Hukum Uang Persekot
Pengertian Uang Persekot
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Uang Persekot adalah : pembayaran tunai di muka atas penyerahan barang atau jasa yang harus dipertanggungjawabkan penerima pada suatu tanggal kemudian.
Uang Persekot dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-‘Arbun. Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 6/ 331-332 ) : “ Uang Persekot ( al-‘Arbun ) di dalam jual beli adalah seseorang membeli sesuatu barang, kemudian dia membayar sejumlah uang kepada penjual, dengan perjanjian jika dia mengambil barang tersebut, maka maka uang tersebut menjadi bagian dari harga pembayaran, tetapi jika dia tidak mengambil barang, maka uang tersebut menjadi milik penjual .” ( lihat juga Adil al-Azzazi dalam Tamam al-Minnah ( 3/340 )
Hukum Uang Persekot
Pendapat Pertama : Mengatakan bahwa uang persekot hukumnya haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah.
Dalil mereka sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. “ (Qs. an-Nisa’: 29)
Berkata al-Qurthubi dalam tafsirnya (5/150) : “
ومن أكل المال بالباطل بيع العربان… فهذا لا يصلح ولا يجوز عند جماعة فقهاء الأمصار من الحجازيين والعراقيين ، لأنه من باب بيع القمار والغرر والمخاطرة ، وأكل المال بالباطل بغير عوض ولا هبة ، وذلك باطل بإجماع
“ Dan termasuk memakan harta dengan cara yang batil adalah jual beli al-‘urban ( dengan memberikan uang persekot) …. Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sebagian ahli fiqih di Hijaz dan Iraq, karena hal itu termasuk perjudian, gharar dan sesuatu yang spekulatif, serta memakan harta orang lain dengan cara yang batil tanpa ada imbalan dan pemberian. Jual beli seperti ini batil menurut kesepakatan ulama. “
Berkata az-Zurqani di dalam Syarh al-Muwatho’ ( 3/51 ) :
وهو - أي بيع العربون- باطل عند الفقهاء لما فيه من الشرط والغرر وأكل أموال الناس بالباطل.
“ Uang persekot dalam jual beli adalah batil menurut para ahli fiqh, karena di dalamnya terdapat syarat ( yang batil ), spekulatif dan memakan harta orang lain dengan cara tidak benar. “ ( lihat juga di al-Baji di dalam al-Muntaqa (3/ 440 ).
Kedua : Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-‘Urban ( yaitu dengan memberikan uang persekot ) “ ( HR. Abu Daud ( 3502 ), Ibnu Majah ( 2192 ) ) Berkata ash-Shon’ani : “ Di dalamnya ada rawi yang tidak disebut namanya, tetapi disebut dalam riwayat lain, ternyata dia lemah. Hadist ini mempunyai jalan lain, tetapi tidak lepas dari masalah. “ ( Subulu as- Salam : 3/ 17 )
Ketiga : Uang Persekot dalam jual beli termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena penjual akan mendapatkan uang tersebut jika pembeli membatalkan transaksi. Disini pembeli menjadi rugi dan dia tidak mendapatkan imbalan sedikitpun.
Keempat : Uang persekot ini seperti al-Khiyaar al-Majhul ( hak pilih yang tidak ditentukan waktunya). ( Abdul Aziz Salman, al- Asilah wa al- Ajwibah : 4/108 ) . Maksudnya bahwa pembeli mensyaratkan kepada penjual kalau saya tidak setuju maka barang ini akan saya kembalikan kapan saja, tanpa ada batasan waktu, tentunya ini adalah syarat batil.
Berkata asy-Saukani : “ Alasan dilarangnya uang persekot karena mengandung dua syarat yang rusak, salah satunya mensyaratkan bahwa apa yang dibayarnya di muka akan menjadi milik ( penjual ) secara gratis jika dia membatalkan transaksi. Adapun yang kedua pembeli mensyaratkan akan mengembalikan barang yang diambilnya jika dia tidak berminat. “ ( Nailu al-Authar : 5/215 )
Pendapat Kedua : Mengatakan bahwa uang persekot dalam jual beli hukumnya boleh. Ini adalah pendapat Umar bin Khattab, Abdullah binUmar, Ibnu Sirrin, Said bin Musayyib, dan Imam Ahmad serta mayoritas pengikutnya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni : 6/ 331-332 ) .
Dalil mereka sebagai berikut :
Pertama : Atsar Nafi’ bin Abdu al-Harits :
اشْتَرَى نَافِعُ بْنُ عَبْدِ الْحَارِثِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ دَارَ السِّجْنِ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ إِنْ رَضِيَهَا وَإِنْ كَرِهَهَا أَعْطَى نَافِعٌ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ أَرْبَعَمِائَةٍ
“ Bahwa Nafi’ bin Abdu al-Harits pernah membelikan dari Shafwan bin Umayyah sebuah bangunan penjara untuk Umar bin al-Khattab, dengan perjanjian, apabila Umar setuju ( berarti selesai masalah ). Bila beliau tidak setuju, maka Nafi’ memberikan uang kepada Shafwan 400 dirham. ( Atsar Riwayat al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra ( 6/34 ), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (5/392). Di dalam atsar ini ada rawi majhul yaitu Abdurrahman bin Farukh Maula Umar tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Amru bin Dinar, dan al-Bukhari meriwayatkan darinya secara ta’liq saja.
Kedua : Uang persekot merupakan kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu, oleh karena itu transaksi seperti ini dibolehkan. ( lihat Abdurrozaq as-Sanhuri di dalam Mashodir al-Haq : 2/ 101 )
Hal ini menyebabkan barangnya tidak bisa dijual selama menunggu, sehingga tidak tepat kalau dikatakan uang tersebut sebagai bentuk pungutan tanpa ada imbalan sesuatu. Sebagai contoh, perusahaan bis yang menjual ticket kepada penumpang seminggu sebelum keberangkatan, maka dibolehkan bagi penjual untuk meminta uang persekot dari pembeli sebagi jaminan dan bentuk keseriusannya untuk membeli ticket tersebut, karena ticket yang dipesan tersebut tidak bisa dijual kepada orang lain.
Ketiga : Uang Persekot ini tidak bisa disamakan dengan al- Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya memberikan uang persekot adalah adanya waktu tenggang yang batasannya disepakati oleh kedua belah pihak.
Keempat : Di dalam pemberian Uang Persekot terdapat maslahat bagi penjual dan pembeli sekaligus. Berkata Syekh al-‘Utsaimin di dalam Syarh Bulugh al-Maram ( 3/ 393 ):
“ Di dalamnya ( pemberian uang persekot ) terdapat maslahat lain bagi penjual, karena pembeli jika menyerahkan uang persekot, dia mengetahui uang tersebut akan hilang jika dia membatalkan transaksi, maka dia akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual belinya. Oleh karenanya, penjual biasanya mensyaratkan uang persekot agar pembeli benar-benar konsisten dan tidak meremehkan transaksi tersebut. Demikian juga terdapat maslahat bagi pembeli, karena dengan membayar uang persekot, dia masih dapat mempertimbangkan dan memilih untuk mengembalikan barang tersebut bila tidak cocok. Berbeda jika dia tidak membayar uang persekot, maka dia tidak bisa mengembalikan lagi.”
Kesimpulan :
Pendapat yang membolehkan uang persekot lebih tepat dan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat zaman sekarang, dimana sangat susah mendapatkan orang yang amanat dan tepat janji. Transaksi yang belum sempurna tanpa adanya uang jaminan ( uang persekot ), biasanya akan dipermainkan pembeli. Dia memesan barang atau memesan ticket, setelah disepakati, maka akan ditinggal begitu saja, sehingga merugikan pihak penjual.
Kebolehan uang persekot ini telah diputuskan oleh al-Majma’ al-Fiqhi al-Islamy, pada muktamar ke-8, di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam pada tanggal 1-7 Muharram 1414 H/ 21-27 Juni 1993 M. Begitu juga telah difatwakan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts al- Ilmiyah wa al- Ifta kerajaan Saudi Arabia, dalam fatwanya no. 9388 dan no. 19637. Wallahu A’lam.
Dr. Ahmad Zain an-Najah, MA
Pondok Gede, 24 Sya’ban 1435 H/ 23 Juni 2014 H
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »