Karya Tulis
15305 Hits

Hukum Jual Beli di Masjid


          Masjid adalah tempat yang digunakan untuk sholat, dzikir dan membaca al-Qur’an. Tetapi kita dapatkan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dan menerima tamu di dalam masjid. Apakah dibolehkan melakukan transaksi jual beli di dalam masjid ?

          Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini, hal itu terkait dengan perbedaan pendapat di dalam memahami hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

          إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِى الْمَسْجِدِ فَقُولُوا : لاَ أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا : لاَ رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ

          “Jika kamu melihat orang menjual atau membeli di mesjid maka katakanlah : “Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.” Dan jika kamu melihat orang mencari barang yang hilang di masjid, maka katakanlah :“Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu” (HR Tirmidzi ( 1231) , Ibnu Huzaimah ( 1305), Baihaqi ( 4518))

           Para ulama berbeda pendapat di dalam memahami hadist di atas yang keterangannya sebagai berikut :  

          Pendapat Pertama : mengatakan bahwa jual beli di masjid hukumnya makruh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah seperti IbnuTaimiyah.    

          Berkata Sulaiman al- Bujairmi asy-Syafi’I :

وَيُكْرَهُ الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ فِي الْمَسْجِدِ وَسَائِرُ الْعُقُودِ كَالْبَيْعِ إلَّا النِّكَاحَ فَيُسَنُّ عَقْدُهُ فِيهِ ، وَكَذَا يُكْرَهُ نَشْدُ الضَّالَّةِ فِيهِ

          “ Dimakruhkan untuk jual beli di masjid, dan seluruh transaksi sejenis jual beli, kecuali pernikahan, maka disunnahkan dilakukan di dalamnya. Begitu juga dimakruhkan untuk mencari barang yang hilang. “ ( Tuhfatu al-Habib ‘ala al-Khatib : 3/ 666 )        

          Pendapat Kedua  : mengatakan bahwa jual beli di masjid hukumnya haram. Ini pendapat sebagian dari ulama Hanabilah.

          Alasan mereka adalah sebagai berikut :

          Pertama : Hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Hadist tersebut menunjukkan larangan, dan pada asalnya setiap larangan itu menunjukkan keharaman.

          Kedua : Bahwa masjid tidaklah dibangun untuk keperluan jual beli, tetapi untuk berdzikir, sholat dan membaca al-Qur’an.

          Ketiga : Diriwayatkan bahwa ‘Imran al-Qashir ketika melihat seseorang berdagang di masjid, beliau langsung menegurnya dan mengatakan kepadanya :

هذه سوق الآخر فإن أردت التجارة فاخرج إلى سوق الدنيا

          “ Ini adalah pasar akherat, jika anda ingin berdagang, maka keluarlah ke pasar dunia. “ ( lihat al-Mughni : 4/337 )

          Pendapat Ketiga : mengatakan bahwa jual beli di masjid hukumnya boleh. Ini pendapat sebagian asy-Syafi’iyah  sebagaimana disebutkan an-Nawawi di  dalam al-Majmu’  (  2/ 203 ).

           Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan jual beli jika tidak dalam jumlah yang besar dan ramai sehingga menyerupai pasar.  Berkata ath-Thahawi  :

وكذلك النهي عن البيع فيه هو الذي يغلب عليه حتى يكون كالسوق لأنه لم ينه عليا عن خصف النعل فيه مع أنه لو اجتمع الناس لخصف النعال فيه كره فكذلك البيع وإنشاد الشعر والتحلق قبل الصلاة فما غلب عليه كره وما لا فلا .

          “ Begitu juga larangan jual beli (di masjid ) maksudnya adalah jual beli dalam bentuk yang besar, sehingga masjid seperti pasar. Hal itu karena beliau ( Rasulullah  )  tidak melarang Ali menjual jasa perbaikian sandal, padahal kalau perbaikan sandal ini menjadi ramai hukumnya menjadi makruh. Hukum ini berlaku pada jual beli, membacakan syair dan membuat halaqah sebelum sholat ( Jum’at ), kalau ini menjadi ramai maka dimakruhkan,  jika tidak ramai, maka tidak apa-apa. “  ( lihat Hasyiatu Ibnu Abidin : 1/660 )

          Berkata al-Marghiyani tentang orang iktikaf  :

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبِيعَ وَيَبْتَاعَ فِي الْمَسْجِدِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُحْضِرَ السِّلْعَةَ لِأَنَّهُ قَدْ يَحْتَاجُ إلَى ذَلِكَ بِأَنْ لَا يَجِدَ مَنْ يَقُومُ بِحَاجَتِهِ

          “ Dibolehkan bagi yang iktikaf  untuk melakukan jual beli di masjid tanpa boleh membawa barang-barang dagangan, karena kadang  orang yang iktikaf membutuhkan barang tersebut, sedangkan tidak ada orang yang bisa membantunya di dalam mendapatkan kebutuhan tersebut. “ ( al- Hidayah : 1/133 )

          Maksudnya dibolehkan membeli barang-barang yang dibutuhkan orang yang iktikaf seperti makanan dan pakaian. Adapun jual beli dengan tujuan berdagang, maka hukumnya makruh, apalagi bagi yang sedang iktikaf.

          Di dalam beberapa riwayat dari Imam Malik bahwa transaksi yang bentuknya kecil dan remeh boleh dilakukan di masjid tetapi transaksi yang besar, apalagi sampai membawa barang dagangan ke dalam masjid, maka hukumnya makruh . Berkata al-Baji :

رَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ فِي الْمَجْمُوعَةِ لَا بَأْسَ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي الْمَسْجِدِ دِينًا ….

          “ Diriwayatkan dari al Qasim dari Imam Malik di dalam al-Majmu’ah : “ Tidak apa-apa seseorang membayar utang kepada temannya di dalam masjid “ ( al- Muntaqa Syarh al-Muwatho’ : 1/ 342 )

          Disebutkan juga di dalam kitab yang sama :

فَأَمَّا أَنْ يُسَاوِمَ رَجُلًا بِثَوْبٍ عَلَيْهِ أَوْ سِلْعَةٍ تَقَدَّمَتْ رُؤْيَتُهُ لَهَا وَمَعْرِفَتُهُ بِهَا فَيُوَاجِبُهُ الْبَيْعَ فِيهَا فَلَا بَأْسَبِهِ

          “ Adapun seseorang yang menawar baju yang sedang dipakai orang lain, atau barang yang pernah dia lihat sebelumnya dan telah mengetahuinya kemudian ingin membelinya, maka tidak apa-apa “

          Apakah Jual Belinya sah ?

          Mayoritas ulama mengatakan jual belinya sah, bahkan tidak sedikit yang menyebutkan kesepakatan ulama dalam hal ini.  Diantara ulama yang menukil kesepakatan tersebut adalah Ibnu Bathal, al-Mawardi, al-Iraqi, dan Ibnu Muflih. 

          Berkata Ibnu Qudamah  :

           إن باع فالبيع صحيح لأن البيع تم بأركانه وشرطه ولم يثبت وجود مفسد له وكراهة ذلك لا توجب الفساد كالغش في البيع والتدليس والتصرية وفي قول النبي صلى الله عليه وسلم قولوا : ( لا أربح الله تجارتك)  من غير اخبار بفساد البيع دليل على صحته والله أعلم

          “ Jika seseorang berjualan di masjid, maka jual belinya sah, karena jual belinya telah memenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak ada hal yang menyebabkan rusaknya jual beli tersebut. Adapun kemakruhan untuk berjualan di masjid tidak secara otomatis menyebabkan jual beli tersebut rusak ( tidak sah). Sebagaimana kecurangan dan penipuan serta manipulasi susu kambing di dalam jual beli. Ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah  (Maka katakanlah : “ Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.”) tanpa mengatakan bahwa jual beli tersebut rusak, hal ini menunjukkan keabsahan jual beli tersebut. ( al- Mughni : 4/ 337 )

          Al-Mardawai salah seorang ulama Hanabilah di dalam kitab  al- Inshof ( 3/347 ) menyebutkan bahwa Ibnu Habirah mengatakan jual beli yang dilakukan di masjid hukumnya tidak sah. Tentunya pendapat ini sangat lemah dan menyelesihi mayoritas ulama, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah di atas.

          Batasan Masjid

          Masjid adalah bangunan yang digunakan untuk sholat berjama’ah. Biasanya  bangunan ini terbuat dari tembok, ada juga yang dari bambu atau sekedar tiang. Pertanyaannya apakah teras atau  halaman masjid termasuk masjid, sehingga terkena hukum larangan jual beli di dalamnya  ?

          Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini :

          Pendapat  Pertama :  Jika teras atau halaman masjid bersambung dengan masjid, baik atapnya atau lantainya, serta ditembok ( dipagari ), maka termasuk masjid.  Ini adalah pendapat  as-Syafi’I dan riwayat dari Ahmad. Berkata an-Nawawi :

المراد بالرحبة ما كان مضافا إلى المسجد محجرا عليه وهو من المسجد نص الشافعي على صحة الاعتكاف فيها

           “Yang dimaksud dengan halaman ( teras ) masjid adalah tempat yang bersambung dengan masjid dan dan ditembok ( dipagari ) sekitarnya, maka ini termasuk masjid.  Ini di tegaskan oleh imam asy-Sayfi’I akan sahnya iktikaf di dalamnya . (al-Majmu’ : 6/507).

          Pendapat Kedua : mengatakan bahwa teras atau halaman masjid itu bukan bagian dari masjid, sehingga tidak sah iktikaf di dalamnya dan sebaliknya dibolehkan jual beli di dalamnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat yang shahih darinya. Berkata al- Mardawai :

رحبة المسجد ليست منه علي الصحيح من المذهب والروايتين

           “ Halaman masjid itu bukanlah bagian dari masjid menurut pendapat yang benar dalam Madzhab  ( Hanbali ) dan dalam dua riwayat dari Imam Ahmad dalam masalah ini. (al- Inshaf : 3/258 ) .

          Dalilnya adalah perkataan Aisyah :

كن المعتكفات إذا حضن أمر رسول الله-صلى الله عليه و سلم – بإخراجهن من المسجد وأن يضربن الأخبية في رحبة المسجد حتى يطهرن.

           “Para wanita yang beriktikaf jika sedang haid diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluar dari masjid dan memasang bilik-bilik iktikaf mereka di halaman masjid sampai mereka suci dari haid”.

          Pendapat kedua ini dikuatkan dengan hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata :

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجْمِ الْيَهُودِيِّ وَالْيَهُودِيَّةِ عِنْدَ بَابِ مَسْجِدِهِ

          “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk merajam  terhadap seorang laki-laki dan perempuan Yahudi di dekat pintu masjid Beliau”.  ( HR. Ahmad ( 4/196), Hadist Hasan  )

          Dikuatkan juga dengan hadist  Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata :

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ

          “ Bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat kain sutera (dijual) di dekat pintu masjid, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah seandainya engkau membeli ini, lalu engkau memakainya pada hari Jum’at dan memakainya  untuk (menemui) utusan-utusan jika mereka datang kepadamu”. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat”. (HR Bukhari (886) )   

          Dua hadist di atas menunjukkan bahwa teras atau halaman masjid tidak termasuk masjid. Dan masjid dibatasi dengan pintu yang ada di sekelilingnya, selain itu tidak masuk dalam katagori masjid. Wallahu A’lam.

          Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

          Pondok Gede, 30 Sya’ban 1435/ 28 Juni 2014 

 

 

 

KARYA TULIS