkan doa tersebut. Beliau langsung memerdekakan sembilan budak muslim yang disiksa karena keislamannya. Tidaklah beliau menginginkan sesuatu kebaikan kecuali Allah membantunya’.”

(3) Disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ صَائِمًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَا قَالَ فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ جَنَازَةً قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَا قَالَ فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَا قَالَ فَمَنْ عَادَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مَرِيضًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bertanya: "Siapakah di antara kalian yang pagi ini sedang berpuasa?" Abu Bakar menjawab, "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah menghantarkan jenazah?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?" Abu Bakar menjawab, "Aku." Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah semua itu ada pada seseorang kecuali dia pasti akan masuk surga".” (HR. Muslim, 1707)

Hikmah (): Perbaikan Keluarga

وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي

“Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.”

(1) Dalam hidup manusia, terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki, yang paling utama adalah perbaikan keluarga. Karena perbaikan keluarga akan membawa kepada perbaikan anak keturunan, dan perbaikan anak keturunan akan membawa perbaikan masyarakat.

(2) Oleh karenanya, syetan sangat berambisi untuk merusak hubungan keluarga. Diantara bukti-buktinya adalah:

(a) Syetan membuat sihir untuk merusak hubungan keluarga, sebagaimana firman-Nya,

يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ

“Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.” (Qs. al-Baqarah: 102)

(b) Ini dikuatkan dengan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,

 عن جابر رضي الله عنه قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- إنَّ إبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ علَى الماءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَراياهُ، فأدْناهُمْ منه مَنْزِلَةً أعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أحَدُهُمْ فيَقولُ: فَعَلْتُ كَذا وكَذا، فيَقولُ: ما صَنَعْتَ شيئًا، قالَ ثُمَّ يَجِيءُ أحَدُهُمْ فيَقولُ: ما تَرَكْتُهُ حتَّى فَرَّقْتُ بيْنَهُ وبيْنَ امْرَأَتِهِ، قالَ: فيُدْنِيهِ منه ويقولُ: نِعْمَ أنْتَ.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air lalu mengirim bala tentaranya, (setan) yang kedudukannya paling rendah bagi Iblis adalah yang paling besar godaannya. Salah satu diantara mereka datang lalu berkata: 'Aku telah melakukan ini dan itu.' Iblis menjawab: 'Kau tidak melakukan apa pun.' Lalu yang lain datang dan berkata: 'Aku tidak meninggalkannya hingga aku memisahkannya dengan istrinya.' Beliau bersabda: "Iblis mendekatinya lalu berkata: 'Bagus kamu." (HR. Muslim, 5032)

(c) Salah satu pengaruh godaan syetan terhadap hubungan keluarga adalah dia berusaha sekuat tenaga agar keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan, walaupun keturunan itu karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (50)

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Qs. asy-Syura: 49-50)

(d) Terdapat sebuah kisah nyata bahwa seorang wanita sudah menikah sudah lebih dari sepuluh tahun tetapi tidak kunjung dikaruniakan keturunan. Wanita tersebut sudah berusaha berobat ke berbagai tempat, tetapi keturunan yang diharapkan belum kunjung tiba. Suatu ketika wanita tersebut membaca surat al-Baqarah sampai selesai. Karena merasa nyaman, dia membaca berulang bahkan mengkhatamkannya.

Pada malam ke-28 wanita tersebut bermimpi seluruh tubuhnya dikerumuni ulat-ulat, kemudian dia membersihkannya. Pada malam ke-29 dia bermimpi lagi, kali ini dia melihat banyak anjing yang mengerumuninya dan ingin menggigitnya. Tetapi dia melawan anjing-anjing tersebut, akhirnya semuanya lari. Pada malam ke-30, dia bermimpi lagi. Kali ini dia melihat bahwa dalam perutnya terdapat banyak kawat yang mengikat perutnya. Kemudian dia membuka satu per satu kawat itu. Akhirnya dia lepas dan terbebas dari kawat tersebut. Setelah lewat beberapa hari mimpi tersebut, dia mendapatkan dirinya tidak datang bulan (positif hamil).

Kisah di atas menunjukkan bahwa salah satu penyebab wanita tidak hamil karena pengaruh sihir dan syetan. Melawannya dengan membaca al-Baqarah berkali-kali. Ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah. (HR. Muslim, 1300)

(3) Perbaikan keturunan juga diisyaratkan oleh Allah di dalam firman-Nya,

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ (89) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (90)

Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” (Qs. al-Anbiya’: 89-90)

(4) Memperbaiki keturunan maknanya adalah meminta agar diberikan keturunan yang baik, tidak harus kaya dan ganteng, serta memiliki jabatan. Keturunan yang baik adalah keturunan yang berakidah salimah dan beribadah shahihah, serta berakhlak karimah. Ini sesuai dengan Nabi Zakariya,

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".” (Qs. Ali Imran: 38)

Keturunan yang baik juga terkadang disebut dengan keturunan yang shalih. Sebagaimana firman-Nya,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101)

Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” (Qs. Ash-Shaffat: 100-101)

(5) Di sisi lain kita diperintahkan untuk berlindung dari keturunan yang lemah dan bermaksiat kepada Allah. Ini tergambar di dalam firman-Nya,

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Qs. an-Nisa’: 9)

Keturunan yang lemah (dzurriyyatan dhi’afa) mencakup hal-hal berikut ini:

(a) Keturunan yang lemah akidahnya, sehingga terjebak pada kesyirikan.

(b) Keturunan yang lemah akalnya, sehingga terjebak dalam kebodohan dan akhirnya dikuasai oleh musuh.

(c) Keturunan yang lemah fisiknya, karena tidak diperhatikan asupan nutrisinya, sehingga menjadi generasi yang sakit-sakitan, menjadi beban orang dan kurang bermanfaat.

(d) Keturunan yang lemah harta, sehingga menjadi beban masyarakat dan tidak bisa memberikan manfaat kepada yang lain.

(e) Keturunan yang lemah akidah, malas beribadah serta gemar maksiat, diisyaratkan di dalam firman-Nya,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Qs. Maryam: 59)

Keturunan yang harus dihindari adalah keturunan yang mempunya tiga ciri, yaitu: (a) terbiasa meninggalkan shalat, lemah hubungannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala, (b) senang mengikuti bisikan hawa nafsu, lemah hubungan dengan sesama, (c) menghancurkan masa depannya sendiri.

(6) Berkata al-Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil (4/195), “Abu Bakar ash-Shiddiq ketika berdoa agar diperbaiki keturunannya maka Allah mengabulkan doa tersebut sehingga tidak ada satu anaknya pun, kecuali beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Diceritakan bahwa Abu Kuhafah, kemudian anaknya (Abu Bakar ash-Shiddiq), kemudian anaknya lagi (‘Abdur Rahman bin Abi Bakr), kemudian Abu Atiq anak dari ‘Abdur Rahman, semuanya itu pernah bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada satupun sahabat yang seperti itu (bapak, anak, cucu dan buyut) semuanya bertemu dengan Rasulullah dan masuk Islam.”

(7) Berkata al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li-Ahkami al-Qur’an (16/195), “Berkata Muhammad bin ‘Ali, ‘Maksud ayat di atas adalah Janganlah engkau jadikan bagi syaithan, bisikan jiwa dan hawa nafsu menguasai mereka’.”

Berkata Abu ‘Utsman, “Jadikanlah mereka orang-orang yang baik, yang taat kepada-Mu.”

(8) Berkata Malik bin Mighwal, “Suatu ketika Abu Ma’syar mengeluhkan tentang kelakuan anaknya kepada Thalhah bin Musharrif. Maka dia pun menjawab, ‘Seringlah membaca ayat di atas:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

(9) Ar-Razy di dalam Mafatih al-Ghaib (28/19) menerangkan urutan doa di atas, sebagai berikut bahwa kebahagiaan mempunyai tiga tingkatan;

(a) Yang paling tinggi adalah kebahagiaan jiwa yang berupa kemampuan bersyukur terhadap nikmat-nikmat Allah.

(a.1) Bersyukur adalah amalan hati, lebih diutamakan daripada amalan anggota badan. Bahkan amalan anggota badan bertujuan untuk mendapatkan amalan hati. Allah berfirman,

 إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Qs. Thaha: 14) 

Pada ayat di atas, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk mendirikan shalat dengan tujuan mengingat Allah. Maksudnya perintah untuk beribadah lahiriyah (badaniyah) bertujuan untuk mencapai ibadah batiniyah, yaitu mengingat Allah dengan hati yang khusyu’.

(a.2) Begitu juga menyibukkan diri dengan bersyukur berarti menyibukkan diri untuk membalas nikmat-nikmat Allah yang sudah didapat. Sedangkan menyibukkan diri dengan ketaatan lahiriyah adalah menyibukkan diri dengan meminta nikmat yang akan datang.

Bisa disimpulkan bahwa bersyukur adalah membayar hutang yang sudah jatuh tempo. Sedangkan beribadah lahiriyah adalah meminta tambahan sesuatu di masa mendatang. Tentunya bersyukur dalam hal ini lebih diutamakan daripada lainnya.

(b) Kebahagiaan badan, yaitu dengan menggunakannya di dalam ketaatan kepada Allah dan melaksanakan ajaran agama-Nya.

Menyibukkan diri (badan) dengan ketaatan kepada Allah didahulukan dari memohon perbaikan keturunan. Karena menyibukkan diri dalam ketaatan merupakan pengagungan perintah Allah, sedangkan memohon perbaikan keturunan merupakan bentuk kasih sayang terhadap makhluk Allah maka diakhirkan.

(c) Kebahagiaan eksternal, seperti keluarga dan anak.

Hikmah (): Bertaubatlah

إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ

“Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu.”

(1) Setiap manusia dalam perjalanan hidupnya pasti menemui tantangan dan rintangan, serta melakukan kesalahan. Oleh karenanya, manusia terbaik adalah yang mau betaubat atas kesalahan di masa lalu dan berjanji untuk selalu memperbaikinya.

(2) Taubat berasal dari kata (taba - yatubu - taubatan) yang artinya kembali ke jalan Allah, kembali kepada menyembah Allah. Allah sangat mencintai hamba-Nya yang bertaubat dan kembali kepada-Nya setelah sekian lama tergelincir ke dalam dosa-dosa dan kesalahan. Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 للهُ أَشَدُّ فَرَحاً بِتَوبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يتوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتهِ بأرضٍ فَلاةٍ ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابهُ فأَيِسَ مِنْهَا ، فَأَتى شَجَرَةً فاضطَجَعَ في ظِلِّهَا وقد أيِسَ مِنْ رَاحلَتهِ ، فَبَينَما هُوَ كَذَلِكَ إِذْ هُوَ بِها قائِمَةً عِندَهُ ، فَأَخَذَ بِخِطامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الفَرَحِ :اللَّهُمَّ أنْتَ عَبدِي وأنا رَبُّكَ !أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الفَرَحِ

 “Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya dari pada kegembiraan salah satu dari kalian yang suatu ketika berada di atas tunggangannya di sebuah dataran kosong, tiba-tiba tunggangannya lepas, padahal di atasnya terdapat bekal makanan dan minumannya, dan dia berputus asa (karena tidak bisa mengejarnya), maka dia mendatangi sebuah pohon dan duduk di bawah naungannya dalam keadaan putus asa untuk mendapatkan tunggangannya. Sementara dia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba tunggangannya berdiri di depannya, langsung saja dia mengambil tali kekangnya, kemudian dia bekata (karena begitu gembiranya): “Ya Rabb Engkau adalah hambaku, dan saya adalah Rabb-Mu.” Salah ucap karena terlalu gembira.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) 

(3) Seseorang tidak akan bisa bertaubat kecuali jika mendapatkan taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala dan digerakkan hatinya untuk bertaubat. Dalilnya adalah firman Allah,

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menggerakkan hati mereka untuk bertaubat, sehingga mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. at-Taubah: 118)

Pada ayat di atas Allah menggerakkan hati tiga para sahabat untuk bertaubat maka Allah menerima taubat mereka. Berkata as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/354), “Maksud dari ayat di atas bahwa Allah memberikan izin dan taufiq agar mereka bertaubat. Setelah mereka bertaubat, maka Allah akan menerima taubat mereka.”

(4) Kadang maksiat yang dilakukan oleh seseorang mendorongnya untuk bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Allah menerima taubatnya, kemudian dimasukkannya ke dalam surga. Sebagaimana kisah seorang wanita dari Suku Ghamidiyah (dalam riwayat lain mengatakan dari Suku Juhainah) yang mengaku melakukan zina kemudian bertaubat atas perbuatannya dan Allah menerima taubatnya. Sebagaimana dalam hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حُبْلَى مِنْ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَيَّ فَدَعَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَّهَا فَقَالَ أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَأْتِنِي بِهَا فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

“Bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menghadap kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal dia sedang hamil akibat melakukan zina. Wanita itu berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah melanggar hukum, oleh karena itu tegakkanlah hukuman itu atasku." Lalu Nabi Allah memanggil wali perempuan itu dan bersabda kepadanya: "Rawatlah wanita ini sebaik-baiknya, apabila dia telah melahirkan, bawalah dia ke hadapanku." Lalu walinya melakukan pesan tersebut. setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk merajam wanita tersebut, maka pakaian wanita tersebut dirapikan (agar auratnya tidak terbuka saat dirajam). Kemudian beliau perintahkan agar ia dirajam. Setelah dirajam, beliau menshalatkan jenazahnya, namun hal itu menjadikan Umar bertanya kepada beliau, "Wahai Nabi Allah, perlukah dia dishalatkan? Bukankah dia telah berzina?" beliau menjawab: "Sungguh, dia telah bertaubat kalau sekiranya taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, pasti taubatnya akan mencukupi mereka semua. Adakah taubat yang lebih utama daripada menyerahkan nyawa kepada Allah Ta'ala secara ikhlas?(HR. Muslim, 3209)

Hikmah (): Kepasrahan kepada Allah

وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِي

“Dan aku termasuk orang-orang yang pasrah (kepada Allah).”

(1) Islam berasal dari kata (aslama - yuslimu - islaman) yang berarti kepasrahan, yaitu kepasrahan mutlak kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang Islam harus memasrahkan dirinya kepada seluruh aturan Allah dan kepada takdir Allah. Kepasrahan di sini juga berarti ketundukan.

(2) Islam yang berarti ketundukan pada aturan Allah yang terjadi di alam semesta terdapat di dalam firman-Nya,

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Qs. Ali Imran: 83)

Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, “Seorang mukmin harus tunduk kepada (aturan) Allah (secara sukarela) dengan hati dan badannya. Sedangkan orang kafir tunduk kepada (aturan) Allah secara terpaksa karena dia di bawah kendali kekuasaan Allah yang Maha Agung yang tidak ada satupun yang bisa menyelisihi dan menghalanginya.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa alam semesta yang ada di langit dan bumi ini semuanya termasuk orang-orang kafir tunduk kepada aturan Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun dalam keadaan terpaksa. Adapun orang-orang Islam tunduk kepada dua hal: (1) aturan Allah subhanahu wa ta’ala di alam semesta, (2) aturan Allah yang terwujud dalam syariat Islam yang disebut dengan Dienullah.

(3) Islam artinya selamat. Di dalam hadits disebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang mana kaum muslimin lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa sifat orang Islam itu adalah menjaga orang lain (sesama muslim) dari gangguannya. Orang akan merasa nyaman ketika berada nyaman ketika berada di sampingnya. Ini sesuai dengan firman-Nya,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Qs. al-Fath: 29)

Dikuatkan dengan firman-Nya,

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Qs. al-Maidah: 54)

 

***

KARYA TULIS