Karya Tulis
3918 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. al-Fatihah: 6)


 

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukkan kepada kami jalan yang lurus. 

(Qs. al-Fatihah: 6)

 

(1) Inilah ayat pertama dari surat al-Fatihah yang berisi doa. Adapun ayat-ayat sebelumnya berisi tentang pujian kepada Allah, sehingga Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan bahwa di dalam surat al-Fatihah ada dua bagian; bagian pertama berisi tentang pujian, sedangkan bagian kedua berisi tentang doa.

(2) Doa yang paling utama adalah doa yang ada di dalam surat al-Fatihah ini, yaitu berdoa memohon hidayah. Sedangkan hidayah adalah sesuatu yang paling penting di dalam kehidupan manusia.

Ini mirip dengan doa yang sering dibaca oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, terjaga (dari perbuatan yang merusak kehormatan) dan kekayaan.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa yang diminta pertama kali adalah hidayah (petunjuk). adapun takwa adalah cabang dari hidayah. Sedangkan ‘afaf dan kekayaan (hati) adalah cabang dari takwa.

Al-Qurthubi juga menyatakan ini adalah doa yang berasal dari Rabbul ‘alamin (Tuhan semesta alam). Oleh karenanya, termasuk doa yang paling utama; apalagi jika dibandingkan dengan doa yang diucapkan seorang manusia, tentu tidak seimbang.

 

(3) Al-Qurthubi juga menjelaskan asal arti “hidayah” dari sisi bahasa, yaitu “cenderung” atau “condong”. Beberapa contohnya, antara lain;

(a) Firman Allah,

إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ

“Sesungguhnya kami condong kepada-Mu.” (Qs. al-A’raf: 156)

(b) Hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَيْخٍ كَبِيرٍ يَتَهَادَى بَيْنَ ابْنَيْهِ

“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati orang tua yang dipapah oleh dua orang anaknya.” (HR. at-Tirmidzi, 1457)

(c) (الهَدْيُ)  adalah hewan yang digiring ke Tanah Haram untuk dijadikan kurban saat melakukan ibadah haji.

(d) (الهَدِيَةُ) adalah hadiah yaitu sesuatu yang berpindah datu kepemilikan kepada kepemilikan lain.

Intinya bahwa arti hidayah secara bahasa adalah condong atau berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain.

 

(4) Hidayah dibagi menjadi dua, yaitu: (1) hidayatu al-irsyad atau hidayatu al-bayan dan (2) hidayatu at-taufiq.

Masing-masing akan diterangkan di bawah ini secara singkat ;

(a). Hidayatu al-Irsyad atau Hidayatu al-Bayan atau al-Hidayah al-‘Amah adalah petunjuk menuju suatu jalan. Sebagai contoh, jika seseorang tersesat di jalan, dan tidak tahu ke mana harus melangkah, dia diperintahkan untuk bertanya kepada orang yang mengetahui jalan. Orang yang mengetahui jalan dan mampu menunjukkan orang yang tersesat tersebut dikatakan orang yang bisa memberi petunjuk (Hidayatu al-Irsyad).

Oleh karena itu, hidayah dalam bentuk ini, bisa dilakukan oleh siapa saja, yang penting dia mengetahui ilmunya. Tanpa ilmu maka tidak mungkin dia bisa memberikan petunjuk kepada orang lain. Di dalam pepatah Arab disebutkan,

فاقد الشيء لا يعطيه

“Orang yang tidak memiliki sesuatu itu, tidak akan bisa memberinya kepada orang lain.”

Hidayatu al-Irsyad inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau mempunyai ilmu tentang Islam yang beliau dapatkan dari Allah melalui wahyu, maka beliau mengajarkannya kepada orang lain. Inilah yang dimaksud di dalam firman Allah,  

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. asy-Syura: 52)

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri juga membutuhkan hidayah dalam bentuk ini. Dahulu beliau adalah orang yang tidak mengetahui ilmu dan al-Qur’an, kemudian Allah memberikan Hidayatu al-Irsyad dengan mengajarkannya al-Qur’an. Ini sebagaimana  di dalam firman-Nya,

كَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. asy-Syura: 52)

Juga sesuai dengan firman-Nya,

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى ۞ وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى ۞ وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى ۞

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (Qs. adh-Dhuha: 6-8)

(b). Hidayatu at-Taufiq atau al-Hidayah al-Khassah adalah petunjuk dengan cara menggerakan hati seseorang agar dia berjalan pada jalan yang lurus, sebagaimana dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Hidayah dalam bentuk ini hanya dimiliki Allah saja, tidak satu pun dari manusia yang sanggup melakukannya, bahkan seorang Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sekalipun tidak sanggup memberikan hidayah kepada pamannya Abu Thalib, sebagaimana firman Allah,  

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk (hidayah taufik) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk (hidayah taufik) kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Qs. al-Qashash: 56)

Sebelumnya, Nabi Nuh tidak sanggup memberikan hidayah kepada anaknya, sebagaimana firman Allah,

وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ ۞ قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ ۞

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang." Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Qs. Hud: 42-43)

Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak sanggup memberikan hidayah kepada istrinya, sebagaimana di dalam firman-Nya,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)." (Qs. at-Tahrim: 10)

Syekh al-‘Utsaimin di dalam salah satu ceramahnya menyebutkan bahwa (al-Huda) jika disebut secara sendiri, maka mencakup dua macam hidayah yang diterangkan di atas. Tetapi jika ada keterangan di belakang, maka maknanya akan mengikuti keterangan tersebut apakah masuk dalam Hidayatu al-Irsyad, atau Hidayatu at-Taufiq.

 

Adapun firman Allah,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Pada surat al-Fatihah ini mencakup permohonan dua macam hidayah tersebut, yaitu memohon petunjuk agar:

(a) Diberikan ilmu yang mengantarkan kepada ridha dan surga Allah (Hidayah Bayan).

(b) Diberikan kemampuan untuk melaksanakan dan mengamalkan ilmu tersebut (Hidayatu Taufiq).

 

Ini mirip dengan sebuah doa,

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا، وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ. ،وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

Ya Allah, tampakkanlah kepadaku kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkanlah aku untuk mengikutinya serta tampakkanlah kepadaku kesalahan sebagai kesalahan dan kuatkan pula untuk menyingkirkannya. 

 

(5) Adapun makna,

 الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Adalah jalan yang lurus. Maksudnya adalah ajaran Islam yang mengantarkan ke surga. Disebut jalan yang lurus, karena di sana terdapat jalan yang bengkok, sebagaimana di dalam firman-Nya,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Qs. al-An’am: 153)

Ayat di atas menjelaskan dua jalan:

(a) Jalan yang lurus, kita diperintahkan untuk mengikutinya.

(b) Jalan-jalan lain (yang bengkok), kita dilarang mengikutinya, karena akan membuat kita bercerai-berai.

Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris jalan lurus di atas tanah. Kemudian beliau menggaris jalan-jalan bengkok di sekitarnya. Setelah itu beliau membacakan ayat di atas (Qs. al-An’am: 153)

 

(6) Adapun makna ( الْمُسْتَقِيمَ) yaitu lurus atau istiqamah. Istiqamah  memiliki tiga makna, yaitu:

(a) Makna Pertama. Sebagaimana di dalam kamus Lisan al-Arab, Istiqamah berarti lurus dan tidak bengkok.  Shirathal Mustaqim adalah jalan yang lurus dan tidak bengkok.

Berkata Ibnu Rajab di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (193):

  الاستقامة : هي سلوك الطريق المستقيم، وهو الدين القويم من غير تعويج عنه يمنة و لا يسرة، و يشمل ذلك فعل الطاعات كلها الظاهرة و الباطنة و ترك المنهيات كلها كذلك

“Al-Istiqamah adalah meniti di atas jalan yang lurus, yaitu agama yang benar tanpa belok kanan maupun kiri, hal itu mencakup melaksanakan seluruh ketaatan secara lahir dan batin, serta meninggalkan seluruh kemungkaran.”

Istiqamah di dalam beramal berarti amal yang kita lakukan harus lurus dan benar.  Amal yang lurus dan benar harus mempunyai dua syarat; yaitu (1) diniatkan ikhlas karena Allah dan (2) harus sesuai dengan tuntunan nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Hal ini sesuai dengan firman Allah,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُور   

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. al-Mulk: 2)

Berkata al-Fudhail bin Iyadh:

أحسن عملاً أخلصه وأصوبه  ، العمل لا يقبل حتى يكون خالصاً صواباً ، فالخالص إذا كان لله والصواب إذا كان على السنة

“Yang paling amalnya maksudnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Suatu amal tidaklah akan diterima oleh Allah, sampai mempunyai dua sifat; murni dan benar. Murni adalah jika amal itu dilakukan hanya karena Allah semata, sedang benar adalah jika amal tersebut berdasarkan sunnah.”  (Muhammad Syarbini di dalam tafsir as-Siraj al-Munir: 4/ 244)

Setiap hari di dalam shalat lima waktu, kita diwajibkan membaca surat al-Fatihah paling tidak  sebanyak 17 kali. Di dalamnya kita memohon kepada Allah seraya mengucapkan: “Ihdina Ash- Shiratha Al Mustaqim” (Tunjukilah kami jalan yang lurus) artinya: tunjukilah kami jalan menuju keikhlasan di dalam beramal dan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karenanya,  Allah menerangkan maksud daripada jalan yang lurus tersebut, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri kepada mereka kenikmatan.  Pertanyaannya adalah: siapa saja yang telah diberi kepada mereka kenikmatan itu?  Hal ini telah diterangkan oleh Allah di dalam firman-Nya:

وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. an-Nisa’: 69)

Bentuk istiqamah yang pertama ini menuntut kita untuk senantiasa mencari ilmu, agar amalan kita sesuai dengan tuntutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(b) Makna Kedua. Istiqamah berarti kontinue dan terus menerus serta berkesinambungan.  Kalau kita mengatakan kepada seseorang bahwa dia adalah orang yang istiqamah melakukan shalat lima waktu berjama’ah di masjid, artinya bahwa fulan tersebut secara terus-menerus, dan berkesinambungan melakukan shalat lima waktu sepanjang hidupnya di masjid secara berjama’ah hingga akhir hayatnya.

Makna istiqamah seperti ini pernah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadistnya, diantaranya adalah hadist ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ إِذَا عَمِلَتْ الْعَمَلَ لَزِمَتْهُ

“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus (dilakukan) meskipun sedikit." Al-Qasim berkata; Dan Aisyah, bila ia mengerjakan suatu amalan, maka ia akan menekuninya.” (HR Muslim, 1306)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Beramallah sesuai dengan sunnah dan berlaku imbanglah, dan ketahuilah bahwa salah seorang tidak akan masuk surga karena amalannya, sesungguhnya amalan yang dicintai oleh Allah adalah yang terus menerus walaupun sedikit.” (HR. al-Bukhari, 5983)

Dari dua hadist di atas, kita mengetahui bahwa amalan yang terus menerus dilakukan oleh seorang muslim walaupun sedikit, jauh lebih baik dari pada amalan yang banyak, tapi hanya dilaksanakan sekali dan terputus. Seseorang yang membaca al-Qur’an setiap hari dengan satu juz serta terus menerus sepanjang hidupnya, jauh lebih baik daripada seorang muslim yang mengkhatamkan al-Qur’an sepuluh kali pada bulan Ramadhan, tetapi setelah bulan Ramadhan pergi, dia tidak pernah lagi membaca al-Qur’an.

(c) Makna Ketiga. Istiqamah berarti sesuatu yang bisa mengantarkan sampai tujuan.

Seseorang yang beramal ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta terus menerus melakukan hal itu pada seluruh aktifitas hidupnya, maka tidak diragukan lagi dia akan sampai pada tujuan yang selama ini dicita-citakannya, yaitu husnul khatimah, mati dalam keadaan muslim.

Hal ini pernah diwasiatkan oleh para nabi kepada anak-anaknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Ya’qub ‘alaihima as-salam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إَلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Qs. al-Baqarah: 132)

Selalu istiqamah di dalam memegang teguh ajaran Islam sampai akhir hayat ini merupakan bentuk dari ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang sebenarnya, sebagaimana firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qs. Ali Imran: 102)

 

(7) Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Adalah ayat yang membantah tiga kelompok sesat, yaitu: al-Qadariyah, al-Mu’tazilah, dan al-Imamiyah (Syi’ah 12)

Karena mereka berkeyakinan bahwa manusia mampu menciptakan amalannya sendiri, tanpa perlu bantuan dari Allah. Jelas bahwa keyakinan tersebut salah dan sesat. Karena ayat ini dengan tegas menyatakan seorang hamba membutuhkan petunjuk dari Allah setiap saat, tidak bisa bertindak sendiri tanpa bantuan-Nya.

Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. at-Takwir: 29)

Juga dikuatkan dengan hadits yang berisi doa,

اللَّهُمَّ أعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Ya Allah, tolonglah aku untuk bisa selalu mengingat-Mu, mensyukuri-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan baik.” (HR. al-Bukhari di dalam Adabu al-Mufrad.)

 

***

Ahmad Zain An-Najah, 5/12/2021

KARYA TULIS