Tafsir An-Najah (Qs.4: 105-107) Bab 244 Ijtihad Rasulullah ﷺ
Ijtihad Rasulullah ﷺ
(Ayat 105-107)
إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًۭا ۞ وَٱسْتَغْفِرِ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا ۞ وَلَا تُجَـٰدِلْ عَنِ ٱلَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنفُسَهُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًۭا ۞
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan hak agar kamu memutuskan (perkara) di antara manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) para pengkhianat. Mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Janganlah engkau (Nabi Muhammad) berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.”
(Qs. an-Nisa’: 105-107)
Pelajaran (1) Sebab Turunnya Ayat
Ayat 105-113 ini turun berkenaan dengan kasus yang menimpa Thu’mah bin Ubairiq. Dia berasal dari Bani Zhafar dari kalangan anshar. Dia mencuri perisai milik Rifah bin Zaid atau milik Qatadah bin an-Nu’man. Perisai tersebut berada dalam satu kantong yang berisi tepung, kantong tepung tersebut bocor (sobek) sehingga tepungnya tercecer sepanjang jalan. Ternyata Thu’mah bin Ubairiq menitipkan perisai tersebut di rumah orang Yahudi yang bernama Zaid bin Samin, akhirnya dia menjadi orang yang tertuduh mencuri perisai. Hal ini diperparah dengan pengingkaran Thu’mah bahwa dia menitipkan perisai itu kepada Zaid bin Samin.
Kasus tersebut akhirnya dibawa ke hadapan Nabi Muhammad, hampir saja beliau ingin membela Thu’mah bin Ubairiq dan menyalahkan Zaid bin Samin, padahal Zaid bin Samin mempunyai saksi-saksi dari teman-teman Yahudi lainnya. Maka turunlah ayat-ayat ini untuk meluruskan peristiwa tersebut, sekaligus teguran kepada Nabi ﷺ.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Thu’mah bin Ubairiq lari ke Mekkah dan murtad di sana. Suatu ketika dia mencuri lagi, tiba tiba ada tembok yang jatuh menimpanya dan menyebabkan dia mati.
Pelajaran (2) Ijtihad Rasulullah ﷺ
لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ
“Dengan hak agar kamu memutuskan (perkara) di antara manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.”
Beberapa pelajaran dari ayat ini:
(1) Ayat ini memberikan arahan kepada Nabi ﷺ agar menghukumi manusia dengan adil, sesuai dengan yang Allah ajarkan kepadanya, dan ini masih terkait dengan kasus Thu’mah bin Ubairiq.
(2) Maksud firman-Nya (بما أراك الله) yaitu dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu dari ilmu dan wahyu. Ilmu dan wahyu disebut (رؤية) “pandangan” dalam ayat ini karena kekuatan ilmu dan wahyu, seperti kekuatan bukti yang bisa dilihat oleh mata kepala manusia.
(3) Sebagian ulama memahami firman-Nya (بما أراك الله) sebagai pandangan Nabi ﷺ ketika berijtihad dalam suatu perkara yang belum ada dalilnya dari al-Qur’an.
Berkata Ibnu Katsir, “Di antara ulama Ushul Fiqh ada yang berdalil dengan ayat ini bahwa Nabi boleh berijtihad (di dalam masalah-masalah yang belum ada dalilnya dari al-Qur’an)”. Di antara dalil dibolehkannya adalah hadits Ummu Salamah bahwa Nabi bersabda,
إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ
“Kalian mengajukan perkara kepadaku dan aku hanya manusia biasa. Boleh jadi, sebagian kalian lebih jelas dalam mengajukan argumennya dibandingkan dengan yang lain.” (HR. al-Bukhari)
Pelajaran (3) Membela Pengkhianat
وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًۭا
“Janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) para pengkhianat.”
Ayat ini melarang Nabi menjadi penentang orang yang tidak bersalah karena membela orang-orang yang berkhianat. Walaupun ayat ini ditujukan kepada Nabi ﷺ tetapi yang dimaksud di situ adalah umat Islam. Seakan-akan ayat ini mengatakan, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah karena membela orang-orang yang berkhianat.”
Pernyataan ini berdasarkan dua hal:
(a) Pada ayat selanjutnya (109), Allah secara tegas mengarahkan ayat ini kepada orang-orang beriman dalam firman-Nya,
هَـٰٓأَنتُمْ هَـٰٓؤُلَآءِ جَـٰدَلْتُمْ عَنْهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا
“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini.” (Qs. an-Nisa’: 109)
(b) Nabi Muhammad adalah hakim dan pemutus hukum dalam setiap perselisihan di antara mereka. Mereka merujuk semua masalah kepada beliau. Ini menunjukkan bahwa larangan ini untuk umatnya bukan untuk beliau. Apalagi beliau seorang Nabi yang ma’shum.
Pelajaran (4) Perintah Beristighfar
وَٱسْتَغْفِرِ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا
“Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. an-Nisa’: 106)
Ada beberapa penafsiran terhadap ayat di atas,
(1) Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad untuk beristighfar karena ada keinginan untuk membela Thu’mah dan cenderung ingin menyalahkan orang Yahudi. Walaupun menurut sebagian kalangan, suatu yang terlintas di dalam pikiran atau baru sebuah keinginan bukanlah suatu dosa, apalagi secara bukti lahir memang kebenaran lebih kepada Thu’mah. Tetapi karena tinggi dan posisi Nabi yang tinggi dan mulia di sisi Allah, beliau diperintahkan beristighfar atas sesuatu yang bukan dosa. Karena kadang sesuatu yang tidak berdosa bagi orang awam dinilai oleh orang-orang yang tinggi derajatnya sebagai sesuatu yang tidak layak sehingga diperintahkan untuk beristighfar.
Di dalam pepatah disebutkan,
إن الحسنات الأبرار سيئات المقربين
“Sesuatu yang dinilai baik oleh al-Abrar kadang dianggap sebuah kesalahan bagi al-Muqarrabin.”
Contohnya, bagi orang awam menjaga shalat lima waktu adalah sebuah prestasi walaupun dilakukan di rumah. Tetapi bagi al-Muqarrabin hal itu sebagai kekurangan selama tidak shalat di masjid. Begitu juga bagi orang awam yang berbakti (al-Abrar) menghafal juz 30 adalah sebuah prestasi, tetapi bagi al Muqarrabin menghafal juz 30 saja adalah sebuah kekurangan yang mereka harus beristighfar darinya, karena mestinya dia menghafal 30 juz.
(2) Sebagian ulama berpendapat bahwa maksud ayat di atas adalah perintah Allah kepada Nabi untuk memintakan ampun untuk orang-orang yang telah melakukan pengkhianatan atau pencurian dan agar mereka segera bertaubat kepada Allah atas perbuatannya.
Pendapat ini mirip dengan permintaan saudara-saudara Nabi Yusuf agar bapak mereka (Nabi Ya’qub) memintakan ampun atas dosa-dosa mereka kepada Allah. Ini tersebut di dalam firman Nya,
قَالُواْ يَٰٓأَبَانَا ٱسۡتَغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوبَنَآ إِنَّا كُنَّا خَٰطِـِٔينَ ۞ قَالَ سَوۡفَ أَسۡتَغۡفِرُ لَكُمۡ رَبِّيٓۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ۞
“Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)." Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".” (Qs. Yusuf: 97-98)
Pelajaran (5) Berkhianat terhadap Diri Sendiri
وَلَا تُجَـٰدِلْ عَنِ ٱلَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنفُسَهُمْ ۚ
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.”
(1) Ayat ini melarang Nabi ﷺ mendebat untuk membela orang-orang yang mengkhianati diri mereka sendiri.
(2) Firman-Nya (يَخْتَانُونَ أَنفُسَهُمْ) “mengkhianati dirinya sendiri”, kalimat ini mempunyai dua pelajaran:
(a) Kata (يَخْتَانُونَ) artinya mereka yang perbuatan khianatnya melampaui batas. Terdapat tambahan huruf (ت) dalam (يختانون) karena asalnya (يخونون). Tambahan (ت) menunjukkan arti yang lebih dari biasanya.
(b) Disebutkan di sini “mengkhianati diri sendiri” karena dua hal:
- Karena akibat buruk dari tindakan pengkhianatan yang mereka lakukan akan kembali kepada diri mereka sendiri.
- Karena umat Islam bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya mengkhianati anggota lainnya, seakan akan dia mengkhianati diri sendiri. Seperti halnya tangan kanan seseorang memukul tangan kirinya atau dadanya, dia akan dianggap memukul tubuhnya sendiri.
(3) Firman Allah,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًۭا
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.”
(a) Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak mencintai orang-orang yang banyak berkhianat dan bergelimang dosa. Berarti Allah mencintai sifat kebaikan dari sifat di atas, yaitu Allah mencintai orang-orang yang selalu berkata dan bertindak jujur serta banyak melakukan ketaatan.
(b) Kata (خَوَّانًا) menunjukkan arti “orang yang banyak berkhianat”. Mengapa disebut banyak berkhianat, padahal Thu’mah bin Ubairiq hanya sekali melakukan pengkhianatan?
Jawabannya adalah:
Allah mengetahui pada masa lalu bahwa Thu’mah pernah melakukan pengkhianatan sebelumnya hanya saja belum ketahuan. Begitu juga Allah Maha mengetahui di masa mendatang Thu’mah akan melakukan pengkhianatan-pengkhianatan lagi. Dan ini terbukti ketika Thu’mah lari ke Mekkah, dia ketahuan mencuri lagi.
(c) Disebutkan di dalam kaidah sosial bahwa, “Jika seseorang kepergok sedang melakukan suatu kejahatan atau dosa, biasanya hal itu sudah dilakukan sebelumnya berkali kali.”
Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab pernah memerintahkan untuk memotong tangan seorang pencuri. Tiba-tiba ibunya datang sambil menangis dan berkata “Anak ini baru sekali melakukan pencurian, mohon kali ini dia dimaafkan dan dibebaskan dari hukumannya”. Maka Umar pun menjawab, “Anda berbohong, karena sesungguhnya Allah tidak menghukum hamba-Nya karena berbuat kejahatan yang pertama kali.”
Maksud perkataan Umar di atas bahwa orang yang mencuri dan dijatuhi hukuman potong tangan, kemungkinan besar telah melakukan pencurian sebelumnya berkali-kali, tetapi baru ketahuan kali ini. Wallahu a’lam.
***
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »