Karya Tulis
821 Hits

Tafsir An-Najah (Qs. Al-Fatihah: 2)


 

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ 

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” 

(Qs. Al-Fatihah: 2)

 

(1)   Alhamdulillah (ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ), dengan ada (ٱلۡ) di depannya menunjukkan keumuman, sehingga bias diartikan “semua pujian” hanya milik Allah. Jika ada pujian untuk manusia maka kembalinya kepada Allah juga, karena kebaikan atau keberhasilan yang dilakukan oleh manusia semua atas pertolongan Allah.

(2)   Perbedaan antara (al-Hamdu) dan (asy-Syukru), bahwa (al-Hamdu) adalah pujian bagi Allah dalam keadaan apapun juga, baik Allah sedang memberikan kebaikan kepada seseorang atau tidak, maka Allah tetap terpuji.

Maka sering diucapkan:

  الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ  

“Segala puji bagi Allah pada setiap keadaan.”

Sedang (asy-Syukru) atau syukur adalah pujian dan ucapan terima kasih atas suatu kebaikan dan ini berlaku untuk Allah dan manusia.

Contoh: Jika Allah memberikan suatu nikmat, maka kita harus bersyukur terhadap nikmat tersebut. Lawan dari syukur adalah kufur, yaitu menutupi atau tidak mengakui nikmat yang diberikan kepadanya.

Syukur ini seperti dalam firman-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari rezeki yang Kami turunkan kepada kalian, dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian benar-benar beribadah kepada-Nya.” (Qs. al-Baqarah: 172)

Ayat di atas menunjukkan bahwa bersyukur itu karena ada nikmat yang diberikan kepadanya.

Adapun salah satu dalil bahwa (al-Hamdu) adalah pujian bagi Allah dalam setiap keadaan adalah firman-Nya,

وَلَهُ ٱلۡحَمۡدُ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَعَشِيّٗا وَحِينَ تُظۡهِرُونَ  

“Dan bagi-Nya segala puji di langit dan di bumi, dan di waktu sore dan siang hari.” (Qs. ar-Rum: 18)

(3)   Rabbul ‘Alamin artinya “Tuhan semesta alam”.

Lafazh (Rabb) mempunyai makna yang lebih luas yaitu: memiliki, merawat, mendidik, mengarahkan.

Salah satu dalil makna di atas adalah firman Allah,

فَلۡيَعۡبُدُواْ رَبَّ هَٰذَا ٱلۡبَيۡتِ

“Hendaknya mereka menyembah Rabb (pemilik) rumah ini (Ka’bah).” (Qs. Qurays: 3)

Dalil lain adalah firman Allah:

قَالَ مَعَاذَ ٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ رَبِّيٓ أَحۡسَنَ مَثۡوَايَۖ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Berkata (Yusuf): “Aku berlindung kepada Allah (dari berbuat selingkuh) sesungguhnya dia (pembesar Mesir) adalah tuanku (yang merawatku) telah memberikan tempat dan layanan yang baik (di istana) ini. Sesungguhnya tidaklah sukses orang-orang yang zhalim (yang mengkhianati kebaikan orang lain).” (Qs. Yusuf: 23)

Yang dimaksud (Rabb) pada ayat di atas adalah pembesar Mesir, tuannya Yusuf yang selama ini merawat Yusuf di dalam istana semenjak kecil hingga dewasa.

Sehingga yang dimaksud (Rabbul ‘Alamin) adalah Tuhan yang mencipta alam semesta ini, termasuk di dalamnya langit, dan bumi beserta seluruh isinya, dari matahari, bulan, bintang, gunung, manusia, pohon-pohon, sungai, binatang-binatang.

(4) Makna AlHamdulillah Rabbul ‘Alamin dalam Kehidupan Sehari-hari

Ayat di atas, secara tidak langsung memerintahkan kepada setiap manusia untuk selalu “memuji Allah” dalam setiap keadaan dan setiap waktu, pagi, siang, sore, dan malam. Dalam keadaan sehat dan sakit, dalam keadaan serba kecukupan dan kekurangan.

Hal itu karena Allah adalah Pencipta alam semesta ini. Cukuplah bagi seseorang mendapatkan nikmat yang sangat besar dari Allah, yaitu Allah menciptakannya dan lahir di muka bumi ini, bisa menghirup udara segar dan hidup di bumi Allah ini.

Allah berfirman,

ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعۡفٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ ضَعۡفٖ قُوَّةٗ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ قُوَّةٖ ضَعۡفٗا وَشَيۡبَةٗۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡقَدِيرُ

“Dan Dialah yang menciptakanmu dalam keadaan lemah, kemudian menjadikan setelah lemah, dalam keadaan kuat. Dan menjadikan setelah kuat dan keadaan lemah dan tua. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-nya dan Dia Maha Mengetahui dan Maha Mampu.” (Qs. ar-Rum: 54)

(5) Memuji Allah adalah Tujuan Hidup

Allah menciptakan jin dan manusia di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya saja. Ini sesuai dengan firman-Nya,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk menyembah-Ku (beribadah) kepada-Ku saja.” (Qs. adz-Dzariyat: 56)

Menyembah salah satu artinya adalah memuji. Menyembah kepada, Allah berarti memuji Allah dengan segala pujian-Nya.

Di dalam hadist Juwairiyyah, istri Rasulullah ahalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau selalu berdoa dan memuji Allah sebagai berikut,

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

“Maha Suci Allah dengan segala pujian-Nya, sebanyak jumlah ciptaan-Nya, keridhaan diri-Nya, berat Arsy-Nya, dan sebanyak firman-Nya (kalimat-Nya).”

(6) Memuji dan Mensucikan

Memuji Allah tidak lepas dari mensucikan-Nya. Keduanya bagai sekeping mata uang yang mempunyai dua sisi, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Pujian tanpa pensucian tidaklah sempurna, karena ketika memuji sesuatu, berarti mengakui kehebatannya. Tetapi kehebatan sesuatu sering diiringi dengan sederet kelemahannya.

Adapun ketika memuji Allah dengan segala bentuk pujian kepada-Nya, harus dibarengi dengan mensucikan-Nya dai segala bentuk kekurangan. Maka pujian kepada-Nya menjadi pujian yang sangat sempurna.

Seorang hamba yang masih bangga kepada dirinya pada hakikatnya dia belum memahami makna ibadah (penghambaan) yang sebenarnya. Seakan-akan dia telah menjadikan dirinya sesembahan selain Allah secara tidak sadar.

Oleh karenanya iblis dikeluarkan dari surga kaerna sifat bangga dirinya dan sombong serta takabbur.

Ini sesuai dengan firman-Nya,

وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ   

“Dan ingatlah, ketika Kami berfirman kepada malaikat, “Sujudlah kepada Adam, maka mereka sujud semua, kecuali Iblis, dia enggan untuk sujud dan bersikap sombong, maka dia menjadi kafir.” (Qs. al-Baqarah: 34)

Ayat di atas dikuatkan oleh hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عن عبد الله بن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan. (HR. Muslim: 131)

Orang yang selalu memuji Allah dalam arti yang sebenarnya, dia akan selalu membuat perbaikan-perbaikan di muka bumi, karena dia bertugas sebagai khalifah di muka bumi, melaksanakan perintah Allah untuk memperbaiki kehidupan manusia.

Sebaliknya orang yang tidak pernah memuji Allah, bahkan hanya memuji dirinya sendiri atau memuji orang lain serta berbuat syirik, dia akan membuat kerusakan di muka bumi.

Pernyataan ini ditunjukkan di dalam beberapa firman-Nya, diantaranya,

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ  

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al-Baqarah: 30)

Ayat di atas menjelaskan bahwa malaikat tugasnya “memuji Allah dan mensucikan-Nya”, sedang orang yang tidak melakukan apa yang dilakukan malaikat, maka akan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi.

Ini dikuatkan di dalam firman Allah,

وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (Qs. al-A’raf: 56)

Ayat di atas menunjukkan larangan berbuat kerusakan di muka bumi setelah adanya perbaikan. Pertanyaannya bagaimana bentuk perbaikan bumi ini?

Jawabannya ada pada ayat selanjutnya,

“Menyembahlah Allah dengan seraya menghadirkan rasa takut (akan adzab-Nya) dan mengharap (rahmat-Nya).” 

Dengan perbuatan inilah rahmat Allah akan turun.

 

***

Ahmad Zain An-Najah, 22 November 2021

KARYA TULIS