Karya Tulis
413 Hits

Tafsir An-Najah (Qs.4: 114-115) Bab 246 Menentang Rasul


Menentang Rasul

(Ayat 114-115)

 

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍۢ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَـٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًۭا ۞ وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ۞

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

(Qs. an-Nisa’: 114-115)

 

Pelajaran (1) Tiga Kebaikan di Dalam Perbincangan

(1) Ayat ini turun berkenaan dengan keluarga besar Thu’mah bin Ubairiq yang melakukan rencana jahat dan berbisik-bisik untuk menuduh seorang Yahudi yang bernama Zaid bin Samin sebagaimana yang pernah dijelaskan pada ayat sebelumnya.

(2) Ayat ini memberikan bimbingan kepada orang-orang beriman ketika mereka melakukan pertemuan, pembicaraan, rapat, mengobrol, berbisik-bisik, dan sejenisnya agar pembicaraan mereka tidak keluar dari tiga pokok yang intinya adalah berbuat baik kepada orang lain.

Berbuat baik kepada orang lain dibagi menjadi dua, yaitu: memberikan manfaat dan menghindarkan dari mudharat. Adapaun memberikan manfaat dibagi dua juga, yaitu: memberikan manfaat fisik dan memberikan manfaat non-fisik.

Memberikan manfaat secara fisik terwujud dalam bentuk sedekah. Sedangkan memberikan manfaat non-fisik terwujud dalam bentuk ma’ruf. Adapun menghindarkan dari mudharat terwujud dalam perbaikan hubungan.

Ketiga perintah Allah tersebut akan lebih diingat dan dipahami dalam bentuk denah di bawah ini.

(a) Pertama: Sedekah.

Kata (صدقة) berasal dari akar kata (صدق) yang berarti jujur atau benar. Di dalam hadits disebutkan,

و الصدقة برهان

“Sedekah itu sebagai bukti (kejujuran iman).”

Jadi orang yang bersedekah itu menunjukkan kejujuran imannya. Oleh karenanya, orang munafik sangat berat untuk bersedekah, karena imannya tidak benar dan tidak jujur.

Mahar disebut صدقة atau صداق karena sebagai bukti kebenaran atau kejujuran cinta seorang laki laki kepada wanita yang dinikahinya.

Sedekah di sini mencakup sedekah yang wajib dan sedekah tidak wajib. Adapun sedekah wajib berupa zakat. Ini sesuai dengan firman Allah,

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah: 60)

Sedekah pada ayat ini artinya zakat. Adapun yang dimaksud sedekah pada ayat ini (Qs. an-Nisa’: 114) adalah kebaikan yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain dalam bentuk fisik, seperti: memberikan uang, harta, makanan, baju, dan barang-barang yang bisa terlihat secara fisik.

(b) Kedua: Ma’ruf

Ma’ruf adalah segala kebaikan yang dikenal oleh manusia. Di dalam hadits disebutkan,

كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ وَإِنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Setiap kebaikan (kebajikan) adalah sedekah. Dan termasuk dari perbuatan ma’ruf adalah kamu bertemu dengan saudaramu dengan wajah ceria.” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap ma’ruf masuk dalam kategori sedekah. Berarti sedekah lebih umum daripada ma’ruf. Dalam konteks ayat di atas, sedekah diartikan sebagai bantuan berupa uang, barang-barang, atau hal-hal yang bisa terlihat secara fisik.

Sedangkan ma’ruf diartikan kebaikan dalam hal-hal non fisik, seperti: senyum ketika bertemu dengan teman atau saudara, kata-kata yang baik, nasehat, motivasi, membantu saudaranya dengan mengangkatkan barang-barangnya, membersihkan rumahnya, mengasuh anak-anaknya, mengantarkannya ke rumah sakit ketika sakit dan amal-amal sejenisnya.

Itu semua, menurut hadits di atas, termasuk dalam kategori sedekah secara umum. Hal ini dikuatkan dengan hadits,

فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ

“Setiap tasbih sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, setiap takbir sedekah, dan setiap amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.”

(c) Ketiga: Memperbaiki hubungan.

Salah satu bentuk kebaikan adalah menghindarkan atau mencegah kemudharatan dari orang lain, yaitu: dengan cara mendamaikan dua orang yang saling berselisih. Ini adalah amal kebaikan yang sangat dianjurkan dan berpahala besar. Di antara dalil-dalilnya adalah:

  • Firman Allah,

فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَصْلِحُوا۟ ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ

“Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu.” (Qs. al-Anfal: 1)

Pada ayat di atas, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa kepada Allah dan memperbaiki hubungan antara sesama. Ini menunjukkan hubungan erat antara takwa dan perbaikan hubungan.

  • Firman Allah,

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌۭ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu.” (Qs. al-Hujurat: 10)

Ayat ini mirip kandungannya dengan surat al-Anfal ayat 1.

  • Hadits Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى قَالَ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ

“Maukah kalian aku beritahu tentang sesuatu yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah? Mereka menjawab, tentu ya Rasulallah. Beliau bersabda, Mendamaikan antara manusia.” (HR. Ahmad)

  • Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ

“Sebaik baik sedekah adalah memperbaiki hubungan antara sesama.” (HR. Ahmad)

Hadits ini dan hadits lainnya menguatkan pernyataan sebelumnya bahwa sedekah mencakup bantuan fisik dan non-fisik, bahkan termasuk menghindarkan mudharat dari orang lain.

  • Hadits-hadits lain sangat banyak tentang keutamaan memperbaiki hubungan hubungan sesama. Yang disebutkan di atas sudah mewakili.

 

Pelajaran (2) Mencari Ridha Allah

وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًۭا

“Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”

(1) Ayat ini menegaskan bahwa amalan yang paling utama adalah amalan hati, karena pahala akan diberikan kepada seorang hamba tergantung kepada amalan hatinya, bukan amalan anggota badannya.

Di dalam ayat ini umpamanya, tiga amalan besar yang disebut di atas, yaitu bersedekah, melakukan sesuatu yang ma’ruf dan mendamaikan orang berselisih tidak akan diberikan pahalanya, kecuali jika perbuatan tersebut diniatkan mencari ridha Allah, bukan mencari pujian manusia.

(2) Contoh lain adalah apa yang tersebut di dalam hadits,

وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang akan diampuni dosa-dosanya (kecil) yang telah berlalu jika dia berpuasa Ramadhan karena dorongan keimanannya, bukan ikut-ikutan dan karena ingin mencari pahala di sisi Allah. Jadi Allah mengampuni dosa-dosanya bukan sekedar puasa Ramadhannya, tetapi karena keimanan dan keikhlasannya dalam beramal.

Itu semua menunjukkan bahwa amalan hati jauh lebih penting dari amalan lahir yang dilakukan oleh anggota badan.

 

Pelajaran (3) Menentang Rasul

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. an-Nisa’: 115)

(1) Ayat ini masih berkenaan dengan kasus Thu’mah bin Ubairiq yang dijatuhi hukuman potong tangan karena mencuri perisai, kemudian lari ke Mekkah. Di Mekkah dia mencuri lagi, dan mati terkena reruntuhan tembok.

(2) Kata (يشاقق) berasal dari akar kata (شق) artinya sisi. Maksudnya di sini adalah menentang atau menyelisihi Rasul, seakan-akan dia memilih sisi yang berbeda dengan sisi Rasulullah ﷺ.

(3) Makna ayat di atas bahwa siapa saja yang menentang Rasulullah ﷺ setelah jelas baginya kebenaran dan hidayah atau setelah dia memeluk Islam, kemudian dia murtad dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang beriman, maka Allah akan memberikan dia keleluasaan untuk memilih jalannya sendiri di dunia ini, kemudian di akhirat dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dan neraka Jahannam adalah seburuk buruk tempat.

(4) Ayat ini mirip dengan firman Allah ﷻ,

وَقُلِ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ

“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (Qs. al-Kahfi: 29)

Maksudnya bahwa setelah jelas kebenaran dari Allah, maka silakan yang mau beriman kepada kebenaran Islam, juga dipersilahkan bagi ingin kafir atau murtad dan memilih jalan yang bukan jalannya orang-orang beriman, maka akan disediakan baginya neraka.

(5) Maknanya sama juga disebutkan di dalam firman Allah,

لِّيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنۢ بَيِّنَةٍۢ وَيَحْيَىٰ مَنْ حَىَّ عَنۢ بَيِّنَةٍۢ

“Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata.” (Qs. al-Anfal: 42)

Ayat ini juga mempersilakan kepada siapa saja yang ingin binasa setelah mengetahui kebenaran tetapi berpaling darinya, juga mempersilakan yang ingin hidup dengan kebenaran tersebut.

(6) Imam Syafi’i berdalil dengan ayat ini atas keabsahan ijma’ sebagai salah satu sumber dari sumber-sumber hukum Islam. Adapun letak pendalilannya adalah pada ayat,

 وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

“Dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang beriman.”

Maksudnya tidak mengikuti jalannya para ulama yang telah sepakat dalam suatu masalah. Sedangkan ulama adalah wakil dari orang-orang beriman di dalam mengistinbatkan suatu hukum syariat. Dengan demikian, haram hukumnya menyelisihi kesepakatan para ulama berdasarkan ayat ini.

 

***

KARYA TULIS