Karya Tulis
465 Hits

Tafsir An-Najah (Qs.4: 102-104) Bab 243 Syariat Shalat Khauf


Syariat Shalat Khauf

(Ayat 102-104)

 

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌۭ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوٓا۟ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا۟ فَلْيَكُونُوا۟ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا۟ فَلْيُصَلُّوا۟ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا۟ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةًۭ وَٰحِدَةًۭ ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًۭى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَن تَضَعُوٓا۟ أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا۟ حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَـٰفِرِينَ عَذَابًۭا مُّهِينًۭا ۞ فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَـٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَـٰبًۭا مَّوْقُوتًۭا ۞ وَلَا تَهِنُوا۟ فِى ٱبْتِغَآءِ ٱلْقَوْمِ ۖ إِن تَكُونُوا۟ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ۞

“Apabila engkau (ya Nabi) sedang bersama mereka dan engkau memimpin mereka dalam shalat, hendaklah satu kelompok dari mereka shalat bersamamu sambil bersenjata. Ketika mereka bersujud, biarkan kelompok lain berjaga di belakang mereka. Kemudian kelompok yang belum shalat kemudian akan bergabung dengan Anda dalam shalat dan hendaknya mereka waspada dan bersenjata. Orang-orang ingin melihat Anda mengabaikan senjata dan barang-barang Anda, sehingga mereka dapat melancarkan serangan besar-besaran terhadap Anda. Tetapi tidak ada salahnya jika Anda mengesampingkan senjata Anda ketika diatasi oleh hujan lebat atau penyakit, tetapi berhati-hatilah. Sesungguhnya Allah telah menyiapkan hukuman yang menghinakan bagi orang-orang kafir. Ketika shalat selesai, ingatlah Allah dengan berdiri, duduk, atau berbaring. Tetapi ketika Anda aman, laksanakanlah shalat yang teratur. Sungguh, melakukan shalat adalah kewajiban bagi orang-orang beriman pada waktu yang ditentukan. Dan janganlah goyah dalam mengejar musuh, jika Anda menderita, mereka juga menderita. Tetapi Anda berharap untuk menerima dari Allah apa yang tidak pernah mereka harapkan. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”

(Qs. an-Nisa’: 102-104)


Pelajaran (1) Syariat Shalat Khauf

(1) Pada ayat yang lalu telah dijelaskan kebolehan meng-qashar shalat dalam perjalanan, salah satu sebabnya karena adanya rasa takut terhadap ancaman orang-orang kafir. Pada ayat ini, Allah menjelaskan tata cara shalat khauf (shalat dalam keadaan takut) secara berjamaah.

(2) Berkata Ibnu Katsir, “Shalat Khauf mempunyai banyak cara pelaksanaannya.”

(a) Terkadang musuh berada di arah kiblat.

(b) Terkadang bukan berada di arah kiblat.

(c) Shalatnya terkadang empat rakaat.

(d) Terkadang tiga rakaat seperti shalat maghrib.

(e) Terkadang dua rakaat seperti shalat shubuh.

(f) Terkadang dilakukan secara berjamaah.

(g) Terkadang shalat dilakukan dalam keadaan perang sedang berkecamuk, sehingga dilakukan sendiri menghadap kiblat atau tidak.

(h) Terkadang dilakukan dalam keadaan berjalan.

(i) Terkadang dilakukan dalam keadaan naik kendaraan.

(3) Ibnu Qashshar mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat khauf di sepuluh peristiwa. Ibnu al-‘Arabi mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ  melaksanakan shalat khauf sebanyak dua puluh empat kali.

 

Pelajaran (2) Perbedaan Para Ulama

Beberapa pendapat ulama tentang tata cara shalat khauf, sebagai berikut:

Pertama, posisi musuh tidak di arah kiblat.

(1)   Madzhab Hanafi.

Pertama kali, imam membagi pasukan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berdiri bersama imam, sedangkan kelompok kedua menghadap musuh. Kelompok pertama shalat bersama imam hingga satu rakaat, kemudian kelompok pertama pergi ke tempat kelompok kedua, dan kelompok kedua berdiri bersama imam, imam melanjutkan rakaat kedua bersama kelompok kedua, lalu imam salam. Kemudian kelompok kedua pergi ke tempat kelompok pertama, dan kelompok pertama pergi ke belakang imam yang sudah salam. Atau masing masing dari kelompok tersebut tetap di tempat untuk melengkapi rakaat kedua. Bedanya kelompok pertama melengkapi rakaat keduanya tanpa membaca al Fatihah dan surat surat, karena dianggap ikut bersama imam dari awal shalat (lahiq). Adapun kelompok kedua melengkapi rakaat kedua dengan membaca al Fatihah dan surat surat karena mereka tidak ikut bersama imam dari awal (sabiq). Cara shalat seperti ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum di dalam Hadits al-Bukhari dan Muslim.

(2)   Cara lain ketika musuh tidak berada di arah kiblat.

Imam membagi pasukan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berdiri bersama imam menghadap arah kiblat, sementara kelompok kedua berdiri menghadap musuh. Lalu imam bertakbir, dua kelompok tersebut ikut takbir. Ketika imam rukuk, maka dua kelompok tersebut juga ikut rukuk. Setelah itu, kelompok pertama ikut sujud bersama imam. Setelah sujud kelompok pertama ini menggantikan untuk berbaris menghadap musuh. Sedangkan kelompok kedua datang di belakang imam untuk sujud, lalu imam melanjutkan rakaat kedua bersama kelompok pertama dan kedua semuanya, lalu rukuk juga bersama mereka dan berdiri bersama mereka. Sedangkan kelompok kedua melanjutkan sujud, dan imam masih berdiri. Setelah sujud kelompok kedua kembali menghadap musuh. Lalu kelompok pertama datang lagi dan sujud bersama imam kemudian imam pun salam bersama dua kelompok semuanya. Cara shalat seperti ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, dalam shalat khauf yang dilaksanakan oleh Rasulullah di ‘Asfan. (HR. Muslim)

(3) Pendapat Madzhab Malik, Syafii dan Hambali.

Imam membagi pasukan menjadi dua kelompok. Imam shalat bersama kelompok pertama rakaat pertama. Lalu pada rakaat kedua imam tetap berdiri, sedangkan kelompok pertama melanjutkan shalat mereka sendiri hingga selesai dan salam. Kemudian mereka pergi ke posisi kelompok kedua, sedangkan kelompok kedua pergi ke tempat imam. Lalu imam melanjutkan rakaat keduanya bersama kelompok kedua hingga salam. Namun kelompok kedua ini melanjutkan satu rakaat lagi sendiri hingga salam. Cara seperti ini dipraktekkan oleh Rasulullah ﷺ di dalam perang Dzatu ar Riqaa’ (HR. al-Jamaah, kecuali Ibnu Majah.)

Riwayat ini diambil juga oleh Madzhab Syafi’i dan Hambali, bedanya mereka berpendapat imam tidak langsung salam, tetapi menunggu kelompok kedua, sehingga mereka salam Bersama.

Kedua, posisi musuh berada di arah kiblat.

Madzhab Syafi’i dan Hambali

Imam membagi pasukan menjadi dua barisan, barisan depan dan barisan belakang. Lalu imam bertakbir, semuanya ikut bertakbir, begitu juga ketika rukuk. Sedangkan ketika imam sujud yang ikut sujud hanyalah barisan depan saja, sedangkan barisan belakang tetap berdiri menghadap musuh. Setelah imam dan barisan depan berdiri dari sujud, maka barisan belakang gantian yang melakukan sujud. Ketika mereka berdiri dari sujud, kelompok barisan belakang menuju ke depan, sedangkan yang berada di barisan depan mundur ke barisan belakang. Lalu imam meneruskan rakaat selanjutnya bersama mereka seperti pada rakaat pertama

 

Pelajaran (3) Tetap Waspada

وَلْيَأْخُذُوا۟ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan hendaknya mereka waspada dan bersenjata.”

(1) Disebutkan pada ayat dua hal:

(a) Mengambil kewaspadaan.

(b) Mengambil senjata.

Di sini didahulukan untuk mengambil kewaspadaan sebelum mengambil senjata, karena dua hal:

(a) Mengambil senjata termasuk bagian dari mengambil kewaspadaan.

(b) Karena perpindahan shaf dalam shalat sangat membutuhkan kewaspadaan yang ekstra. Maksudnya musuh belum menyadari bahwa pasukan Islam sedang shalat pada rakaat pertama, mereka baru menyadarinya ketika terjadi perpindahan dari shaf pertama ke shaf kedua pada rakaat kedua. Oleh karenanya kewaspadaan harus ditingkatkan.

(2) Keringanan untuk meletakkan senjata.

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًۭى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَن تَضَعُوٓا۟ أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا۟ حِذْرَكُمْ ۗ

“Tetapi tidak ada salahnya jika Anda mengesampingkan senjata Anda ketika diatasi oleh hujan lebat atau penyakit, tetapi berhati-hatilah.”

Ayat di atas memperbolehkan pasukan Islam untuk meletakkan senjata mereka dalam dua keadaan, yaitu:

(a) Dalam keadaan hujan, dimana sangat berat dalam keadaan seperti ini membawa senjata.

(b) Dalam keadaan sakit atau lemah.

Walaupun begitu, tetap diwajibkan untuk tetap waspada terhadap gerak-gerik musuh.

(3)   Siksa pedih untuk orang kafir.

إِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَـٰفِرِينَ عَذَابًۭا مُّهِينًۭا

“Sesungguhnya Allah telah menyiapkan hukuman yang menghinakan bagi orang-orang kafir.”

Allah menyediakan siksa-Nya yang pedih kepada orang-orang kafir di dunia dan di akhirat.

(a) Adapun di dunia, Allah akan menyiksa mereka melalui tangan-tangan kaum muslimin yang akan menyadarkan mereka dalam setiap peperangan, kemudian membunuh atau menawan mereka. Ini seperti di dalam firman Allah,

قَـٰتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ ٱللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ

“Perangilah mereka, Allah akan menghukum mereka di tanganmu, mempermalukan mereka, membantumu mengalahkan mereka.” (Qs. at-Taubah: 14)

(b) Allah juga akan menyiksa mereka di akhirat dengan siksa yang sangat pedih dan dimasukkan ke dalam neraka, mereka tinggal di dalamnya selama-lamanya.

 

Pelajaran (4) Kewajiban Shalat Berjamaah

Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini akan wajibnya shalat berjamaah. Ada dua alasan, yaitu:

(a) Dalam keadaan segenting ini dimana nyawa menjadi taruhannya, Allah tetap memerintahkan untuk shalat berjamaah. Apalagi dalam keadaan aman dan damai, tentunya Allah akan lebih tegas lagi memerintahkan untuk shalat berjamaah. Hal ini menunjukkan bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib.

(b) Dalam shalat khauf secara berjamaah banyak hal yang dimaafkan, termasuk di dalamnya banyaknya gerakan dan perpindahan yang dilakukan oleh mereka yang sedang shalat. Itu semua dilakukan demi terlaksananya shalat berjamaah. Semua itu menunjukkan bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib.

 

Pelajaran (5) Berdzikir Setelah Shalat

فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَـٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ

“Ketika shalat selesai, ingatlah Allah dengan berdiri, duduk, atau berbaring.”

(1) Pada ayat di atas, Allah memerintahkan pasukan Islam yang sudah selesai mengerjakan shalat khauf untuk memperbanyak berdzikir mengingat Allah baik dengan lisan maupun dengan hati, ketika berdiri, ketika duduk, dan ketika berbaring di atas punggung hewan.

(2) Perintah untuk banyak berdzikir kepada Allah di sini mempunyai dua hikmah, yaitu:

(a) Kebiasaan yang dialami banyak orang, ketika selesai shalat dan kembali kepada aktivitas sehari-hari, mereka lupa untuk berdzikir kepada Allah, bahkan sebagian dari kaum muslimin menganggap berdzikir kepada Allah itu hanya di waktu shalat saja. Hikmah ini mirip dengan hikmah yang terdapat di dalam shalat Jum’at, di mana Allah juga memerintahkan kaum muslimin banyak berdzikir setelah selesai shalat Jum’at, sebagaimana di dalam firman Allah,

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. al-Jumu’ah: 10)

(b) Setelah selesai melakukan shalat khauf, pasukan Islam akan menghadapi musuh lagi. Dalam keadaan seperti ini, pasukan Islam sangat membutuhkan pertolongan Allah dengan cara berdoa dan memperbanyak dzikir. Ini sesuai dengan firman Allah,

إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةًۭ فَٱثْبُتُوا۟ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Qs. al-Anfal: 45)

Ayat ini memerintahkan umat Islam untuk banyak berdzikir ketika bertemu dengan pasukan kafir.

(3) Secara umum, setelah selesai shalat lima waktu, kita juga diperintahkan berdzikir, banyak orang menyebutnya dengan istilah dzikir bakda shalat. Ini juga menguatkan pendapat bahwa sehabis shalat lima waktu yang disunnahkan untuk berdzikir bukan berdoa, walaupun berdoa juga dibolehkan, tetapi yang lebih utama adalah berdzikir, berdasarkan ayat ini dan hadits hadits lainnya. Begitu juga secara umum berdzikir lebih utama dari berdoa karena dzikir adalah pujian kepada Allah, dan berdoa adalah meminta kepada Allah, sedangkan memuji lebih utama daripada meminta.

(4) Sebagian ulama seperti Ibnu Mas’ud memahami bahwa maksud ayat bukan perintah berdzikir bakda shalat, akan tetapi maksudnya adalah shalatlah dalam keadaan berdiri kalau sehat, jika tidak mampu, maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu, maka shalatlah sambil berbaring, sebagaimana di dalam hadits,

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak bisa shalatlah sambil duduk, jika tidak bisa shalatlah sambil berbaring di atas pinggang kiri.” (HR. al-Bukhari)

 

Pelajaran (6) Tidur di atas Pinggang Kiri

وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ

“Dan ketika berbaring di atas pinggang kalian.”

(1) Ayat di atas menyebutkan berbaring di atas pinggang maksudnya adalah berbaring di atas pinggang kanan, tidak berbaring di atas punggungnya (tidur terlentang).

(2) Karena sunnah tidur yang diajarkan Rasulullah ﷺ adalah berbaring di atas pinggang kanan, bukan terlentang. Ini pernah disebutkan dalam hadits Barra’ bin ‘Azib dalam riwayat lain bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وَضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ

“Apabila kamu hendak tidur, maka berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat. Setelah itu berbaringlah dengan miring ke kanan.” (HR. al-Bukhari)

(3) Tidur di atas pinggang kanan juga dianjurkan oleh ahli kesehatan, karena posisi seperti ini tidak menindih posisi jantung. Selain itu, posisi seperti ini bisa meminimalisir terkena bahaya yang datang dari arah atas. Ini jauh lebih baik dari posisi tidur terlentang atau tidur di atas pinggang kiri.

 

Pelajaran (7) Ketenangan Hati

فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ

“Jika kalian sudah aman, laksanakanlah shalat (sebagaimana biasa).”

(1) Maksud ayat di atas, jika pasukan Islam sudah merasa aman dari serangan musuh, hendaknya mereka mengerjakan shalat sebagaimana biasanya, dilengkapi syarat dan rukunnya.

(2) Ayat ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa sebelum shalat, seorang muslim hendaknya menenangkan hatinya terlebih dahulu, dan mengosongkan pikirannya dari berbagai hal yang akan mengganggu kekhusyuan shalat. Oleh karenanya, di dalam hadits disebutkan,

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

“Tidak sempuran shalat seseorang di hadapan hidangan dan dalam keadaan dia menahan buang air kecil dan buang air besar.” (HR. Muslim)

Hal ini didukung dengan ungkapan pada ayat di atas (اطمأننتم) “merasa aman”, aman di sini lebih cenderung kepada ketenangan hati, bukan sekedar aman dari musuh saja. Ini dikuatkan dengan firman Allah,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. ar-Ra’du: 28)

Ayat di atas menunjukkan bahwa (الإطمئنان) adalah ketenangan.

 

Pelajaran (8) Kewajiban Shalat Lima Waktu

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَـٰبًۭا مَّوْقُوتًۭا

(1) Banyak dari ulama yang menjadikan ayat di atas sebagai dalil atas wajibnya shalat lima waktu. Firman-Nya,

كِتَـٰبًۭا مَّوْقُوتًۭا

“Kewajiban yang telah ditentukan waktunya.”

Ini mirip dengan firman Allah,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ

“Diwajibkan atas kalian puasa.” (Qs al-Baqarah: 183)

(2) Sebagian ulama menafsirkan (مَّوْقُوتًۭا) yaitu dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan waktunya. Tafsir ini mirip dengan makna di atas.

Intinya ayat ini menjelaskan kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan sesuai dengan waktunya masing-masing, tidak boleh diundur dan dimajukan.

 

Pelajaran (9) Jangan Merasa Lemah

وَلَا تَهِنُوا۟ فِى ٱبْتِغَآءِ ٱلْقَوْمِ ۖ إِن تَكُونُوا۟ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan janganlah goyah dalam mengejar musuh, jika Anda menderita, mereka juga menderita. Tetapi Anda berharap untuk menerima dari Allah apa yang tidak pernah mereka harapkan. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (Qs. an-Nisa’: 104)

(1) Pada ayat ayat sebelumnya, terdapat perintah untuk berjihad di jalan Allah. Di sela-sela jihad itu kaum muslimin tetap diperintahkan untuk menegakkan shalat, di antaranya dengan melaksanakan shalat Qashar, di saat saat keadaan mencekam dan menakutkan karena sedang berhadapan dengan musuh, diperintahkan untuk mendirikan shalat khauf

Setelah pelaksanaan shalat selesai, bukan berarti jihad sudah selesai juga. Ayat ini menegaskan kembali bahwa jihad masih diperintahkan. Bahkan walaupun keadaan kaum muslimin menderita kekalahan dan luka-luka, sebagaimana yang terjadi pada perang Uhud.

(2) Firman-Nya,

وَلَا تَهِنُوا۟ فِى ٱبْتِغَآءِ ٱلْقَوْمِ ۖ

“Dan janganlah goyah dalam mengejar musuh.”

Ayat ini melarang pasukan Islam merasa lemah dalam berjihad di jalan Allah, merasa lemah itu berhubungan dengan mental dan kejiwaan, bisa saja seseorang sebenarnya secara fisik kuat, tetapi mental atau jiwanya lemah. Jika terjadi demikian, maka kekuatan fisiknya tidak banyak bermanfaat baginya. Sebaliknya, jika mental dan jiwa kuat, maka fisik yang lemah secara otomatis akan menjadi kuat bersama kuatnya mental dan jiwa.

Inilah pentingnya untuk selalu merasa kuat dalam setiap peperangan menghadapi musuh dan larangan untuk merasa lemah. Ayat ini mirip dengan firman Allah,

وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

(Qs. Ali ‘Imran: 139)

Ayat di atas juga melarang pasukan Islam untuk merasa lemah dalam menghadapi musuh. Dan ada larangan tambahan, yaitu larangan bersedih. Jika merasa lemah dan bersedih menyala dalam diri seseorang, di sinilah letak kehancuran dirinya, dan hilangnya kekuatan fisiknya. Untuk mengatasi hal itu, Allah memberikan motivasi yang bisa menggugah semangat juang pasukan Islam, yaitu bahwa umat Islam adalah umat yang paling unggul dan umat yang pasti berada di atas. Umat yang akan menang dalam setiap peperangan.

(3) Firman-Nya,

فِى ٱبْتِغَآءِ ٱلْقَوْمِ ۖ

“Dalam mencari musuh.”

Ayat ini memberikan pesan bahwa umat Islam harus aktif dan tidak pasif, menyerang dahulu sebelum diserang, mengambil kesempatan sebelum diambil oleh musuh. Hal ini penting untuk menumbuhkan semangat juang umat Islam dan menghindari turunnya mental dan jiwa mereka.

 

Pelajaran (10) Mereka Juga Merasakan Sakit

إِن تَكُونُوا۟ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ

“Jika Anda menderita, mereka juga menderita. Tetapi Anda berharap untuk menerima dari Allah apa yang tidak pernah mereka harapkan.”

Setelah melarang umat Islam agar tidak merasa lemah dalam menghadapi musuh, Allah memberikan motivasi kepada mereka dua hal:

(a) Bahwa jika dalam perang mereka mendapatkan musibah atau menderita luka-luka, maka sebenarnya musuh pun mengalami hal serupa, mengapa harus merasa lemah.

(b) Bedanya, dalam peperangan ini umat Islam ada yang diharapkan yaitu pahala, ridha dan rahmat dari Allah, sedangkan musuh tidak ada yang mereka harapkan apa-apa dari Allah.

Prinsip ini juga disebutkan Allah dalam firman-Nya,

إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌۭ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌۭ مِّثْلُهُۥ ۚ

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa.” (Qs. Ali ‘Imran: 140)

 

***

KARYA TULIS