Karya Tulis
610 Hits

Tafsir An-Najah (QS. 2: 233) Bab ke-110 Menyusui Anak


Menyusui Anak


وَا لْوَا لِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَا دَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَا مِلَيْنِ لِمَنْ اَرَا دَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَا عَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآ رَّ وَا لِدَةٌ بِۢوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَا رِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِ نْ اَرَا دَا فِصَا لًا عَنْ تَرَا ضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَا ۗ وَاِ نْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْۤا اَوْلَا دَكُمْ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّاۤ اٰتَيْتُمْ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ وَا تَّقُوا اللّٰهَ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ


"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."  (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 233 )

 

1.      Wanita Yang Menyusui

 

وَا لْوَا لِدٰتُ

"Dan ibu-ibu

1)     Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menyebutkan hukum-hukum perceraian. Pada ayat ini, Allah menjelaskan hukum-hukum yang terkait dengan pengasuhan anak yang merupakan hasil dari pernikahan, terutama masalah penyusuan.

 

2)     ( وَا لْوَا لِدٰتُ ) pada ayat di atas bersifat umum, mencakup semua ibu yang mempunyai bayi yang masih kecil, baik ibu tersebut sudah dicerai suaminya maupun yang masih berstatus sebagai istri. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini khusus berkenaan dengan wanita yang telah dicerai suaminya. Tetapi dia mempunyai anak kecil. al-Qurthubi memilih bahwa ayat ini berlaku umum, bahwa lebih kepada wanita yang masih berstatus istri, karena dia masih berhak mendapatkan nafkah dan pakaian sebagaimana yang disebutkan dalam ayat.

 

3)     Firman-Nya,

 

يُرْضِعْنَ اَوْلَا دَهُنَّ

“Hendaknya menyusui anak-anaknya.”

  1. Seorang ibu secara umum dianjurkan untuk menyusui anaknya, karena di dalamnya terkandung kesehatan fisik dan mental. Mengandung kesehatan fisik karena diadlam air susu ibu (asi) terkandung semua yang dibutuhkan seorang bayi, tanpa harus mengelolanya terlebih dahulu dengan dipanaskan atau dimasukkan dalam botol. Tetapi bayi bisa meminumnya langsung dari ibunya. Selain itu asi juga membentuk imun yang sangat kuat bagi bayi untuk menjaganya dari berbagai penyakit. Adapun kesehatan mental, disebutkan bahwa ibu dan bayi terbangun mentalnya ketika mereka berdua saling berdekatan. Sang ibu merasa jiwanya sangat tenang dan bahagia ketika bisa menyusui bayinya secara langsung begitu juga bayinya merasa sangat nyaman dan tenang dalam pelukan ibunya.

 

  1. ( يُرْضِعْنَ ) “Mereka Menyusui” adalah sebuah berita yang menyanjung perintah untuk paara ibu agar menyusui anakanya. Tetapi apakah perintah ini wajib atau sunah ?

Jawabannya, dari kondisi dua keadaan. Salah satunya jika bayi tersebut tidak mau menyusui kecuali kepada ibunya, maka ibunya wajib menyusui anaknya tersebut.  Namun jika bayinya bisa menyusu kepada orang lain, maka tidak ada kewajiban bagi ibunya untuk menyusui bayi tersebut. Tetapi kewajiban itu dilimpahkan kepada bapaknya untuk membayar upah wanita lain yang menyusuinya. Khususnya kebiasaan bangsa Arab pada zaman dahulu, wanita-wanita bangsawan tidak mau menyusui anaknya, tetapi diupahkan kepada orang lain.

 

  1. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa wanita yang dicerai dan mempunyai anak dari suaminya, lebih berhak untuk menyusui anak tersebut dan mengasuhnya daripada  wanita lannya bahkan walaupun anak tersebut sudah dipisah. Hal itu berlaku selama wanita tersebut belum menikah dengan laki-laki lain. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam :

 

أَحَقُّ بِهِ مَا لم تَنْكِحِي

“Kamu lebih berhak mengasuh anakmu selama kamu belum menikah lagi.”

 

2.      Selama Dua Tahun

 

حَوْلَيْنِ كَا مِلَيْن

“Dua tahun sempurna”

 

1)      Seorang ibu tidak wajib menyusui anaknya sampai dua tahun. Seandainya dia menyusui sebelum dua tahun, kemuadian anaknya dipisah maka tidak apa-apa. Ini dikuatkan dengan firman-Nya :

 

لِمَنْ اَرَا دَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَا عَةَ

bagi yang ingin menyusui secara sempurna.”

 

Menyusui anak sampai dua tahun sempurna adalah lebih baik berdasarkan pengalaman dan penelitian bayi yang disusui ibunya dua tahun sempurna, biasanya mental dan psikisnya jauh lebih matang dan kesehatannya lebih terjaga dibanding bayi yang disusui kurang dari dua tahun.

 

2)      Disebut ( كَا مِلَيْنِ ) “Sempurna” pada ayat ini agar tidak dipahami bahwa maksud dua tahun adalah satu tahun lebih beberapa bulan, sebagaimana yang serius dipahami masyarakat umum. Tetapi maksud dua tahun penuh, tidak kurang sedikitpun. Ini seperti yang terdapat di dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

 

تِلْكَ عَشَرَةٌ كَا مِلَةٌ

“Itulah sepuluh hari yang sempurna.”

3)      Ayat di atas menjadi dalil bagi mayoritas ulama bahwa jangka waktu menyusui yang menciptakan hubungan mahram (keharaman untuk menjadi ikatan pernikahan) adalah dua tahun saja oleh karenanya, penyusuan yang terjadi bukan dalam dua tahun itu tidak menimbulkan hubungan mahram. Umpamanya bayi yang berumur tiga tahun menyusu kepada seorang wanita maka hal itu tidak menimbulkan hubungan mahram. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

لَارَضَاعَ إِلَّا مَاكَانَ فِي الۡحَوۡلَيۡنِ

“Tidak ada penyusun (yang menimbulkan kemahraman) kecualli pada dua tahun (pertama).” (HR. ad-Daraquthni dari hadits Ibnu Abbas )

 

 

3.      Bapak Yang Bertanggung Jawab

 

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ

 

Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.

1)      Firman-Nya,

 

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَه

“Dan atas orang yang anak lahir untuknya.”

Maksudnya bapak, disebut demikian karena bibit anak berasal dari bapaknya dan anak dinisbatkan kepada bapaknya. Sedangkan ibu adalah tempat dimana anak tersebut dikandung.

 

2)      Firman-Nya,

 

رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ 

 

nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.

 

Oleh karenanya nafkah berupa makanan dan pakaian yang wajib menanggung adalah bapak. Dan kewajiban nafkah tersebut disesuaikan dengan kondisi ekonomi bapaknya. Maka nafkah dalam Islam tidak ditentukan jumlahnya. Dengan istilah ( بِا لْمَعْرُوْفِ ) “Dengan cara yang patut” sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat.

 

3)      Bagi yang berpendapat ayat ini untuk wanita yang dicerai suaminya bisa diartikan bahwa wanita yang telah dicerai ini berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya selama dia menyususi anaknya. Karena memberi nafkah kepada ibunya berarti telah memberi nafkah kepada anaknya. Ini mirip dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

 

وَاِ نْ كُنَّ اُولَا تِ حَمْلٍ فَاَ نْفِقُوا عَلَيْهِنَّ

 

Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya.” (QS. At-Talaq [ 65 ] : 6 )

 

Ayat ini menunjukkan kewajiban memberikan nafkah kepada wanita yang dicerai ketika hamil, dan ini secara tidak langsung memberi nafkah juga kepada anak yang dikandungnya, karena anak tidak bisa makan kecuali melalalui ibunya. Hal ini dikuatkan dengan hadits Hindun binti ‘Utbah datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menyatakan “Sesungguhnya Abu Sofyan orang yang sangat bakhil, tidak memberi nafkah kepadaku dan kepada anakku yang mencukupi. Apakah boleh saya mengambil sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab :

 

خُذي ما يَكفيكِ وولدَكِ بالمعروفِ

 

“Apabila darinya sesuatu yang bisa mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang patut.”

4)      Kewajiban memberi nafkah sesuai kemampuan disebutkan juga didalam Firman-Nya :

 


لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖ ۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّاۤ اٰتٰٮهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَاۤ اٰتٰٮهَا ۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا


"Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan." (QS. At-Talaq [ 65 ] : 7 ) 

 

5)      Firman-Nya :

 

لَا تُضَآ رَّ وَا لِدَةٌ بِۢوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَا رِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ

 

Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula.

 

 

  1. Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam kehidupan rumah tangga tidak boleh masing-masing anggota keluarga memberikan mudharat kepada yang lain. Jangan sampai seorang ibu menderita karena anaknya dan juga seorang bapak menderita karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) saperti itu.

 

  1. Ini adalah kaidah di dalam mu’amalat secara umum, tidak boleh saling memberikan mudharat kepada dirinya sendiri apalagi kepada orang lain. Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : 

 

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh memberikan mudharat (untuk diri sendiri), dan tidak boleh memberikan mudharat (kepada orang lain).”

 

  1. Maksudnya bahwa seorang ibu tidak boleh menolak menyusui anaknya, haknya karena ingin diberi nafkah lebih dari bapak si anak tersebut. Begitu juga seorang bapak tidak boleh memberi nafkah sedikit kepada ibu si anak, karena itu akan menyebabkan mudharat untuk anak juga.

 

6)      Firman-Nya :

 

وَعَلَى الْوَا رِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ

Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula.

 

Para ulama berbeda pendapat didalam menafsirkan ayat diatas :

Pendapat pertama, maksudnya adalah ahli waris bapak juga berkewajiban menanggung nafkah dan pakaian serta tidak boleh menyusahkan wanita yang menyusui anak tersebut.

Pendapat kedua, maksudnya adalah ahli waris anak (bayi) tersebut juga berkewajiban menanggung nafkah dan pakaian dari ibu yang menyusui anak.

Pendapat ketiga, maksudnya bahwa ahli waris bapak juga tidak boleh memberikan mudharat kepada ibu bayi. Adapun nafkah dan pakaian bukan kewajiban bapaknya. al-Qurthubi memilih pendapat yang ketiga.

 

4.      Menyapih Anak

 

فَاِ نْ اَرَا دَا فِصَا لًا عَنْ تَرَا ضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَا

 

Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya.

 

1)      Kalian kedua orang tua ingin menyapih anak sebelum dua tahun atau sesudahnnya dengan kerelaan dan kesepakatan mereka berdua karena perhubungan khusus untuk kemaslahatan bersama, maka tidak ada dosa bagi keduanya.

 

2)      Firman-Nya, (فِصَا لًا ) artinya memisah, yaitu memisahkan bayi dari susuan ibunya, yang kemudian dikenal dengan istilah “Panyapihan”. Ketika Allah menentukan bahwa waktu susuan adalah dua tahun, berarti itulah waktu mulai menyapihan. Inilah ketetapan Allah. Tidak ada yang bisa menolak ketetapan ini.

3)      Berkata Qatadah, “Dahulu menyusui anak dalam waktu dua tahun hukumnya wajid. Tidak boleh menyapih anak sebelum dua tahun. Kemudian Allah memberi keringanan sehingga dibolehkan menyapih anak sebelum dua tahun dengan ayat ini.

 

4)      Ridha dan musyawarah suami istri adalah syarat kebolehan menyapih anak sebelum dua tahun. Dari sini, bisa diambil pelajaran bahwa dalam menentukan kebijakan rmah tangga, sebaiknya atas dasar ridha dan musyawarah suami-istri, walaupun yang memimpin, menyarankan serta membimbing tetap ditangan suami.

 

5.      Upah Susuan

 

وَاِ نْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْۤا اَوْلَا دَكُمْ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّاۤ اٰتَيْتُمْ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ وَا تَّقُوا اللّٰهَ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

 

Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

 

1)      Pada dasarnya menyusui anak itu wajib atau dianjurkan kepada ibunya, dan suami wajib memberikan nafkah kepada istri yang menyusui tersebut. Hanya saja Imam Malik berpendapat bahwa anaknya karena kondisinya berbeda dengan wanita lain. Ini juga bisa berlaku pada sebagian wanita zaman sekarang yang mempunyai kedudukan tertentu dipemerintahan maupun diperusahaan yang menuntut mereka untuk bekerja, sehingga tidak memungkinkan untuk membawa bayi atau menyusuinya.

 

2)      Oleh karenanya, pada ayat ini Allah memberikan keringanan dengan dibolehkan bagi suami atas pertimbangan maslahat untuk mengupah orang lain agar menyusui anaknya. Inilah kebiasaan yang dilakukan orang-orang pada zaman dahulu termasuk didalamnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam disusukan kepada kalimah As-Sa’diyah dengan upah.

3)      Ayat ini juga sebagai dalil bolehnya menjual air susu ibu (asi) kepada orang lain jika hal itu mambawa maslahat. Wallahu A’lam.

 

****

 

Jakarta, Kamis 10 Februari 2022

KARYA TULIS